19: Datangnya Saingan Cinta?
Nadia merenggangkan tubuhnya yang pegal. Mondar-mandir di kota Jogja mencari perlengkapan pendakian untuk dua orang tidak mudah. Dia terpaksa membeli sepatu baru karena sepatu kets yang dipakai tidak cocok untuk mendaki. Sempat berpikir membeli juga untuk Rian, tapi karena dia masih perang dingin dengan makhluk satu itu, Nadia urung. Lagipula, kalau dia pede bisa bertahan hidup di hutan dan gunung dengan mudah, seharusnya dia tidak butuh sepatu mendaki.
Gadis itu mengembuskan napas kesal sambil memandang tumpukan barang yang harus dia bawa kembali ke penginapan. Bagus, dia punya teman seperjalanan cowok yang sama sekali tidak bisa diandalkan di saat dia butuh bantuan. Nadia berdecak lagi. Ganteng sih boleh, tapi sama sekali tidak berguna. Sambil terus mengomel, Nadia memasukkan barang-barang ke mobil GrabCar yang dia sewa. Untung saja, sopirnya berbaik hati dan membantu seorang gadis yang sepertinya mau pindahan itu. Nadia membalas dengan senyum sambil memberikan tip melalui aplikasinya.
Jam enam sore, Nadia mengecek jam di ponsel. Lama juga dia mempersiapkan perlengkapan mendaki, tapi dia puas dengan hasilnya. Makanan dan minuman yang dia beli cukup untuk bertahan selama tiga hari dan sudah membeli jaket hangat anti angin.
Masalahnya adalah dia harus melalui jalur yang berbahaya. Kaliurang terletak di sebelah selatan Merapi, tempat di mana awan panas dan guguran batu biasa mengalir. Masalah lainnya adalah tidak ada pemandu yang bersedia mengantar mereka. Nadia mengakhiri sambungan dengan agensi pemandu untuk yang kesepuluh kalinya tanpa hasil. Status Siaga yang dikeluarkan oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi atau BPPTK membuat tidak ada orang waras yang bersedia membantunya naik.
Rasa takut menyusup ke pikiran Nadia, tapi segera disingkirkan jauh-jauh. Dia harus mendapatkan Kristal dan memastikan kegilaan ini berakhir. Mobil berhenti di depan losmen yang dia sewa. Nadia mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu menurunkan barang. Melihat tidak ada fasilitas bell boy di penginapan sederhana itu, Nadia dengan berat hati harus mengangkat barang-barangnya ke kamar. Mau memanggil Rian juga tengsin. Lebih baik Nadia menjadi kuli daripada ngobrol sama pemuda satu itu.
Lima menit kemudian, Nadia berhasil membawa barang-barang dalam dua tas besar itu kembali ke kamar. Namun, ketika dia membuka pintu dengan susah payah, yang menyambutnya adalah ruang kosong dan Keong yang tampak mondar-mandir di atas nakas.
"NADIA!!!" seru Keong panik dengan suara mungilnya. "Akhirnya kau kembali!"
"Ada apa?" tanya Nadia sambil meletakkan barang-barang di lantai. "Mana si bodoh Rian?"
Dia mengira kalau Rian masih berada di kamarnya, menunggu untuk meminta maaf, tapi harapan itu pupus dengan diselingi kekecewaan.
Dasar cowok egois memang!
"Itu yang ingin kuberi tahu." Keong memainkan sungutnya cepat tanda gelisah. "Rian pergi sekitar satu jam lalu. Katanya, dia akan ke gunung lebih dulu dan mencari tempat di mana kakakku berada. Aku dimintanya menunggu dan memberi tahumu."
Nadia melongo.
"Aku sudah berusaha untuk menahannya, tapi Rian tetap tidak mau dan berkeras pergi sendiri." Keong melanjutkan ceritanya. Suaranya terdengar seperti menahan tangis.
"BEGO!!!" umpat Nadia kesal, tidak peduli suaranya bergema di lorong losmen. Ingin sekali dia menghantam sesuatu sebagai ganti kekesalannya ke Rian.
FIX! Rian memang cuma menang di tampang doang! Otaknya sama sekali tidak ada.
Kemarahan dan kekesalan Nadia naik hingga gadis itu merasakan pipinya memanas. Bisa-bisanya di saat seperti ini, Rian justru menambah masalah. Untuk menyalurkan emosinya, Nadia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
"BODOH! Dasar BODOH! Dia ga mikir apa kalau Merapi bisa keluarin awan panas?!"
Keong melihat Nadia dengan tatapan panik. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Apalagi?!" sahut Nadia kasar. Dia segera membongkar barang-barangnya dan mengeluarkan tas hiking yang sudah dia sewa. "Kita segera menyusul makhluk purba itu sebelum dia membahayakan dirinya dan anak itu."
Dengan cekatan Nadia memasukkan benda-benda yang dibutuhkan ke dalamnya. Kompor dan tabung gas, persediaan makanan, baju ganti, minuman serta tenda portabel. Nadia mengeluarkan jaket anti angin dan memakainya, lalu mengganti sepatu kets dengan sepatu mendaki. Tidak lupa dia memakai sarung tangan agar tangannya tidak selip saat memegang bebatuan. Kurang dari sepuluh menit, Nadia sudah siap dengan tas hiking penuh tergantung di punggungnya. Dia memutuskan meninggalkan sisa barangnya di kamar losmen.
"Ayo, kita menyusul Rian." Nadia meletakkan tangannya di depan Keong, memberi jalan bagi makhluk itu menaiki dirinya. Setelah Keong bertengger aman di pundaknya, Nadia segera meraih power bank dan keluar dari kamar sambil memesan GrabCar yang bersedia mengantarnya hingga titik terdekat yang bisa dijangkau oleh mobil, tak lupa memberikan tip besar agar sopirnya bersedia menempuh bahaya.
Perjalanan yang harusnya ditempuh selama satu jam, molor karena ada penutupan jalan. Bukan hanya itu, Nadia dan Keong diturunkan sebelum mereka tiba di lokasi. Barikade yang didirikan membuat mereka tidak memiliki kesempatan.
"Maaf ya, Mbak, hanya bisa sampai di sini saya nganternya. Mbak beneran mau naik gunung di saat gini?" tanya sang sopir memandang khawatir ke arah Nadia yang membuka pintu mobil.
"Iya Pak, ada temen saya yang nekat ke gunung, jadi aku harus jemput dia sebelum kenapa-kenapa. Makasih ya, Pak sudah dibantu sejauh ini." Nadia menyelipkan uang lima puluh ribuan ke tangan si sopir sebelum dia melangkah keluar. Mobil itu segera putar balik dan pergi.
"Hati-hati, Nadia," bisik Keong dekat telinga.
Nadia mengangguk. Dia memandang sekeliling. Di kanan kiri jalan rumah-rumah penduduk yang tampak ditinggalkan. Sepertinya mereka sudah mengungsi karena kondisi Merapi yang memburuk dengan cepat. Nadia mengangkat kepala dan melihat gunung menjulang tinggi. Gelegak magma menyala di langit malam dengan asap hitam membumbung tinggi. Bulu kudu Nadia meremang.
Apa dia akan berhasil?
Menyingkirkan ketakutan dan keraguannya, Nadia segera melompat keluar aspal dan berjalan di antara pohon-pohon dan semak. Sesekali ada rumah penduduk yang mencuat. Keringat mengalir deras di kening Nadia. Beberapa kali dia berhenti untuk minum dan mengisi cairan tubuh.
Baru setelah berjalan kurang lebih empat puluh lima menit, dia tiba di pintu masuk wisata Goa Jepang yang terbengkalai. Jelas, tidak ada yang bersedia dekat-dekat dengan gunung yang bisa meletus sewaktu-waktu.
Halaman luas di balik pagar besi itu kosong. Sepertinya tempat wisatawan dijelaskan tentang sejarah goa yang pernah menjadi tempat persembunyian tentara Jepang dari kejaran tentara sekutu. Hanya itu yang Nadia ingat dari artikel yang dia baca di internet. Kalau ada Aidan, kakaknya itu pasti akan mendongeng cerita spektakuler tentang bagaimana goa itu terbentuk.
"Nadia?" tanya Keong menyadari Nadia hanya terdiam.
"Iya, ayo kita jalan."
Mengandalkan cahaya listrik seadanya dari lampu di pintu masuk yang dibiarkan menyala, Nadia mencari jalan untuk masuk lebih dalam. Mereka harus melewati hutan sebelum tiba di goa. Nadia dapat mendengar gemuruh dari arah gunung. Rasa takut mencengkramnya tapi dia memaksa diriny melangkah.
Tidak ada tanda-tanda Rian pernah berada di sana, membuat Nadia dongkol. Pemuda itu jangan-jangan tersasar lagi. Sambil berdecak, Nadia menuju jalan setapak yang mengarah ke atas. Sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dan gesekan kaki Keong Mas di pundaknya.
Dua puluh menit berjalan, Nadia sudah masuk ke dalam hutan dengan pepohonan menaungi di kanan dan kirinya. Keringat kembali mengucur deras dan Nadia berhenti sejenak untuk membuka botol air satu setengah liter untuk minum. Dia bersandar di pohon terdekat untuk beristirahat sebelum mendengar suara gemerisik dedaunan.
Seluruh otot di tubuhnya langsung siaga. Terburu-buru dia mematikan cahaya dari power bank merangkap senter, dia tidak ingin membocorkan lokasinya pada makhluk yang mendekat.
Matanya awas di antara kegelapan. Dia dapat merasakan Keong bersembunyi makin dalam di balik tudung jaket. Terdengar suara langkah mendekat. Nadia mencari-cari kayu atau apa pun yang bisa dijadikan senjata dan menemukan sebilah batang pohon patah di lantai hutan.
Suara-suara makin keras. Satu orang, Nadia dapat mendengar, dan sedang berjalan cepat setengah berlari. Dia memegang batang itu di depan tubuhnya. Waspada. Dia dapat melihat bayangan orang mendekat.
"BERHENTI!" seru Nadia. Bayangan samar itu langsung terdiam. "Siapa kamu?!"
"Aku bukan orang jahat!" Nadia mendengar suara berat seorang pria. Nadia hanya dapat melihat samar-samar dari cahaya bulan. "Aku mencarimu karena ingin membantu."
Alis Nadia berkerut. Dengan satu tangan, dia merogoh kantong jaket dan mengeluar power bank, menyalakan senter untuk menerangi pendatang tersebut. Seorang pria berusia awal dua puluhan memakai baju koko berwarna hitam dengan kopiah. Seorang yang asing. Jantung Nadia berdetak kencang.
Siapa dia?
Halo! Terima kasih bagi kalian yang masih terus membaca kisah ini. Maaf kalau ada salah informasi, karena yeah, aku memang terburu-buru menulis kisah ini untuk mengejar ketertinggalanku dalam Marathon Writing Month dari grup kepenulisan NPC.
Setiap masukan akan aku note untuk direvisi nanti XD
Ps: aku ganti nama kota Nadia dan Rian saat ini berada dengan kota Jogja, bukan Solo dengan mempertimbangkan jarak.
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top