17: Si Culas Berkebaya Merah

Nadia mengerjapkan mata. Menyadari bahwa dia sepenuhnya sadar, Nadia tahu kalau yang dia lihat adalah sebuah visi. Lagi. Dengan penuh ekspetasi, Nadia menunggu penglihatan apa yang akan ditunjukkan padanya kali ini, apakah tentang Aidan? Semoga saja.

Satu-satunya yang Nadia harapkan dari visi-visi seperti ini adalah dia bisa mengendalikan apa yang dia lihat. Dengan demikian, Nadia bisa tahu apa yang terjadi di tempat-tempat jauh dan mencari informasi yang dia butuhkan. Sayangnya, keinginan itu tidak pernah tercapai. Penglihatan datang padanya secara acak, seperti judi semesta.

Ketika perlahan-lahan kegelapan terburai, Nadia menahan napas. Dia berdiri sementara bayang-bayang sebuah rumah sederhana berdinding putih muncul semakin jelas di depannya. Nadia mendapati dirinya berada di sebuah perkarangan yang ditumbuhi pohon wit. Ketika dia menoleh ke belakang, ada pagar kayu usang setinggi setengah badannya dengan pintu terbuka. Sunyi. Tidak ada kicau burung, tidak ada embusan angin. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang.

Nadia mengerutkan alis. Dia tidak pernah melihat tempat ini sebelumnya walau rumah itu mengingatkannya pada rumah Nenek yang pernah didatangi ketika masih kecil. Khas rumah desa dengan dua tiang menopang atap teras yang kecil dan pintu yang terletak tepat di tengah rumah.

Ada sedikit perasaan nostalgia menyelinap di benak Nadia. Itu adalah masa-masa bahagia, ketika kedua orang tuanya masih bisa tertawa bersama dan Aidan yang cengeng masih didekatnya untuk dilindungi.

Tiba-tiba terdengar isakan tangis. Tatapan Nadia langsung menatap ke arah sumber suara. Dari dalam rumah. Sambil terus waspada, gadis itu berjalan masuk. Melewati pintu kayu yang terbuka, di hadapannya ada sebuah ruang tamu dengan kursi rotan dan meja rendah bertaplak hijau tua untuk empat orang. Ada bordiran bunga khas orang tua di ujung-ujungnya. Suara isak terdengar makin keras, berasal dari ruangan di sebelah kiri, dibalik pintu kayu yang catnya sudah tak lagi utuh.

"Aku kangen ibu ...."

Nadia tertegun mendengar suara lirih terdengar dari balik tembok. Dia pernah mendengar suara itu sebelumnya, tapi lupa di mana. Dia membuka pintu perlahan, melihat seorang anak kecil sedang duduk di atas ranjang berkasur tipis sambil memeluk sebuah buku bersampul tebal dengan judul "Dongeng-dongeng Nusantara". Nadia melihat wajah yang dipenuhi air mata dan merasakan hatinya diremas rasa simpati. Dia seperti melihat Aidan.

"Aku ingin ibu membacakan cerita ...."

Nadia terkesiap. Dia ingat di mana dia pernah mendengar suara anak itu. Suara lirih itu yang dia dengar di mimpi yang menjadi awal dari petualangannya. Menyadari itu, Nadia memandang sang anak lekat-lekat, berusaha mengingat wajah tembem berkulit sawo matang dengan mata hitam yang besar. Anak itu bergerak, matanya teralih ke benda yang selama ini tergenggam erat di tangannya. Mata Nadia membelalak kaget ketika tangan kecil itu membuka.

Sebuah pecahan kristal berpendar dengan warna pelangi yang indah. Nadia kehilangan napasnya selama beberapa detik, itu adalah Kristal yang dia lihat dalam mimpi, sumber petaka dan masalah. Namun, sebelum sempat Nadia melakukan sesuatu, embusan angin yang kencang membanting pintu hingga terbuka.

Nadia menoleh dan melihat seorang wanita berusia dua puluhan memakai kebaya mewah berwarna merah dengan bordiran emas berjalan masuk. Rambut hitamnya bergelung indah di punggung sementara setengah rambutnya terangkat membentuk sanggul kecil di puncak kepala, dilingkari oleh hiasan emas berukiran rumit. Wajahnya cantik tapi berkesan culas dengan bibir merah terangkat tipis.

"Ternyata karena keinginanmu, kami bisa berwujud ...." Suaranya yang mendayu justru membuat bulu kuduk Nadia berdiri. "Terima kasih!"

Tawa jahat menggema diiringi oleh embusan angin kencang yang membuat Nadia harus menutup mata. Dia mendengar anak itu menjerit sebelum merasakan tubuhnya terangkat dari tanah.

Gelap.

Nadia merasakan dirinya dijatuhkan pada sebuah tanah yang tidak rata. Embusan angin perlahan mereda, membuat Nadia membuka mata. Dirinya sudah berada di sebuah goa dengan dinding batu menjulang di kanan kiri. Pencahayaan yang remang membuat matanya sulit melihat. Hanya ada pendar samar dari nyala api yang jauh yang membantunya melihat.

Di mana ini?

Nadia bangkit lalu berdiri, mencari-cari sang anak, tapi sudut goa yang itu kosong. Dia memberanikan diri melangkahkan kaki, merasakan tekstur keras tanah di telapaknya yang telanjang. Walau ini visi, segalanya terasa begitu nyata membuat jantungnya berdebar. Gadis itu terus berjalan ke arah sumber cahaya. Terang api semakin kuat seiring langkahnya menyusuri lorong batu. Ketika dia membelok di sudut, lorong itu membuka ke arah sebuah ruangan yang luas.

Hawa panas menerjangnya membuat Nadia menahan napas. Dia bukan berada di goa biasa dan nyala kuning yang dia lihat bukanlah nyala api, tapi nyala dari lava yang mengalir. Hanya segaris kecil yang merembes melalui celah bebatuan, mengalir di dinding-dinding ruangan seluas lapangan basket, tapi Nadia dapat merasakan hangatnya.

Ketika dia mengangkat wajahnya, di antara stalagmit dan stalaktit dia dapat melihat sang anak terduduk lemas. Wajahnya pucat dan Nadia tidak melihat Kristal sakti itu di tangannya. Jantung Nadia berdetak makin kencang, rasa khawatir membanjirinya bagai air bah. Dia berjalan mendekat, berusaha tidak menyentuh aliran lava. Namun, saat dia sudah di dekat sang anak, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar.

Tawa jahat dari si wanita, disusul oleh kekehan kejam si nenek burung yang begitu familiar. Bulu kuduk Nadia kembali meremang, tapi saat dia berusaha mencari sumber suara, embusan angin kembali menyapunya. Nadia berusaha mempertahankan diri di tanah, tapi dia merasakan tubuhnya yang ringan mulai terangkat. Dia berusaha memegang bebatuan untuk bertahan.

Mati-matian Nadia berusaha membuka mata, melihat ke arah si anak. Setidaknya dia harus memastikan anak itu baik-baik saja.

"HEI!" seru Nadia putus asa di antara deru angin. "Bertahanlah!"

Anak itu tidak bergerak, hanya rambut hitamnya yang berkibar tertiup angin.

"Bertahanlah!" jerit Nadia sebelum genggaman tangannya terlepas. Dia terangkat ke udara, terpisah dari sang anak.

Nadia masih belum menyerah. Dia berusaha menggapai tangan anak itu. Tepat di saat harapannya nyaris hilang, sebuah tangan terulur, menggenggam erat dirinya. Mata Nadia terbelalak ketika berhadapan dengan mata hitam besar itu.

"Tolong aku ...."

Nadia menahan napas. Lalu tiba-tiba kegelapan merengkuhnya.

Mata Nadia tiba-tiba terbuka dengan badan yang terlonjak. Napasnya memburu sementara keringat dingin membasahi kening. Dia dapat merasakan halus dan dinginnya lantai keramik di bawahnya, berbeda dengan lantai goa.

"Nad, kamu nggak apa-apa?" tanya Rian dengan wajah khawatir.

Perlahan, napas Nadia kembali normal seiring dengan kesadaran bahwa dia berada di antara teman-temannya menyesap masuk ke dalam diri. Resepsionis menyodorkan segelas air yang dengan senang hati diterima Nadia. Kerongkongan yang kering membuat gadis itu menghabiskannya dalam sekali minum.

"Apa yang terjadi?" tanya Nadia sambil berusaha bangkit. Rian membantu dengan memegang pundaknya.

"Anda pingsan," jawab sang resepsionis dengan wajah khawatir. "Saya sudah siap memanggil ambulans. Apakah Anda baik-baik saja?"

Nadia mengangguk cepat. "Aku tidak apa-apa, buruan berikan aku kamar yang sudah kupesan."

Menyadari urgensi di nada Nadia, membuat resepsionis itu segera kembali ke balik meja dan mengurus pemesanan.

"Visi lagi?" tanya Rian.

Nadia lagi-lagi mengangguk. "Aku sudah tahu apa yang terjadi dan ada orang yang harus kita selamatkan."


HAI! Sesuai janji aku ngebut ngepot ngueng nulis ini!

Makasih ya buat yang masih nunggui  petualangan Nadia coretmenggebetRiancoret menyelamatkan Aidan, kakaknya.

Sampai jumpa di update berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top