15: Ganteng-Ganteng kok Sinting
Jangan pernah, sekali lagi, JANGAN PERNAH mencoba menghentikan mobil yang sedang melaju dengan melompat di tengah-tengah jalan. Nadia merasa nyawanya berkurang sepuluh tahun ketika Rian melompat di depan mobil truk untuk menghentikan lajunya. MOBIL TRUK, demi rambut Upin Ipin yang tinggal sehelai!
Nadia menjerit heboh berselingan dengan bunyi klakson yang berantai. Nyaris saja perbuatan Rian menjadi penyebab kecelakaan beruntun. Untung saja supir truk itu berhasil mengerem total sepuluh senti di depan hidung Rian dan mobil di belakangnya juga menahan lajunya. Kehebohan itu membuat Rian dan Nadia nyaris menjadi sasaran amuk massa. Hanya berkat kepandaian dan kecerdikan Nadia--boleh dong bangga sama diri sendiri--yang memelas dan memohon. Dia memainkan kartu sebagai anak yang ingin ketemu orang tua setelah terpisah bertahun-tahun, mereka berhasil mengambil simpati sekaligus berjanji tidak akan mengulangi hal yang sama.
"Kepalamu jadi rusak karena terbentur ya!!!" omel Nadia ingin mencakar wajah Rian yang sedang meringis penuh rasa bersalah.
Saat ini mereka berada di atas truk terbuka yang melaju menuju kota Madiun, bersama dengan batang-batang kayu. Nadia harus merelakan bokongnya tertusuk serat kayu ketika duduk. Keong di telinganya berusaha menenangkan amarah gadis itu.
"SIAPA YANG SURUH KAMU LOMPAT DI DEPAN MOBIL?!" Tentu saja, Nadia tidak mendengarkan hewan mungil itu. Rasa khawatir bercampur kesal memenuhi ubun-ubunnya.
"Tapi kita dapat tumpangan ke Madiun, kan? Bukannya itu yang kamu mau?" balas Rian memamerkan senyum gantengnya, bikin Nadia makin bete karena jantungnya kembali berpacu dalam dada. Bisa-bisanya orang ini tetap cakep walau sinting.
"ISH!!! Masih ada cara lain untuk menghentikan mobil!" Nadia melipat tangan dan mengarahkan badan ke arah lain, menolak menatap Rian.
Walau dalam hati diam-diam bersyukur mereka dapat tumpangan, Nadia tidak akan menunjukkannya. Jika saja Rian tidak bertindak nekat, mereka mungkin masih berjalan kaki. Tapi tetap saja, Rian melakukan hal bodoh tanpa mengetahui akibatnya. Jika si sopir terlambat sedetik saja, mungkin Nadia harus membawa Rian ke rumah sakit.
Nadia memutuskan memasukkan Rian ke dalam kategori yang sama dengan kakaknya, orang yang wajib diawasi baik-baik agar tidak melakukan tindakan di luar akal.
Gadis itu lalu membuka kembali ponselnya dan menyalakan jaringan, berusaha meredam kekesalannya. Beberapa pesan masuk dari teman-teman sekolah, menanyakan kabar dan mengajaknya jalan-jalan. Chris menawari Nadia berkumpul untuk menonton sepak bola bersama. Senyum Nadia terulas mengingat salah satu sahabatnya itu sebelum mengetik membalas pesan.
"Siapa?" tanya Rian dari belakang Nadia. Kepalanya melongok melewati bahu Nadia, mengintip layar ponsel.
Nadia menjerit, nyaris melemparkan ponsel pintar tersebut. Untung dia berhasil menahan tangan sebelum beringsut menjauh dari Rian. Ini tidak baik untuk jantungnya, wajah Rian begitu dekat hingga Nadia dapat merasakan embusan napas pemuda itu. Berusaha mengatasi kepanikan, Nadia mundur lebih jauh lagi hingga punggungnya menabrak pembatas besi.
"KEPO!" sahut gadis itu sambil mengayunkan tangan di depan wajah, mengipasi pipinya yang terasa panas sekaligus menghalau Rian.
"Aku hanya ingin tahu berapa lama lagi kita sampai." Rian menarik tubuhnya dan duduk berseberangan dengan Nadia. Mata hitamnya tetap menatap gadis itu lekat.
Nadia berdecak sambil menekan tombol mengirim pesan pada Chris, menjelaskan kalau dirinya sedang dalam perjalanan ke luar kota. Dia segera membuka aplikasi peta di ponsel dan melihat waktu yang tersisa, berusaha menenangkan degup jantungnya.
"Dua jam lagi," jawabnya tanpa memandang Rian. Dia kembali menyibukkan diri dengan membalas pesan. Namun, yang paling dia tunggu justru tidak memberikan kabar.
Aidan.
Entah bagaimana kabar kakaknya itu. Semoga dia baik-baik saja.
Memuaskan rasa khawatirnya, Nadia mengirimkan pesan pada Aidan.
Nadia: Hei, kakak bodoh, kamu masih hidup kan? Kalau masih hidup kasih kabar dong!
Pesan terkirim tapi tidak terbaca. Nadia mengumpat pelan sebelum memeluk ransel. Batrei ponselnya masih bisa bertahan sampai di Madiun dan Nadia memutuskan untuk menyalakannya terus, kalau-kalau Aidan membalas pesannya. Namun, usaha gadis itu untuk menahan kantuk gagal. Goncangan mobil yang ritmis membuat kesadarannya terpeleset. Pelan tapi pasti, Nadia tertidur. Banyaknya peristiwa yang dia alami selama beberapa hari terakhir, membuat fisik dan mentalnya capek.
"Nad, bangun ...."
Sebuah goncangan pelan di bahunya membuat Nadia mengerang tidak senang. Kepalanya terasa berkabut dengan badan yang remuk. Rasa capek mencengkram benaknya erat.
"Lima menit lagi ...," gumamnya sambil mengubah posisi, menghadap ke samping, menghindari gangguan.
"Bangun, kita sudah sampai." Suara itu menolak menyerah. Guncangan di bahunya makin keras.
Nadia kembali menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Kantuk enggan melepas gadis itu ke dunia nyata, hingga suara besi dipukul membuat gadis itu terlonjak dari nyenyak dan langsung terduduk tegak, menabrak Rian yang sedari tadi berusaha membangunkan. Pemuda itu mengelus-elus keningnya yang dihantam tanpa ampun oleh kepala Nadia.
"AYO BANGUN! SUDAH SAMPAI!" Suara serak menggelegar disusul bunyi besi lagi. Ternyata itu dari si sopir yang memukul-mukul pintu mobil.
"Adu-duh-duh ...." Nadia memegangi kepalanya yang sakit luar dalam. Pusing dan ditambah hantaman ke kening Rian. "Ada apa sih?" tanyanya menekan nada kesal dalam suaranya.
"Kita sudah sampai di Madiun," lapor Rian sementara Nadia mengucek mata. Dia kemudian berdiri dan mengulurkan tangan pada gadis itu, membantunya berdiri.
"Ga usah, aku bisa bangun sendiri." Nadia menepis tangan Rian dan bangkit. Keong mengetuk-ngetuk kulit lehernya untuk memberi semangat pada Nadia. "Thanks, Keong, aku gapapa."
Saat nyawanya sudah terkumpul, baru Nadia sadar di mana mereka berada. Keramaian terminal memasuki telinganya dengan suara-suara orang berteriak, menjajakan makanan dan memanggil penumpang.
"Buruan turun! Aku mau lanjut nih!" seru si sopir tidak sabar. "Aku cuma ngantar kalian sampai di sini aja. Kalau mau ke stasiun kereta kalian naik aja bemo!" Dia menunjuk deretan angkutan yang sedang ngetem di sudut.
Nadia mengangguk dan melompat turun dari truk diikuti oleh Rian di belakangnya. Setelah mengucapkan terima kasih dan sekali lagi meminta maaf kepada sang sopir, Nadia segera berjalan menuju tempat transportasi berikutnya. Namun sebuah suara bergemuruh membuat langkahnya terhenti. Dia memandang ke langit, cerah.
"Aku lapar ...." Rian meringis sambil mengusap-usap perutnya.
Terdengar bunyi gemuruh lagi membuat Nadia menghela napas, ternyata itu berasal dari Rian. Dia juga merasa lapar. Dilihatnya jam, ternyata sudah jam dua belas siang, pantas matahari terasa menyengat. Untung Nadia terbiasa beraktivitas di luar ruangan jadi dia tidak peduli kulitnya terbakar. Matanya menyapu keramaian terminal dan melihat ada warung yang menjual pecel khas Madiun, membayangkan gurihnya bumbu kacang dicampur renyahnya sayur membuat air liur gadis itu menetes. Aidan bisa menunggu beberapa menit lagi selagi Nadia mengisi perut.
"Kita makan dulu." Nadia memberi tahu Rian sambil menunjuk warung yang dimaksud.
Senyum langsung muncul di wajah Rian yang tanpa sadar menular ke Nadia. Dengan langkah kaki yang bersemangat, mereka memasuki tempat itu. Nadia langsung memesan dua porsi besar pecel Madiun untuknya dan Rian, karena merasa sangat lapar. Tak butuh waktu lama sampai mereka melahap makanan seakan-akan itu menu terakhir mereka. Keong mendapat jatah sayur mayur dari piring Nadia. Gadis itu melirik ponsel, belum ada kabar dari Aidan dan dia harus mengisi daya ponsel yang kurang dari 40%.
"Selamat pagi pemirsa, Seputar Info kembali hadir di sela-sela aktivitas Anda, bersama saya Dimas Permana yang akan memberikan berita-berita terbaru dan teraktual."
Suara penyiar berita dari televisi kecil di sudut warung menjadi latar Nadia menghabiskan makanan. Awalnya dia tidak terlalu peduli dan terus makan dengan nikmat. Namun sebuah berita membuat gerakan tangan Nadia berhenti.
"Pemirsa, meningkatnya aktivitas gunung Merapi membuat statusnya naik menjadi Waspada. Menurut Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi, gunung tersebut meluncurkan awan panas pada pukul empat dini hari dan terjadi gempa guguran sebanyak dua puluh kali sejak kemarin."
Tatapan gadis itu beralih dari makanan di hadapannya ke televisi yang menayangkan cuplikan kondisi terkini gunung yang terletak di Jawa Tengah tersebut. Asap yang membumbung tinggi justru tampak berbeda di mata gadis itu, ada aura berwarna merah yang menguar dari siluet gunung yang membelakangi matahari terbit tersebut. Aura yang hanya bisa dilihat olehnya.
Sesuatu yang besar sedang terjadi di gunung yang menjadi tujuannya dan dia harus cepat.
SENANG BISA UPDATE! Dengan ini aku masuk ke gelanggang pertempuran Marathon Writing Month! Hahahaha
Doakan bisa lancar ya! Aku ingin bisa update lebih dari satu chapter sehari. Hahahaha! Stay tune!
Selamat hari raya Idul Fitri dan selamat hari Kenaikan Tuhan Yesus.
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top