14: Nangis di Depan Gebetan Itu GAK Keren

Untuk sesaat, gadis itu hanya bisa terpaku. Telepon dari Aidan menyeret Nadia ke peradaban. Dia hanya sempat membaca pesan dari Aidan untuk sepakat membohongi orang tua mereka. Termasuk kebohongan tidak masuk akal Aidan soal arca. Nadia menyunggingkan senyum mengingat kekompakan mereka. Sejak dulu, dia dan Aidan sering bersekongkol untuk melindungi satu sama lain. Nadia berani jamin tidak ada rahasia yang bocor di antara mereka.

"Halo," sapa Nadia sambil mengangkat telepon.

"Kamu kemana saja?!" desak Aidan dengan khawatir membuat Nadia meringis. Kali ini dia yang salah karena tidak memberi kabar. "Aku coba hubungin kamu berkali-kali dari kemarin! Aku juga dengar ada kecelakaan kereta! JANGAN BILANG KAMU DI DALAMNYA!"

"Eit! Tunggu! Jangan ngegas dulu! Kali ini aku punya alasan tulen," potong Nadia sebelum Aidan mengomel. "Dua hari lalu aku memang kecelakaan kereta, diserang sama nenek sihir. Habis itu aku nyaris dijadiin bahan masakan sama Bawang Merah dan ibunya."

"Hah?" Suara Aidan berubah menjadi panik. "Terus, kamu nggak apa-apa?"

"Hei, kamu lupa kalau aku atlet taekwondo? Lawan ibu-ibu mah kecil! Ini aku lagi jalan ke Madiun, lalu mau lanjut ke Jogja. Kalau kamu?"

"Aku sudah di Danau Kembar. Kristal yang kamu lihat itu udah dipindahkan dari Padang ke sana. Aku lagi ngikutin jejaknya."

Nadia terdiam sejenak. Rasa khawatir memenuhi benak. Ingin sekali dia segera terbang ke Sumatera dan mencari Kristal dengan Aidan. Apa pun yang harus dihadapi, mereka akan hadapi bersama, seperti saat orang tua mereka belum berpisah. Namun, realita dan akal sehat menamparnya keras. Ada dua Kristal, jika Nadia berhasil mendapatkan Kristal itu lebih dulu, mungkin kakaknya yang aman. Raksasa akan mengejarnya alih-alih sang kakak. Lagipula, dia punya janji pada Rian, mengantarnya kembali ke Dayang Sumbi.

Mengingatnya saja membuat Nadia tersengat rasa cemburu. Lebih baik, dia segera menyelesaikan ini dan berpisah dengan pemuda itu.

"Oke, jangan sampai kamu tenggelam di danau," ucap Nadia berusaha melempar candaan. "Oh iya, kalau kamu sekarat, aku bisa sembuhin kamu pakai pengobatan aura."

"Aura?" Entah mengapa nada suara Aidan terlalu kaget. "Kamu diajari apa sama Aura?"

Alis Nadia mengernyit. Ini kakaknya mabuk air segalon atau apa sih. "Pengobatan aura, bukan oleh Aura! Aku kan bisa melihat aura, kakakku tersayang. Sekarang aku bisa menyembuhkan orang dengan mengutak-atik aura mereka." Nadia tidak heran kalau habis ini kakaknya menyebut 'aurat' bukan 'aura'.

Apa tinggal di Palembang bikin Aidan makin oleng?

Nadia memandangi Rian dan Keong yang seperti biasa memperhatikan percakapannya. Seketika wajah Nadia merona. Kelakuannya yang bar-bar kembali disaksikan oleh Rian. Dia menghela napas.

"Pokoknya gitu deh. Aku lanjut jalan lagi ya! Oh, btw, Ibu belum telepon aku. Ayah juga. Ingat, jangan sampai bocor ya!"

"Ibu baik-baik aja. Dia baru saja menelponku, bagaimana kabarmu. Eh, sepertinya aku harus pergi. Ada sesuatu terjadi." Aidan berkata serius sebelum menutup sambungan.

"HEI!" teriak Nadia hanya untuk disambut nada putus.

Apa yang terjadi di tempat kakaknya?

Napas gadis itu tercekat. Kekhawatiran menguasai benaknya membuat dirinya terdiam selama beberapa saat memandangi ponsel yang dalam mode diam.

Apakah kali ini dia berhasil menyelamatkan Aidan?

Bagaimana kalau dia gagal seperti dia gagal mencegah orang tuanya bercerai?

Pikiran-pikiran itu mencengkram Nadia kuat. Dia masih ingat pertengkaran-pertengkaran orang tuanya. Bagaimana dia dan Aidan meringkuk di kamar berusaha menutup telinga dari suara-suara itu.

Sesak. Berisik. Gelap ....

"Nadia?"

Suara Rian beserta tepukan di bahunya menarik Nadia dari pikiran. Dia memandang pemuda itu dengan tatapan bingung.

"Kamu tidak apa-apa?"

Nadia mengerjapkan mata, berusaha mengendalikan diri. Dia ingin menangis tapi dia tahan. Dia harus kuat demi Aidan.

"Kamu terlihat pucat," bisik Keong di pundaknya.

Nadia menghela napas sebelum memaksakan senyum lebar. "Ah, cuma perasaan kalian aja! Ayo jalan lagi!" ajaknya sambil kembali melangkah, walau dalam hati pikirannya tidak bisa lepas dari Aidan.

Perjalanan itu dilalui dalam sunyi. Nadia sama sekali tidak mood berbicara. Pikirannya hanya berputar-putar di Aidan, membayangkan situasi apa saja yang dihadapi oleh kakaknya. Mungkin saja Aidan kebelet ke WC dan harus menutup telepon atau dia melihat cewek cantik .... Dasar kakak sialan! Bisa-bisanya menutup telpon dari adiknya yang paling cakep demi cewek lain!

Nadia mengangguk pendek. Benar, pasti itu. Nanti begitu sampai di kota, Nadia akan menelpon kakaknya itu dan mengomelinya.

"Nadia, mengapa kamu sama kakakmu terpisah?" tanya Keong lembut, terdengar khawatir.

"Eh?" Pertanyaan sederhana itu justru membuat Nadia terdiam cukup lama. Dia melangkahkan kaki sambil memanggul tas sementara matanya menatap ke tanah.

"Masalahnya ... rumit. Aku tidak tahu pastinya, aku hanya tahu ayah dan ibu semakin sering bertengkar, lalu suatu hari mereka tidak saling bicara satu sama lain."

Gadis itu diam lagi. Kerongkongannya tercekat. Sepertinya ini pertama kalinya dia bercerita pada orang lain setelah sekian tahun berlalu sejak kejadian itu terjadi. Selama ini teman-temannya memandangnya simpati dan tidak ada yang berani bertanya tentang detilnya. Jika ada yang nekat pun, Nadia terbiasa mengabaikan.

Nadia pun berusaha melanjutkan hidup seakan-akan tidak ada yang terjadi. Toh, Aidan dan ibunya yang keluar dari rumah mereka di Surabaya. Tanpa sadar tahun demi tahun berlalu dan kejadian itu menjadi sebuah kenangan berdebu di sudut kepalanya.

"Hari itu aku dan Aidan dijemput di sekolah oleh ayah dan ibu. Biasanya hanya sopir yang menjemput kami. Mereka membawa kami pulang dan kami makan siang bersama. Sudah lama sekali kami tidak makan sekeluarga. Aku sangat senang saat itu." Nadia menyunggingkan senyum tipis ketika mengingat bagaimana dia dan Aidan berebut makanan, membuat orang tua mereka tersenyum. "Tapi, di akhir makan siang itu, ibu memberi tahu kalau mereka akan berpisah. Aidan akan ikut ibu kembali ke kampung halaman sementara aku bersama Ayah tinggal di Surabaya."

Nadia mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan emosi. Bahkan setelah sekian lama, rasa marah dan kecewa itu masih kuat mencengkeram hatinya. Dia ingat, waktu itu dia sampai membanting piring hingga pecah.

'AYAH DAN IBU EGOIS!'

Teriakan itu masih bergema dalam pikirannya. Nadia tidak mendengar penjelasan orang tuanya dan mengurung diri di kamar dua hari penuh. Menolak makan dan sekolah, tidak peduli orang tuanya menggedor-gedor pintu kamar seperti apa pun. Baru malam di hari kedua, Aidan masuk ke kamar dan mereka berdua menangis bersama.

Nadia merasakan air mata yang sama menggenang di pelupuk mata. Dia menarik napas dan memandang langit di mana matahari bersinar terik agar dia tidak menangis. Lucu sekali dia menangis di hadapan dua makhluk dalam legenda. Tidak, dia sudah berjanji tidak akan menangis lagi setelah hari itu.

"Mereka memutuskan untuk bercerai dan memisahkan kami," ucap Nadia setelah mengumpulkan suaranya kembali.

"Bercerai?" tanya Keong tidak mengerti.

Nadia menoleh sekilas ke arah Rian, mendapati pemuda itu memandangnya serius. Entah bagaimana Nadia dapat menangkap kilas kesedihan di mata hitamnya. Gadis itu kembali menatap ke depan, memandangi jalan setapak yang diapit pepohonan rindang.

"Itu terjadi ketika dua orang yang menikah dan pernah saling mencintai memutuskan untuk tidak lagi bersama," jawab Nadia getir. "Pernikahan itu bukan akhir bahagia, Keong. Ketika nanti kamu menikah dengan pangeranmu, kalian masih bisa berpisah."

Keong terdiam sejenak, sepertinya shock. "Me-memangnya bisa?" tanyanya tidak percaya.

Nadia mendengkus. "Buktinya sudah ada. Ini bukan dongeng tempat kalian berada, ini adalah kenyataan."

Keong tidak lagi bertanya ketika Nadia membalas perkataannya. Gadis itu pun berhenti berbicara. Matanya menatap ke depan sementara pikirannya kembali sibuk meredam emosi yang bergejolak di dalam dada. Ingin rasanya dia memukul sesuatu untuk melampiaskan tapi dia tahu itu tidak ada gunanya. Hanya menambah rasa sakit.

Tiba-tiba pundak Nadia ditepuk Rian, membuat gadis itu menoleh ke arah Rian dengan tatapan bingung. Pemuda itu tidak berkata apa-apa hanya menepuk beberapa kali lagi sebelum kembali memandang ke depan. Nadia menghela napas lalu tersenyum kecil. Entah mengapa, tepukan sederhana itu membuat suasana hatinya membaik, sebuah tanda kecil bahwa masih ada orang yang peduli padanya. Dia kembali berjalan dengan langkah lebih ringan hingga dia mendengar suara mobil.

"Kita sudah dekat!" seru Nadia menambah kecepatan jalannya. Rian mengikutinya tanpa susah payah.

Suara-suara itu makin kuat dan Nadia melihat akhir hutan. Sebuah jalan raya selebar dua jalur terbentang di hadapan mereka dengan mobil berlalu lalang dengan kencang. Nadia mengembuskan napas lega. Akhirnya kembali ke peradaban. Namun sebuah pertanyaan kembali muncul di kepalanya.

Bagaimana mereka bisa menghentikan salah satu mobil agar mau membawa mereka ke Madiun?


Oke, udah habis tabungan chapternya. Setelah ini kudu nulis 😱😱😱 oh noes

Doakan lancar ya. Real life lagi hectic PARAH. AAAAAAAAAA

//Gemeter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top