13: Dia yang Tak Bisa Dimiliki :'(

Hal pertama yang Nadia rasakan adalah sekujur badannya ngilu, lebih parah setelah dia lomba lari. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Biasanya, dia akan minta izin dari sekolah dan menghabiskan waktunya dengan berguling-guling di tempat tidur seharian. Rasanya ingin terus memejamkan mata, kalau saja Nadia tidak tiba-tiba ingat kalau dia harus menemukan Kristal dan menolong Aidan.

Langsung saja dia terlonjak duduk dan seluruh ototnya protes keras.

"Aduh-duh-duh ...," ringisnya sambil memijat pundak yang kram. Gadis itu menghela napas panjang lalu melemaskan otot dengan menarik tangannya melewati kepala.

Setelah merasa lebih segar, Nadia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Dia ingat kalau dia selesai memperbaiki aura Rian lalu dia jatuh tertidur. Sebentar, waktu itu dia di lantai, 'kan?

Nadia memandang sekeliling, menatap ke tubuhnya yang duduk di atas dipan. Sejak kapan dia tidur dengan nyaman seperti ini? Sebuah pikiran melayang masuk tanpa bisa ditahan. Rian yang memapahnya ke tempat tidur.

"Jangan bangun!" seru Rian.

"AAAH!" seru Nadia kaget membuat Rian juga terlonjak.

"Kenapa? Kamu luka?" Pemuda itu langsung bergegas mendekati dipan.

"STOP! Diam di sana!!!" jerit Nadia membuat Rian berhenti dengan wajah bingung.

Apa Nadia jadi aneh karena kurang istirahat?

Nadia salah tingkah dan ikut mundur menjauh dari Rian. Punggungnya menempel di kayu. Baru saja dia berpikir yang iya-iya kalau Rian yang memapahnya ke tempat tidur tiba-tiba saja cowok itu muncul dan bikin jantungnya berdegup kencang. Nadia merutuki tindakannya yang bodoh.

"A-aku nggak apa-apa ...." Akhirnya Nadia bisa menenangkan diri. Dia mengangkat kepala dan memandangi pemuda itu dengan Keong yang bertengger di bahunya. Pemuda itu tampak jauh lebih baik dengan baju baru dan segar sehabis mandi. Rambutnya masih terlihat basah. Nadia harus memalingkan wajahnya supaya tidak salah tingkah lagi.

"Bawang Putih sedang memasakkan sarapan," lapor Keong.

Melihat Nadia sudah tidak bertingkah aneh, Rian mendekat, tapi Nadia malah berusaha berdiri.

"Sudah kubilang aku nggak apa-apa!" Nadia lagi-lagi menepis tangan Rian yang hendak membantunya berjalan. Dengan keras kepala, Nadia berpegangan pada dinding dan berjalan keluar.

Dia merasakan persendiaannya ngilu setiap bergerak, tapi dia tahu dia tidak boleh manja. Sudah banyak waktu yang terbuang selama dia di sini dan Rian terluka. Hari ini dia harus melanjutkan perjalanan..

"Ampun wungu rumiyen, panjenengan taksih gerah." Sang nenek mendatangi Nadia dan membantunya untuk duduk di lantai sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia menegur Nadia karena sudah bangun walau masih belum pulih.

"Dalem mboten punapa-punapa," balas Nadia berusaha menegaskan bahwa dia baik-baik saja tapi pasrah saja dituntun oleh Nenek Putih. "Aku harus pergi ke Jogja, Eyang Putri."

Sang nenek menggelengkan kepalanya lagi lalu mengembuskan napas. "Panjenengan dhahar rumiyen."

"Inggih, Eyang Putri." Nadia menurut ketika disuruh makan, merasakan perutnya kembali berdisko.

"Tidak ada yang terlupa?" tanya Bawang Putih khawatir pada Nadia yang memakai tas ransel di punggungnya.

Nadia merasa lebih baik setelah makan dan dipijat singkat oleh Bawang Putih. Rasa pegalnya berkurang dan kini dia sudah siap untuk berangkat. Di sampingnya, Rian memanggul tas punggung yang lebih besar. Pemuda itu tampak baik-baik saja setelah disembuhkan. Malah sekarang Nadia yang terlihat seperti orang sakit dan dikhawatirkan banyak orang.

Nadia sebenarnya tidak ingin bersikap ketus pada Rian, tapi gadis itu masih tengsin berat ketika Rian mengaku bahwa dia yang menggendongnya ke tempat tidur. Hal itu membuat Nadia tidak nyaman dan detak jantungnya menjadi tidak terkendali. Sudah sepagian dia menghindar dari Rian, tidak menatap matanya secara langsung.

"Hati-hati ya," ucap Bawang Putih.

"Aku lebih khawatir denganmu yang harus tinggal dengan ibu tiri dan Bawang Merah." Nadia merapikan lagi tasnya.

"Aku sudah mengutak-atik aura mereka." Nenek Putih berbicara sambil tersenyum ramah, tapi Nadia merasakan bulu tengkuknya berdiri. "Kami akan baik-baik saja. Kalian yang harus hati-hati karena perjalanan kalian tidak akan mudah. Rian, sebagai laki-laki, kamu harus menjaga Nadia."

"Baik, Nek," jawab Rian mantap.

"Aku bisa menjaga diriku sendiri!" sergah Nadia.

Dia mengambil tangan Nenek Putih dan menempelkannya ke dahi. "Nadia pergi dulu, Eyang Putri."

Rian meniru Nadia memberi salam sebelum mengikuti gadis itu melangkah. Tak lama kemudian mereka sudah dalam perjalanan menembus hutan ke arah jalan raya. Nadia mengandalkan offline map ditambah dengan kompas di ponsel, berharap perjalanan mereka tidak berbelok arah. Matahari masih rendah. Menurut jam ponsel yang baterainya dihemat-hemat, masih pukul delapan pagi. Mereka punya waktu seharian sebelum matahari tenggelam. Harusnya perjalanan ini hanya enam jam, kalau mereka tidak tersasar. Keong sudah bertengger lagi di bahunya.

Sepertinya perjalanan mereka cukup beruntung. Nadia menemukan sebuah jalan yang sering dilewati oleh penduduk lokal. Hanya sebaris tanah padat yang terlalu sering diinjak tanpa penunjuk jalan apa pun. Selama masih sesuai dengan arah kompas, Nadia mengikutinya tanpa ragu. Dia berharap dapat tiba di jalan raya lalu menumpang mobil menuju Madiun. Dari sana, mereka akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta. Terkutuklah para makhluk purba yang menolak menggunakan transportasi udara

"Kamu menghindariku?" tanya Rian ketika Nadia sedang melangkah melewati sebuah pohon tumbang yang menghalangi jalan setapak.

"Aku nggak menghindarimu," kilah Nadia terus berjalan, mempercepat langkah, tapi Rian mengikutinya tanpa kesulitan. Mudah saja, karena Nadia sudah kelelahan dan Rian masih segar bugar. Saat itu Nadia berpikir lebih baik Rian dibiarkan terluka.

"Tapi kamu tidak mau melihatku ketika berbicara," desak Rian.

Ternyata cowok itu bisa keras kepala juga. Nadia menggerutu dalam hati. Rian hanya menjadi penurut karena dia belum mengerti apa-apa di dunia ini, sekarang baru kelihatan sifatnya.

Nadia menghela napas panjang lalu memandang ke mata Rian. Hanya sekitar dua detik sebelum kembali menatap jalan. "Puas?!"

Rian mengerutkan alis tidak suka, tapi sebelum dia berkomentar, Nadia sudah memotongnya.

"Lebih baik pikirkan Sumbi-mu itu daripada mikirin yang nggak-nggak!" ketus Nadia terus melangkah, menahan rasa nyeri otot. Untung saja dia sudah sering memaksa diri dalam perlombaan, sakit seperti ini tidak ada apa-apanya.

Rian menutup mulut. Perjalanan kembali berlanjut dalam sunyi. Keong membisikkan kata-kata kepada Nadia mendorong agar dia berbaikan dengan Rian, membuat gadis itu merasa bersalah. Makhluk itu benar. Rian tidak melakukan apa pun yang membuatnya berhak mendapat bentakan dari Nadia. Semua masalah ini dimulai dari detak jantung Nadia yang tidak normal semenjak dia memiliki pikiran kalau Rian telah menggendongnya. Ugh, Nadia merutuki dirinya sendiri. Harusnya dia bisa lebih dewasa dan tidak membiarkan perasaan menguasai pikirannya.

"Ehm." Gadis itu berdehem berusaha memulai pembicaraan. "Rian, ceritain dong tentang Dayang Sumbi," pintanya basa-basi walau dia sudah tahu legendanya. Keong Mas memuji pelan keberanian Nadia.

Rian mendengkus kesal, membuat Nadia menyadari kalau dirinya sudah keterlaluan, terbersit egonya yang menolak kalah tapi Keong Mas terus menerus memuji membuat Nadia bungkam.

"Seperti yang sudah kubilang, dia pacarku."

Ada sengatan rasa sakit di dada Nadia yang dia abaikan dan terus fokus ke jalan setapak.

"Lalu? Gimana kalian bisa ketemu?" Nadia melontarkan pertanyaan standar kalau ada temannya yang sedang pacaran untuk memulai pembicaraan. Dia bergaul tentu saja, bukan seperti kakak kembarnya yang ansos.

"Yah, aku sedang berkelana di hutan ketika aku menemukan pondok. Ketika aku berkunjung, seorang wanita keluar dari sana dan menawarkan makan. Dia baik dan lembut ...."

Rasa sakit kembali menusuk membuat Nadia harus menghela napas dalam-dalam untuk tetap mendapatkan oksigen. Dia sesekali menoleh ke arah Rian, memberi kode untuk terus berbicara. Pemuda itu memegang sisi kiri kepalanya yang tertutupi oleh rambut tebal berwarna hitam, seakan membelai sesuatu di sana.

"Kelembutannya mengingatkan aku pada ibu yang tidak kupunya," ucap Rian membuat Nadia membulatkan mata, tapi gadis itu memilih untuk diam dan membiarkan Rian terus mengoceh. "Aku melamarnya dan dia menerimaku dengan syarat aku membuat danau untuk bulan madu kami dalam semalam. Aku yakin aku akan berhasil dengan kesaktianku. Tapi ayam berkokok tanda pagi sudah tiba, padahal hari masih gelap."

Rian menendang pohon hingga bergoncang karena kesal.

"Secara aturan, aku gagal memenuhi syarat untuk meminangnya, tapi aku yakin kami saling mencintai dengan atau tanpa syarat bodoh itu! Aku sedang perjalanan untuk meminta kejelasannya sebelum aku terlempar kemari."

Rian mengakhiri kisahnya dengan nada murung. Nadia menahan keinginan untuk menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Dia juga menahan diri dari mengatakan kebenaran bahwa alasan Sumbi memberikan syarat itu karena mereka berhubungan darah. Itu bukan urusannya. Tugasnya adalah menyelamatkan Aidan. Nadia terus mengingatkan diri, menekan sakit hati yang harus dia telan.

Menyerah sajalah, Rian menyukai orang lain.

Suara hati Nadia terus bergema mengingatkan. Namun, hatinya seakan memiliki pikirannya sendiri dan menolak mendengarkan akal sehat.

Pemuda itu kembali memegangi sisi kepalanya. "Entah mengapa aku merasa kalau Sumbi menyembunyikan sesuatu."

"Ada apa di sana?" tanya Nadia menunjuk ke arah tangan Rian yang mengusap sisi kiri kepala. Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan sekaligus menutup rapat rasa cemburu.

"Ini bekas luka ketika aku kecil. Kurasa ini alasan aku kehilangan ingatanku sebelum berumur tujuh tahun. Orang-orang desa yang menyelamatkan aku bilang kalau aku berdarah banyak sekali." Rian tersenyum canggung menatap Nadia. "Aku tidak ingat siapa orang tuaku atau bagaimana aku bisa sampai di desa yang menolongku."

Sesaat keadaan sunyi ketika Rian menyelesaikan kata-katanya. Nadia merasa iba pada pemuda itu.Sedikit banyak Nadia bisa merasakan apa yang dialami oleh Rian. Nadia akhirnya mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk ringan bahu pemuda itu.

Rian menoleh dan tersenyum. "Hatur Nuhun," ucapnya pelan, tapi sanggup membuat hati Nadia porak poranda.

"E-eh, sa-sama-sama," balas Nadia salah tingkah. Rian memperlebar senyumnya melihat kelakuan Nadia yang makin membuat Nadia kalang kabut. Dia berjalan lebih cepat untuk kabur.

Tiba-tiba saja sebuah dering memecah kesunyian. Nadia terlonjak dan bingung mencari sumber suara sampai akhirnya dia sadar kalau itu berasal dari ponselnya. Tanpa sadar, dirinya sudah mendapatkan sinyal dan nama yang tertulis di sana membuat Nadia merasa durhaka karena sempat melupakan keluarganya.

Aidan is calling.


Ugh, sakitnya kalo orang yang kita cintai malah bahas pasangannya di depan kita :'(

Yang tabah ya Nadia. Hiks ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top