12: Cie ... Yang Halu Kepalanya Dielus Gebetan

"Em, Eyang Putri saged agem basa Indonesia?" pinta Nadia setelah orang tua itu menjelaskan segala sesuatunya dengan Krama Inggil yang tidak dia pahami. Jangan tanya Rian, muka pemuda itu seperti menelan biji kedondong bulat-bulat.

Nadiia hanya mengerti sepatah dua patah kata dari ingatannya di masa lalu hasil percakapan dengan sang kakek. Sisanya, Nadia hanya mengandalkan konteks kalimat yang tidak banyak membantu ketika semua konsep yang dijelaskan oleh Nenek Putih--sebutan Nadia bagi Nenek itu--tidak dia pahami.

Sang Nenek berdecak dan menggumamkan beberapa kata yang Nadia tidak paham artinya, dengan nada mengomel. Gadis itu hanya bisa meringis dengan rasa bersalah.

"Aura yang kamu lihat itu adalah daya hidup makhluk." Sang Nenek mulai menjelaskan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti. Nadia berusaha mendengarkan dengan sungguh-sungguh walau baru kalimat pertama, rasa kantuk sudah menyerang. Dia benci teori.

"Dari sana, kamu bisa menyembuhkan atau justru membunuhnya." Seakan bisa membaca raut bosan Nadia, Nenek Putih berjalan keluar dari kamar. Nadia melihat ke arah Rian yang membalas tatapannya. Gadis itu tersenyum canggung sebelum mengikuti sang nenek.

Sesampainya di luar, Nenek Putih menuju pohon terdekat. "Apa kamu bisa melihat auranya?"

"Aku tidak bisa melihat aura tumbuhan dan hewan. Hanya manusia, hantu dan baru-baru ini, makhluk legenda," aku Nadia mengangkat bahu.

Sang nenek tidak menjawab. Dia mendekati Nadia dengan langkah tertatih lalu menyentuh dahi gadis itu. Seketika Nadia tersentak oleh sebuah sengatan yang mengalir dari sentuhan nenek hingga ke ujung kaki. Setelahnya, Nadia langsung merasa lemas dan jatuh berlutut.

Dia mengerjapkan mata dan tiba-tiba saja, pandangannya menjadi tumpang tindih. Rasanya seluruh benda memancarkan aura. Dia dapat melihat batu memancarkan cahaya kelabu suram sementara batang pohon berpendar kuning lemah. Nadia terpana selama beberapa saat.

"Aku baru saja membuka mata batinmu lebih lebar," ucap sang nenek serak, ada kelelahan yang menggantung berat. Napasnya terengah-engah.

Namun gadis itu bukan bahagia, dia malah menutup mata erat dengan kedua tangan. Takut akan kekuatan barunya. Dia ingin menghilangkan kemampuannya tapi kini justru semakin kuat.

"Aku nggak mau!" seru gadis itu sebelum terisak. "Aku cuma ingin jadi cewek biasa tanpa melihat hal-hal aneh!"

"Nadia," panggil sang nenek, tapi Nadia menolak membuka mata. Dia malah melipat lutut dan menyembunyikan wajahnya di sana.

"Nggak mau!" ucap Nadia lagi. "Aku nggak mau kekuatan ini!"

Nenek Putih menghela napas panjang, mendekati Nadia lalu menyentuh pundak gadis itu pelan. "Kamu membutuhkannya, Anak Muda. Perjalananmu masih panjang dan akan ada banyak bahaya di depan. Jika kamu gagal, orang-orang yang kamu sayangi akan terluka."

Nadia merasakan rasa sakit mengimpit dadanya. Bayangan Aidan dikejar oleh raksasa kembali hadir dalam benaknya, membuat tubuhnya gemetar.

Kakak bodoh itu tidak akan bisa bertahan sendirian. Nadia harus kuat untuk melindungi Aidan, hanya dia yang Nadia miliki di dunia ini, yang membagi beban atas kemampuan aneh mereka. Nadia tidak akan lagi meringkuk tidak berdaya. Kali ini dia akan menolong Aidan dan tidak akan terpisah lagi.

Walau rasa takut masih menguasai dirinya, Nadia menarik napas perlahan, seperti saat dia mempersiapkan pertandingan. Dia mengeratkan genggaman tangan dan menenangkan detak jantungnya, memerintahkannya untuk kembali normal.

Dia harus kuat. Nadia mengulang kalimat itu bagai mantra. Demi Aidan.

Sang nenek mengusap-usap pundak gadis itu sambil menatap prihatin. Beberapa menit kemudian, Nadia mengangkat kepalanya dan berdiri, menerima kenyataan dan kekuatan barunya. Dia menatap sekeliling dengan lebih tenang dan menyadari bahwa dia bisa memilih objek mana yang ingin dia lihat auranya. Begitu fokus pada satu bagian, aura yang lain akan memudar.

"Apa kamu siap?" tanya sang nenek.

"Iya," balas Nadia sambil mengangguk. Dia terus berusaha menenangkan dirinya dan mengingat mengapa dia melakukan ini. Tangannya gemetar dan hatinya masih menolak menerima bahwa dia menjadi semakin berbeda dengan teman-teman yang lain. Nadia mengingat-ingat kembali perasaan tidak berdaya ketika orang tua mereka bercerai dan Aidan dibawa pergi oleh ibunya. Nadia memejamkan mata, menguatkan tekad. Kali ini, dia akan berhasil.

Kerutan di wajah sang nenek membentuk sebuah senyum. Dia berjalan tertatih menuju pohon terdekat dan mengulurkan tangannya, menyentuh aura yang memancar lembut dari sana. Nenek itu menarik cahaya yang keluar dengan tangannya. Nadia terkesiap, dia belum pernah mencoba melakukan itu sebelumnya. Mencoba menyentuh aura dan memanipulasinya. Dalam diam dia terus mengamati sang nenek.

"Setiap aura menunjukkan kondisi makhluk yang memancarkannya. Kamu lihat lubang-lubang di dalam aura?" tanya sang nenek.

Nadia mengerutkan alis tidak paham. Namun, sebelum bertanya, dia melihat lebih detil ke arah jari jemari keriput sang nenek dan pada saat itu dia dapat melihat ada titik-titik kosong di aura yang ditarik keluar. Ada yang besar, ada yang tidak lebih dari lubang jarum.

"Jika kita memperbesar lubang-lubang itu, kita membunuh makhluk tersebut." Nenek Putih memainkan jemarinya, menarik aura semakin jauh dari tubuh utama dan efeknya langsung terlihat. Beberapa daun menguning dan berguguran. Nadia mendongak dan menyadari ada lebih banyak daun yang jatuh. "Namun ketika kita bisa menambal lubang-lubang yang ada, kita memperbaiki kerusakan tubuh dan jiwanya."

Selagi Nadia mengamati, kini sang nenek mendekatkan jemarinya ke tubuh utama, menggerak-gerakkannya seperti orang memainkan permainan karet gelang. Nadia melihat satu per satu lubangnya tertutup dan daun pun berhenti jatuh. Pohon itu bahkan tampak lebih rimbun dan hijau. Nadia mengerjapkan mata, mengagumi betapa besar pengaruh sesuatu yang selama ini dia anggap sebagai masalah.

Sang nenek melepaskan aura yang menempel di tangannya lalu berpaling memandang Nadia. "Sekarang coba kamu yang melakukan."

Nadia menelan ludah sebelum mendekati pohon yang sama dan mulai meniru apa yang dilakukan oleh sang nenek.

Matahari sudah condong ke barat ketika Nadia kembali ke dalam rumah. Nenek Putih memaksanya latihan tanpa henti, hanya sempat istirahat untuk mandi dan makan. Nadia nyaris tidak bisa merasakan tubuhnya yang berjalan masuk ke dalam rumah. Kakinya kram, tangannya lemas. Yang paling terasa menyiksa adalah perutnya yang keroncongan. Dia sudah makan siang dengan lahap, melebihi porsinya yang biasa. Namun, karena tenaganya keluar berlebih, dia tetap saja membutuhkan pasokan energi. Rasanya seperti sehabis pertandingan besar.

Ketika Bawang Putih membawa sepiring nasi dan sop serta perkedel, Nadia langsung makan seperti dikejar setan, mengabaikan semua tata krama. Ini persis yang dia rasakan ketika sedang berlatih untuk lomba. Untungnya, sebanyak apa pun makanan yang masuk, tidak pernah menjadi lemak, membuat tubuh gadis itu tetap ramping dan liat. Bawang Putih dan sang nenek memandanginya sambil menggelengkan kepala. Sesekali wanita tua itu menegur Nadia agar lebih sopan--yang diturutinya sekitar lima menit.

Setelah puas melahap sekitar tiga porsi nasi. Nadia merasakan rasa kantuk menyergapnya kuat, menempel erat ke matanya yang berat. Namun, Nadia tahu masih ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Maka, dengan langkah kaki berat dia bergerak masuk ke dalam kamar Rian, mendapati bahwa pemuda itu masih terbaring. Kehadiran Nadia membangunkannya. Dia menoleh ke samping dan tersenyum memandang gadis itu. Cahaya api dari lampu minyak bergetar pelan ketika udara menyapunya lembut.

"Gimana kabarmu?" tanya Nadia basa-basi, duduk di samping ranjang Rian, berlutut di lantai. Matanya benar-benar berat. Dia hanya ingin beristirahat setelah seharian berlatih.

"Baik, kurasa," balas Rian berusaha bangun, tapi kepalanya kembali pening membuatnya membatalkan niatnya.

"Dia seharian tidur," lapor Keong pada Nadia, merayap di ujung dipan sambil memainkan sungutnya.

"Aku akan menyembuhkanmu," ucap Nadia singkat. Dia terlalu lelah untuk berbicara, jadi dia memusatkan konsentrasi terakhirnya pada aura Rian yang berwarna biru muda.

"Istirahatlah dulu. Aku masih bisa menunggu besok."

Nadia menggeleng dengan keras kepala dan tidak berkata apa-apa lagi. Jari-jarinya mengambil sejumput aura Rian dan menyadari bahwa aura pemuda itu compang-camping. Dalam satu helaan napas panjang, Nadia mulai bekerja, mempraktekkan semua hal yang dia pelajari. Bagian paling sulitnya adalah menyulam aura tersebut hingga kembali menyatu, salah jalinan dan mungkin pasiennya akan lumpuh. Itulah yang Nadia mati-matian pelajari. Di dalam keremangan, Nadia dengan telaten menenun agar aura Rian kembali utuh. Cahaya tidak terlalu berpengaruh, karena mata Nadia melihat aura yang berpendar.

Saat menenun itulah, Nadia menyadari betapa lembut aura yang dimiliki Rian, berbeda dengan pohon yang menjadi objeknya sepanjang hari. Benda itu melekat di jari-jarinya bagikan kain sutera kualitas tinggi, membuat gadis itu tersenyum karena merasa nyaman. Sayangnya, Nadia tidak memiliki tenaga untuk merasa malu atau tersentuh. Seluruh daya dalam tubuhnya hanya memiliki satu tujuan, menyembuhkan Rian malam ini.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit hingga lubang terakhir tertutup sempurna. Nadia melepaskan aura milik Rian dan tepat pada saat itu tenaganya hilang. Dia bahkan tidak bisa mempertahankan duduknya tetap tegak. Seketika tubuhnya lunglai dan Nadia mempersiapkan kepalanya menghantam pinggiran dipan yang keras. Namun, alih-alih bunyi bedebum kasar, Nadia mendapati dirinya terjatuh di sesuatu yang empuk, entah apa. Dia terlalu lelah untuk berpikir dan terlalu mengantuk untuk membuka matanya. Dalam waktu singkat kesadarannya tergelincir ke alam mimpi.

"Hatur nuhun."

Sebuah suara bergema pelan di telinganya beserta sebuah usapan lembut di kepala. 

UPDATE LAGI!!! Yeees!!! Kasih semangat lagi doong biar bisa update makin sering 💪🏻

Gimana menurut kalian cerita ini? Apa Nadia berhasil nikung? //Heh

See you soon!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top