10: Orang Tua Mana yang Kasih Nama Anaknya Bawang?

Dari banyak hal yang tidak disukai Nadia, yang paling dia benci adalah menjadi lemah dan tidak berdaya.

Ketika orang tuanya bercerai, Nadia merasa menjadi pecundang terbesar abad ini. Dia tidak bisa melakukan apa pun untuk menengahi pertengkaran orang tua, juga ketika dia harus berpisah dengan Aidan. Alasan menemani sang ibu kembali ke kota kelahiran beliau membuat Nadia tak berkutik.

Perasaan yang sama mencengkeram benak gadis berkulit putih itu saat ini, ketika dia berhadapan dengan ketidakberdayaan sekali lagi. Di hadapannya jelas bukan manusia, tapi dia tidak memiliki pilihan selain menerima uluran tangan berbahaya tersebut. Mata hitam Nadia memandang ke arah Rian yang masih menutup mata dan mengerang kesakitan. Jika dugaannya benar, pemuda itu pasti mengalami gegar otak dan butuh tempat berbaring serta pengobatan yang layak, hal yang tidak bisa dia berikan di tengah hutan.

"Oh, aku lupa memperkenalkan diri." Gadis berkebaya tersebut tersenyum lembut. Ingin sekali Nadia percaya pada keramahannya. "Aku Bawang Putih. Rumahku tak jauh dari sini, jadi kita bisa membawa temanmu untuk dirawat. Aku bisa membantumu untuk memapahnya."

"Hati-hati, Nadia," bisik Keong pada gadis itu, membuat Nadia bimbang.

Nama yang aneh dan aura yang memancar memberi tahu Nadia identitas gadis itu. Salah satu tokoh dalam legenda. Hanya saja, Nadia sedang mengutuki keengganannya membaca buku seperti Aidan. Dia lupa Bawang Putih itu tokoh baik atau jahat, atau dia hidup dari cerita apa.

Nadia mengumpat lagi dalam hati.

Dia mengintip ke arah Keong dan menyadari bahwa hewan mungil itu mengeluarkan aura berwarna emas yang berpendar pelan. Benar, makhluk legenda memang memiliki warna aura yang berbeda-beda tapi tidak menentukan sifat mereka. Rian sendiri memiliki aura berwarna biru..

Nadia memandang kembali ke arah Bawang Putih yang kini berjalan mendekati Rian dan menghapus keringat pemuda itu dengan lengan kebaya. Hati Nadia dicubit rasa cemburu yang membuat alisnya berkerut.

"Ehm!" Dia membersihkan kerongkongannya untuk menarik perhatian Bawang Putih yang memandang ke arah wajah Rian. "Bantu aku membopongnya."

Nadia sengaja menggeser tangannya untuk menepis lengan Bawang Putih secara halus dari wajah Rian. Pemuda itu membuka mata lemah.

"Nad ...," ucapnya lirih.

Nadia tersenyum. "Apa kamu masih bisa jalan? Ada tempat istirahat nggak jauh dari sini."

Rian mengangguk dan berusaha bangkit. Nadia langsung menopang pemuda itu dan melingkarkan tangan kanan Rian pada pundak. Bawang Putih pun melakukan hal yang sama, lalu bersama-sama mereka berdiri dan berbagi beban. Rian dengan susah payah menapakkan kaki dan menggantungkan seluruh berat badannya pada kedua gadis di kanan kirinya. Rasa pusing mendera hebat kepalanya tapi dia berusaha bertahan. Dilihatnya wajah Nadia yang berjuang memapahnya, membuat seulas senyum tipis tersungging di sana.

Nadia tidak ingat berapa lama dia berjalan karena setiap langkahnya terasa seperti berjam-jam. Dia hanya tahu untuk terus melangkah walau napasnya terengah dan ototnya memberontak. 

Hanya satu langkah lagi.

Itu yang dia katakan berulang-ulang pada dirinya. Dia hanya perlu melangkah satu kali lagi. Terus demikian hingga akhirnya sebuah gubuk kecil terbuat dari kayu mencuat di antara pepohonan. Sebuah bangku panjang dari batang pohon yang dihaluskan secara asal, menunggu mereka di teras. Atapnya berbentuk segitiga berwarna cokelat tanpa cat tersusun dari potongan kayu. Walau kuno, tempat itu terlihat bersih dan terawat.

Melihat tujuannya sudah dekat, Nadia tidak bisa menahan senyum. Bersama Bawang Putih, dia memapah Rian menaiki tiga anak tangga yang memisahkan tanah dengan lantai rumah. Baru saja mereka menapakkan kaki di teras, pintu kayu di hadapan mereka terbuka, menampilkan seorang wanita berusia sekitar akhir tiga puluh yang masih cantik walau garis-garis keriputnya mulai terlihat. Wanita itu memakai kebaya berwarna merah tua dengan sanggul yang lebih besar.

"Astaga, Putih!" serunya ketika melihat anaknya kembali.

"Ibu, tolong siapkan kamar untuk tamu. Mereka terluka."

Tanpa membalas, wanita itu segera berlari masuk. Nadia mengikuti Bawang Putih memasuki rumah. Mereka melewati ruang tamu sangat sederhana yang kecil. Hanya ada sealas kain berwarna kelabu seluas dua kali dua meter terhampar di sana. Interiornya kosong, tidak ada meja atau kursi hanya beberapa kendi diletakkan di lantai. Nadia dapat melihat langsung ke arah dapur. Dari sana, melewati pintu belakang, Nadia dapat melihat kompor arang yang terletak di ruang terbuka, hanya dengan sebuah atap kecil yang menaungi dari cuaca, membuat gadis itu bertanya-tanya apakah dia sedang terlempar ke zaman lampau ketika pulau Jawa masih dikuasai oleh raja-raja.

"Lewat sini." Ucapan Bawang Putih membuat Nadia kembali ke alam nyata.

Mereka berdua membelok ke arah kanan, ke ruangan yang dibatasi oleh pintu yang hanya ditutupi selembar kain kasar berwarna sama dengan alas ruang tamu. Bawang Putih menyibakkan kain itu dan menampilkan sebuah ruangan sempit dengan satu dipan yang membujur di sudut. Jendela kotak yang mengarah ke halaman depan meloloskan sinar matahari yang terik. Nadia dapat melihat penyangga kayu yang menahan agar tutup jendela tetap terbuka.

Dengan dibantu tiga orang, Rian akhirnya dapat berbaring nyaman di atas dipan. Pada saat itu baru pelajaran P3K yang Nadia dapatkan ketika berlatih Tae Kwon Do muncul dalam pikiran. Dia segera meminta air bersih dan kain yang segera disanggupi oleh kedua pemilik rumah. Dalam waktu kurang dari satu jam, luka di kepala Rian sudah terbebat rapi dan tubuhnya sudah dibersihkan dengan air hangat, bersyukur pada ibu Bawang Putih yang membantu. Nadia tidak akan bisa memandang dada telanjang Rian tanpa membuat wajahnya semerah kepiting rebus. Seumur-umur satu-satunya tubuh cowok yang pernah dia lihat adalah badan kerempeng kakaknya.

Setelah itu, Rian tertidur. Nadia berjaga-jaga di sampingnya. Pada saat itu Nadia baru sadar betapa lelahnya dia. Gadis itu mengempaskan tubuh di tanah dan bersandar pada dipan dan mendengarkan perutnya keroncongan. Dia mengeluarkan biskuit dari ransel dan melahap benda itu hingga habis. Setelahnya, dia menghabiskan setengah botol air yang dia bawa.

"Kurasa kita akan aman," ucap Nadia setengah berbisik pada Keong yang berjalan di ujung dipan. "Untung kita bertemu dengan Bawang Putih dan ibunya."

Keong terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku masih merasa kalau mereka berbahaya."

Nadia terdiam sejenak. Samar-samar tercium bau masakan dari belakang rumah. Sepertinya ibu dan anak itu sedang menyiapkan makan malam. Sinar matahari melemah seiring waktu dan tinggal menunggu waktu sampai benar-benar lenyap. Gadis itu berusaha mengingat-ingat legenda yang ada tokoh bernama Bawang Putih. Benar juga, judulnya kalau tidak salah, Bawang Merah dan Bawang Putih. Sepertinya dia melupakan sesuatu yang penting tapi kepalanya menolak bekerja sama.

"Nad ...."

Suara itu membuat Nadia berjengit kaget. Segera saja dia menoleh ke arah Rian, mendapati bahwa pemuda itu sudah membuka mata. Nadia menyalakan senter dari ponsel untuk mengimbangi cahaya yang makin redup. Dia menegakkan duduknya untuk melihat Rian. Pemuda itu berusaha bangun tapi Nadia langsung berdiri dan menahannya agar terus tiduran.

"Udah diem aja!" seru Nadia yang ditingkahi dengan senyum lemah Rian. "Kamu itu nyaris mati."

"Aku ngga akan mati segampang itu," ucap Rian walau dia menurut. Kepalanya masih berdenyut sakit tapi setidaknya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. "Kita di mana?"

"Di rumah Bawang Putih, cewek yang tadi membantuku memapahmu." Nadia mengeluarkan biskuit lain, membukanya dan menyuapi pemuda itu. "Makan dulu lalu tidur lagi. Kamu pasti masih pusing."

Rian mengunyah benda gurih tersebut dan menelannya. "Kalau Nenek Sihir itu muncul lagi, lari saja."

"Aku nggak mungkin ninggalin kamu, lah. Kamu sudah janji untuk menolongku ketemu Aidan. Jangan jadi pembohong!" Nadia menyuapkan sepotong biskuit lagi. 

Rian tersenyum lemah dan menerima makanan itu. Ketika Nadia memberikannya keping ketiga, pemuda itu menolaknya. Rasa mual kembali naik ke ulu hati dan tubuhnya kembali lemah.

"Minum sedikit dulu. Itu penting untuk biar kamu nggak dehidrasi." Nadia berceramah sambil menyodorkan botol minum baru. Dia menahan kepala Rian untuk membantunya meneguk air.

Sensasi dingin langsung memenuhi kerongkongan Rian, memberikan rasa segar yang merilekskan tubuh. Kantuk kembali menerjangnya bagai ombak, menyeret kesadarannya ke alam mimpi.

"Hatur nuhun ...," ucapnya sebelum kembali terlelap.

Nadia berdecak. Dia tidak tahu apa yang dikatakan oleh Rian. Tak lama kemudian terdengar dengkur halus yang menandakan bahwa pemuda itu sudah tertidur. Nadia mengamati wajah Rian dalam remang, menyadari betapa tampannya pemuda itu. Detak jantungnya kembali berulah. Nadia segera memalingkan wajah dan berusaha fokus.

"Keong, tolong jaga Rian. Aku akan mencari tahu tentang penghuni rumah ini." Nadia mematikan cahaya dari ponselnya. "Kalau ada apa-apa, kamu boleh gigit dia sampai bangun."

"Tapi, aku tidak bisa menggigit ...."

"Yah, lakukan apa saja lah!" sergah Nadia seraya berjalan mendekati pintu dan menyibakkan kain dengan pelan. Aroma masakan tercium makin kuat dan dia dapat melihat bahwa Bawang Putih menyalakan lilin.

Gadis itu menunduk dan berjingkat menuju dapur sambil terus berusaha mengingat-ingat hal yang dia lupakan dari legenda tentang Bawang Putih dan Bawang Merah. Samar-samar dia mendengar suara mereka, tapi tidak jelas. Bawang Putih sedang berbicara dengan suara rendah, memaksa Nadia terus maju. Sambil bersembunyi di balik kendi terdekat, Nadia akhirnya dapat menangkap kalimat terakhir yang terucap.

".... bunuh dengan racun."

Mata Nadia terbelalak. Pada saat itu, sebuah kepingan ingatan muncul dalam pikiran. Nadia ingat, kalau Bawang Putih tidak memiliki ibu. Dia hanya memiliki ibu tiri dan hubungan mereka tidak baik. Nadia menelan ludah dan tiba-tiba menyadari apa arti aura merah yang dia lihat sebelumnya. Benar kata Keong Mas, mereka dalam bahaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top