La Vie Luna
Nurvita Kumala menggenggam ponsel di tangan kanan kuat-kuat, sementara tangan kirinya menopang tubuh dengan bergelantungan pada pegangan di bagian atas gerbong KRL commuter t line. Sebuah earphones tergantung di telinga.
Kondisi KRL yang penuh sesak setiap jam pergi dan pulang kerja sudah biasa bagi Vita. Tak jarang ia harus mendorong atau didorong oleh orang lain yang memaksa naik meski KRL sudah penuh. Tentu saja menunggu kereta berikutnya berisiko terlambat kerja maupun tiba di rumah.
Wanita bertubuh gempal itu tak mungkin mengeluh, moda transportasi ini adalah yang paling murah dan mudah baginya untuk menuju ke kantor di kawasan Kebon Sirih, Jakarta. Ia hanya bisa membuat perjalanannya terasa lebih nyaman. Mendengarkan musik, membuka media sosial, atau membaca cerita di platform digital adalah hal yang biasa ia lakukan, selain bergosip secara daring dengan beberapa temannya.
Seperti saat ini, setelah Vita mendapat posisi berdiri yang cukup nyaman, ia langsung mengirim pesan WhatsApp kepada seorang koleganya di kantor.
Vita
Tebak, siapa yang tadi gue liat lagi masuk ke mobil Pak Andre di coffee shop depan kantor? M E L I
Ismi
Sumpah lo? Jangan-jangan cuma mirip bajunya.
Vita
Mata seorang Vita ga mungkin salah liat kalo soal beginian. Kan gue udah pernah bilang ma lo. Si Meli tu keliatannya doang kalem, padahal mah player. Ga tanggung-tanggung si boss pula yang dia sosor.
Ismi
Masa sih? Mungkin Meli cuma numpang kali. Soalnya tadi dia pamit Mba Elsa mau ke Sarinah ketemu sama orang pajak.
Vita
Hello?! Kalo emang numpang mah ngapain naik dari coffee shop. Kenapa nggak dari parkiran, coba?
Ismi
Hmmm, iya juga sih. Gue nggak nyangka Meli ternyata begitu. Pantesan Pak Andre belain dia mulu.
Vita tersenyum, puas karena temannya telah termakan hasil analisis asal-asalan yang ia buat.
Setibanya di rumah, tak banyak yang Vita lakukan. Tubuhnya sudah lelah, menuntut istirahat. Namun begitu, ia tetap melakukan sesuatu yang tak pernah ia lewatkan, mengecek Luna - putri satu-satunya yang kini beranjak remaja. Meski sesibuk apa pun, Vita selalu menyempatkan diri mengobrol dengan anaknya menjelang tidur. Ia tidak ingin melewatkan perkembangan anaknya, terutama setelah perpisahan dirinya dengan sang suami.
Sudah dua tahun ini malam-malam Vita terasa kosong. Tak ada lagi sosok yang menemaninya melewatkan akhir hari dengan panas dan liar di ranjang kenikmatan. Tiada lagi pelukan dan ciuman mesra yang mengisi paginya. Sejak perceraian sialan itu, bagi Vita banyak hal berjalan sekadar rutinitas yang kehilangan makna.
Perceraian sungguh menggores luka dalam di hati Vita. Terlebih pemicunya adalah kehadiran orang ketiga, dan ia menjadi yang tersisih. Hancur sudah rumah tangga yang dibinanya selama tiga belas tahun. Sebuah pukulan telak yang membuat wanita berusia 35 tahun itu tak lagi memercayai cinta sejati.
Namun, di tengah kehancuran hati Vita sadar masih ada Luna yang harus ia jaga. Wanita berwajah manis itu tak ingin terjebak dalam trauma berkepanjangan. Untuk itulah ia melakukan self healing dengan mengeluarkan segala unek-uneknya. Ia pun mulai menggeluti lagi hobi lamanya, menulis cerita. Dan Wattpad menjadi pelabuhan yang ia pilih untuk mulai mengangkat sauh.
Abel tak terima mama Rifky menghina ayahnya. Dadanya sesak mendengar kata-kata tajam yang keluar dari mulut wanita yang masih cantik di usianya yang tidak muda lagi. Meski sangat mencintai Rifky, gadis itu tidak rela keluarganya direndahkan. Lebih baik sakit hati kehilangan pacar daripada harga dirinya diinjak-injak.
“Maaf, kalau memang Ibu tidak suka saya berhubungan dengan Rifky katakan saja. Namun, jangan bawa-bawa pekerjaan ayah saya, apalagi memandang remeh keluarga kami,” ujar Abel geram. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi.
…
Mata Vita menerawang, jemarinya berhenti mengetik. Buntu. Ia membuka cerita-cerita lain yang muncul pada bagian rekomendasi Wattpad miliknya untuk mencari inspirasi kelanjutan ceritanya.
Namun, beberapa kali ia mengetuk judul cerita yang menarik minatnya, matanya malah sakit. Tulisannya penuh typo dan kalimat tidak efektif, tetapi telah dibaca jutaan kali. Cerita sampah, tak lebih dari nganu, sama sekali tidak ada konflik unik yang ditonjolkan. Ia yakin ceritanya jauh lebih bagus dari itu.
Ketika awal bergabung dengan Wattpad, Vita tidak pernah mempermasalahkan apakah cerita yang ia tulis memiliki pembaca. Toh ia menulis memang untuk mencurahkan perasaannya. Namun, setelah beberapa bulan ceritanya masih sepi pembaca membuat hatinya gerah.
Tanpa pikir panjang, ia membuka Facebook lalu menulis sebuah status di grup kepenulisan yang ia ikuti.
“Aku mung heran nyaopo cerita abal-abal kok yo populer banget. Padahal penuh dengan singkatan dan kisahnya mung bucin, thok, ndak ono isine. Contoh, nih: The Queen Harem, CEO Enggak Perjaka, Pacarku Suka Darahku, dll.”
Wanita setengah baya itu tak pernah menyangka status yang dipasangnya mendapat ratusan like dan komentar hanya dalam selang waktu yang singkat. Ia menggeleng-geleng membaca beberapa komentar yang menyudutkan. Beberapa ia balas dengan tajam. Siapa takut?!
Namun, dari sekian banyak komentar yang masuk hanya akun Tamagochan yang berhasil menggelitik rasa penasarannya.
“Gila, dua puluh lima buku!” pekiknya spontan. Ia pun membuka link ke blog sang pemilik akun dan menemukan ulasan singkat dari para pembaca yang rata-rata memberi bintang empat.
Tanpa berpikir dua kali, Vita langsung memberikan nomor WhatsApp-nya ketika Tamagochan menjanjikan tips untuk terkenal di Wattpad yang bisa mengundang penerbit menawarkan kontrak penerbitan buku.
Gimana? Makin Hot?
Harap bersabar kalo bagian terbaiknya masih belum keluar. Nama juga masih awal-awal huehehehe
Stay tune ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top