45 - Hilangnya Mahkotaku

"RENAAAALD!!!" seru Regina histeris. Ponsel yang biasanya tak pernah lepas dari kuku bermanikur itu kini dibiarkan teronggok di dalam tas Prada yang dia bawa.

"Renald! Jawab Mama, Nak!!!" jerit Regina membuat semua orang di mall memandangnya dengan jengah. Air mata meluncur tanpa kendali membuat maskara anti air pun tidak bisa menahan. Garis-garis hitam terbentuk di pipi berlapis foundation itu.

Mengabaikan sang suami yang masih murka karena istrinya lalai, Regina keluar dari kafe teras tersebut dan mulai menanyai siapa pun yang dia temui. Orang lewat, penjaga toko sebelah, satpam, hingga para pengunjung kafe yang sedang menyantap makanan.

"Kalian melihat anakku?! JAWAB!!!" serunya sambil mencengkram baju seorang ibu-ibu setengah baya yang memandang ketakutan ke arah Regina. Wanita cantik itu seperti kesetanan.

Keributan itu tak pelak membuat orang berkumpul dan Regina menjadi pusat perhatian. Suaminya yang malu segera memeluk Regina erat dan menariknya lepas dari ibu-ibu yang diserangnya. Regina meronta membuat rambut panjangnya yang halus kini tergerai kusut. Penampilannya tak ubah seperti orang gila.

"DIAM!" bentak pria gagah itu pada istrinya.

Regina terus meronta hingga pria itu tidak memiliki pilihan dan melepaskan wanita itu. Regina segera berbalik dan menuding suaminya.

"Kenapa kamu ga jaga dia?!"

"Aku sudah nitipin ke kamu! ITU SALAHMU SAMPAI RENALD HILANG!" balas Armand murka. "KAMU TIDAK PERNAH LEPAS DARI PONSELMU DAN TIDAK MENJAGA ANAKMU!"

"SALAHKU?!" seru Regina tak kalah sengit. Suaranya melengking hingga kerongkongannya sakit tapi dia tidak peduli. "ITU ANAK KITA! BUKAN ANAKKU AJA!"

Regina menghentak-hentakkan sepatu stileto keras-keras sebelum berlutut dan kembali menangis. Dia memanggil-manggil Renald putus asa.

Seorang satpam akhirnya berani mendekati setelah wanita itu tampak lebih tenang.

"Maaf, Pak. Mungkin Anda dan istri bisa ke informasi untuk mencari tahu. Mungkin saja anak Anda tersesat dan ditemukan orang," ucap pria berseragam itu sedikit ketakutan.

"Renald anak yang pintar! DIA GA MUNGKIN NYASAR!!!" bentak Regina membuat satpam itu kembali melangkah mundur.

"JAGA MULUTMU!" balas Armand. Kali ini Regina bungkam dan kembali menangis di lantai mall. "Terima kasih, Pak. Kami akan melapor." Pria itu berusaha tenang dan ramah pada satpam tersebut.

"Mari, Pak, saya antarkan ...."

Armand melihat istrinya yang begitu menyedihkan, tapi anehnya tidak ada rasa iba. Dia justru merasa marah pada istri yang lebih mementingkan kehidupan dunia mayanya daripada anak kesayangan mereka.

"Berdiri!" bentak Armand sambil meraih lengan Regina kasar.

Regina berusaha melawan tapi tenaga suaminya lebih kuat. Wanita itu akhirnya bangkit dan terseok mengikuti langkah Armand yang mengikuti sang satpam. Namun sebelum mereka berjalan lebih dari lima langkah, seorang pegawai dari gerai pakaian mendekati mereka dengan takut-takut.

"Ma-maaf, Pak, Bu. Apakah anak Anda memakai baju kuning dengan celana biru? Umurnya sekitar empat tahun?" tanya gadis yang berusia awal dua puluhan itu.

Mendengar anaknya disebut. Regina langsung mencengkram bahu si pegawai membuat gadis itu meringis. "BENAR! BENAR! Lu lihat Renald?!"

"Regina!" seru Armand kembali menggunakan tenaganya untuk menahan Regina dari menyakiti sang pegawai. "Benar, itu anak kami. Apakah kamu melihatnya?"

Gadis itu mengangguk lemah. "Dia digandeng sama cowok yang pakai sweater warna abu-abu. Mereka jalan ke arah parkiran." Gadis itu menunjuk pintu yang tak jauh dari sana, yang menuju parkiran mobil.

Mendengar itu mata Regina yang berlumuran maskara membelalak. Dia langsung menoleh ke arah suaminya sambil meraih kemeja biru sutra tersebut. "ITU! ITU PASTI RARA!"

"Rara?" tanya Armand keheranan. "Siapa dia?"

"Dia orang yang stalking aku di sosmed! Sering komentar hal-hal tidak senonoh di instagramku. Sekarang dia lagi buron karena menipu." Regina berusaha menjelaskan sebisanya sementara kakinya terasa lemas dan kepalanya sakit. Air mata kembali mengalir di pipinya. "Vita sudah bilang hati-hati ...."

Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan sementara Armand yang masih memiliki logika langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kenalannya di kepolisian. Biasanya birokrasi polisi sangat repot hingga kebanyakan kasus tidak tertangani dengan baik. Beruntung, Armand dengan bisnisnya, membangun koneksi yang luas. Regina masih terus menangis sementara suaminya berbicara di telepon.

"Sekarang kita ke kantor polisi untuk membuat laporan." Armand menyeret Regina yang terpuruk ke arah parkiran tempat mobil mereka diparkir. "Jangan menangis!" bentaknya membuat Regina justru makin tersedu. Pria itu menganggukkan kepala kepada satpam dan pramuniaga sebelum berjalan pergi.

Di dalam mobil, Armand berusaha untuk menenangkan diri walau amarah di dalam dadanya meraung hebat. Semua adalah salah Regina. Seandainya istrinya itu menurut ketika disuruh menutup akun IGnya, atau mendengarkan permintaannya untuk tidak memposting wajah anak mereka sembarangan di sosial media. Namun, Regina tetap keras kepala. Dia beralasan bahwa anak-anak artis papan atas pun dipamerkan begitu saja. Pria gagah itu memukul setir untuk menyalurkan amarah dan menginjak pedal gas dalam-dalam untuk membelah keramaian kota dan tiba di kantor polisi.

Regina pelan-pelan kembali tenang dalam perjalanan. Dia harus menghubungi Vita. Mungkin wanita itu punya petunjuk di mana Rara. Dengan tangan gemetar dia mengambil ponselnya, sambil memandang sang suami yang tampak tidak peduli dan terus memandang jalanan. Pelan-pelan dia menekan nomor Vita yang ada di daftar kontak.

"Ha-halo?" ucap Regina lemah.

"Regina? Ada apa?" balas Vita, nada suaranya tidak ramah.

"Gimana so-soal Rara?" Regina tidak ada tenaga untuk menanggapi Vita yang jutek.

"Ngapain nanya-nanya. Katamu, ini urusanku dan keluargaku."

Regina mau menangis lagi tapi dia tahan. "Renald ... diculik, Vit."

Terjadi keheningan selama beberapa saat di antara mereka. Di ujung sambungan, rasa bersalah membebani Vita. Regina memang menjengkelkan. Egois dan seenaknya sendiri, tapi sebagai sesama ibu, Vita tahu betapa menyedihkannya kehilangan anak. Rasa empati memenuhi wanita itu membuat suaranya lebih ramah.

"Ini aku sama polisi lagi grebek rumahnya Rara ...."

Regina terisak. Dia menutup mulutnya dengan tangan. "A-apa ada Renald di sana?"

Vita menggeleng, tanpa menyadari kalau Regina tidak bisa melihatnya. "Nggak tau, ini polisi lagi ngepung rumahnya. Aku di luar ...."

Tangis Regina makin keras, membuat Armand akhirnya menoleh ke arahnya, tapi pria itu tetap diam.

"Ya Tuhan, semoga dia ada di sana ...."

"Regina, nanti aku telpon lagi ya kalau sudah ada kabar," ucap Vita lirih. Semua kekesalannya menguap. Kini dia berhadapan dengan sesama ibu yang menyayangi anak mereka. "Kamu banyak berdoa ya."

Regina mengangguk. "I-iya."

Sambungan telepon ditutup. Regina mengangkat kepala. Mobil mereka sudah masuk ke halaman kantor polisi terdekat.

"Ayo turun," ucap Armand dingin.

Regina memandang suaminya itu dengan mata berkaca-kaca, tapi tidak memiliki tenaga untuk berkata apa-apa bahkan untuk menceritakan pembicaraannya dengan Vita. Armand tampak jauh dan Regina tahu suaminya itu sedang marah padanya.

Sambil membuka pintu mobil, Regina berdoa agar Renald ditemukan di rumah Rara. Sementara itu, Vita yang berada berkilo-kilo meter jauhnya, memandang rumah Rara dikelilingi oleh polisi berseragam. Jantungnya berdebar-debar melihat bagaimana polisi-polisi itu masuk. Dalam hatinya dia pun berharap, Renald ada di sana dalam keadaan utuh.

Namun, benarkah harapan mereka terjawab?

Siapa yang menculik Renald ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top