37 - Ronde Pertama yang Memabukkan

"Bu?" tanya Luna melihat wajah ibunya yang masih terpekur melihat ponsel. "Kenapa, Bu?"

Vita mengalihkan pandangannya dari ponsel tersebut. Dia melihat anak semata wayangnya yang kembali padanya. Mereka sedang duduk bersebelahan di sofa ruang tamu dengan buku pelajaran berserakan. Melihat gadis itu, perasaan berat Vita sedikit terangkat.

"Nggak ada apa-apa, Nak. Ibu senang kamu mau ngobrol lagi sama Ibu." Vita mengelus kepala Luna dengan sayang. 

Luna menyunggingkan senyum, membuat Vita kembali mantap. Keputusannya untuk menutup Wattpad sudah benar. Kini dia bisa fokus mencurahkan perhatiannya pada sang anak, bukan mendulang popularitas dengan cara-cara yang salah. Untuk biaya sekolah Luna, Vita sudah berencana untuk menjadi reseller pakaian dari teman lamanya. Lumayan buat menambah penghasilan.

"Eh Luna, bukannya sebentar lagi kamu ada Study Tour ya?"

Luna mengangguk, membuat Vita panik. "Sudah waktunya bayar belum?"

"Lusa, Bu, batas pembayarannya." Luna agak gelisah karena sungkan meminta ibunya hingga terlambat membayar.

"Oke, besok Ibu ambil uang ya," balas Vita tetap terlihat tenang walau dalam hatinya dia panik karena uang di tabungannya menipis. Gajian masih seminggu lagi.

Sementara Luna melanjutkan mengerjakan pekerjaan rumahnya, Vita memutar otak mencari cara untuk mendapatkan uang. Benar juga, Rara ada meminjam uangnya untuk proses pra produksi buku. Berhubung dia sudah membatalkan rencananya untuk menerbitkan buku, harusnya masih bisa dikembalikan. Toh belum sampai seminggu sejak mereka terakhir kali sepakat, Vita yakin Rara belum memulai proses apa pun.

Wanita bertubuh tambun itu pun mengambil ponsel dan mengirim pesan WA ke Rara.

"Aku mau minta balik uang dua juta yang kamu pinjam buat proses pra produksi."

Dengan cepat tanda centang satu berubah menjadi centang dua lalu biru. Vita menunggu was-was Rara membalas. Namun hingga lima menit berlalu, tidak ada pesan yang masuk. Vita memutuskan untuk mengirim pesan lagi. 

"Ra? Bisa balikin? Aku butuh buat bayar study tour-nya Luna."

Centang dua tapi tidak ada centang biru. Alis Vita berkerut.

"Ra?"

Vita kembali mengirim pesan untuk membuktikan. Centang dua tanpa pernah dibaca. Dia beberapa kali mengirim pesan yang sama. Tidak ada perubahan. Vita mulai panik. Dia mencoba menelpon Rara via WA tapi juga tidak diangkat. Tidak menyerah, Vita mencoba menelpon memakai pulsa. Terdengar beberapa kali nada sambung lalu dialihkan. 

"Apaan sih?!" umpat Vita.

"Bu?" tanya Luna teralihkan konsentrasinya melihat ibunya kesal. 

Vita berusaha tersenyum. "Gapapa, ini kayanya WA Ibu error. Coba Ibu ke luar dulu cari sinyal."

Luna mengangguk lalu kembali mengerjakan PR-nya sementara Vita berjalan keluar. Dia menelpon Rara sekali lagi tapi kali ini dia langsung dialihkan. Seperti itu terus walau Vita sudah mengulang hampir sepuluh kali. Vita meradang. Rara benar-benar tidak mau menerima teleponnya. Pesan WA pun masih centang dua tanpa ada tanda-tanda terbaca. Entah kenapa firasat Vita buruk. Padahal biasanya dia sabar kalau ada yang belum membaca pesannya. Orang pasti punya kesibukan.

Karena masih belum bisa mengenyahkan pikiran buruk, Vita mencari jalan lain.

Vita:

Regina, kamu tahu nomor WA Rara yang lain?

Regina:

Apaan sih? Kenapa nanya-nanya?

Vita:

Aku mau kontak dia, minta dikembaliin duit pra produksi yang udah kutransfer. WA-ku ga dibaca, aku telpon juga dialihkan. Jangan-jangan dia nipu.

Regina:

Kalo dia mau nipu ya dari dulu kali. Ngapain juga dia susah-susah bantuin kita sampai pemes. Lu ga sabaran banget! Kali aja dia lagi sibuk. 

Vita:

Kamu masih bisa chat dia? Grup gimana? Bilangin dong kalo aku BU. Balikin duitku.

Regina:

Grup udah buyar. Isinya cuma gue sama dia doang, mending japri lah. Gue ga mau ikut campur. Itu urusan lu dan keluarga lu. Gue sama Rara masih punya urusan bisnis. Buku gue juga udah mau diterbitin, ntar kalo dia ikut-ikutan nyuekin gue gara-gara lu gimana coba? Udah ah, tunggu bentar. Lu nya yang parno. Urusan dia kan ga cuma lu. Eh omong-omong soal parno. Kayanya akhir-akhir ini, gue merasa ada yang ikutin gue deh.

Masa kemarin gue ajak anak jalan-jalan, merasa ada yang liatin dan ngikutin, tapi pas gue noleh ga ada siapa-siapa.

Vita:

Kamu ngatain aku parno tapi kamu sendiri yang parno. Itu urusan lu dan keluarga lu. Aku juga ga mau ikut campur. Salah sendiri kamu pake baju seksi bahenol ya pasti diliatin cowo hidung belang lah.

Regina:

Ih! Sewot amat! Bilang aja lu sirik karena body gue lebih bagus dari lu.

Vita:

Kalau ga mau diliatin ya pake baju yang sopan lah. Udah ah! Kalo Rara ada hubungin kamu, kabari aja dicariin Vita. Cek WAnya.

Regina:

Ck! Ogah! Lagian terserah gue dong mau pake baju apa.

Vita tidak lagi menggubris balasan pesan dari Regina yang terus masuk penuh dengan rasa tidak terima kritik Vita akan cara berpakaiannya. Wanita pesolek itu tetap egois dan kekanakan. Mana tahu dia soal banting tulang memenuhi kebutuhan hidup dan nilai uang. Vita kesal setengah mati. Kadang-kadang nasib begitu tidak adil. Regina lahir dengan paras dan badan yang bisa dijual. Para pria pasti rela diinjak untuk memenuhi kebutuhan manjanya. Berbeda dengan Vita yang berbadan bongsor dan bermuka standar. Dia harus bekerja mati-matian supaya tidak diremehkan.

Namun perkataan Regina ada benarnya. Mungkin Rara sibuk jadi belum bisa dihubungi. Vita berusaha menenangkan diri. Benar. Nanti setelah menemani Luna belajar, dia akan mencoba menghubungi Rara.

Wanita itu menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum kembali berjalan masuk dan membantu anak kesayangannya menyelesaikan pekerjaan rumah. Tak lama kemudian, dia dan Luna sudah bersenda gurau seperti biasa.

Regina masih kesal karena Vita mengatainya dan makin kesal karena pesannya diabaikan oleh Vita. Wanita cantik itu berdecak kesal sementara anaknya sedang bermain dengan suami.

"Sayang, jangan lihat HP terus dong, masa suami seganteng ini dianggurin?" Pria blasteran itu berusaha merayu istrinya yang tampak cemberut.

Mulut Regina mengerucut manja. "Babe!!!" Dia memukul lengan kekar lelaki yang sudah memberinya seorang anak manis itu. "Masa temanku bilang aku ganjen."

Sambil mencium pipi tembam balita digendongan, pria itu menggandeng Regina. "Dia iri aja sama kecantikan istriku."

Gombalan sang suami berhasil membuat simpul di bibir bergincu itu terlerai menjadi senyuman. Regina menempel manja ke suami tercintanya sambil terus berjalan di salah satu pusat perbelanjaan yang sedang ramai-ramainya karena itu adalah malam sabtu. Regina memang sengaja meminta ke mall untuk membeli produk-produk terbaru keluaran brand ternama. Jadwal jalan-jalannya ke Singapore masih dua bulan lagi, tapi Regina tidak mau ketinggalan mode. Lagipula dia bisa bersolek dan memamerkan keluarga bahagianya ke siapa pun pengunjung mall yang beruntung berpapasan dengan mereka.

Regina mengangkat kepala sombong, sebelum tiba-tiba dia disergap perasaan yang sama. Bulu kuduknya merinding.

Ada yang mengamatinya. 

Regina sontak menoleh tapi di antara keramaian mall, dia tidak bisa menebak dari mana arah pandangan menusuk itu.

"Ada apa, Babe?" tanya sang suami menyadari gerakan Regina.

"Nggak ada apa-apa." Regina menjawab sambil tersenyum manis.

Mungkin benar kata Vita, ada banyak orang yang iri dengan kesempurnaan yang dimiliki Regina. Sebuah senyum muncul di wajah wanita itu. Lagipula bukannya dia berdandan untuk dilihat?

Hmm

Rara ke mana ya? Dan beneran ga sih Regina di stalking?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top