36 - Addicted as A Sugar Baby
Permen gulali di dunia nyata ternyata tidak semanis di Dunia Jingga.
Anggapan itu baru saja diyakini Luna setelah ada sepasang tangan maskulin nyaris merenggut mahkotanya.
Di depan bola mata Luna, terpampang jelas, pria necis beraroma musk itu menjadi kasar dan agresif.
Bagi seorang Luna yang jarang bersosialisasi dengan laki-laki, posisi tubuh tegap yang mengurung dirinya dengan tatapan seperti singa kelaparan sangat menakutkan.
Seperti ada yang salah. Ditambah ia tiba-tiba terngiang akan cerita Ibunya tentang betapa buruknya makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Ibu! Ibuuuuu, tolong Luna! Mulutnya membeku, tetapi batinnya meraung-raung.
Kalau saja ia menuruti apa kata Ibunya. Karena Ibu yang sudah makan asam garam banyak pasti tahu segala konsekuensi perbuatan di dunia ini ketimbang dirinya yang masih hijau.
Namun, apakah salah ia menuntut perhatian di kala semenjak Ibunya lebih asyik bersama kawan virtual, sehingga dirinya menjadi tersisih?
Bermula dari kencan candlelight dinner, ia diajak pergi ke sebuah persinggahan rooftop bintang lima. Pria itu menjanjikan keindahan malam romantis di sebuah hotel kawasan perumahan senator negara. Kerlap-kerlip dan bangunan berlantai belasan yang menjulang ke atas mempertontonkan bahwa tempat itu berkelas.
Tentu saja merupakan hal langka bagi Luna. Bagai imaji yang kembali menyetel adegan romantis dalam cerita age gap yang menyita atensinya berminggu-minggu belakangan ini. Sampai rela bergadang melupakan tugas-tugas sekolah. Termasuk selalu menghindari pekerjaan rumah karena lebih memilih pergi untuk mendapatkan afeksi di luar yang lebih menjanjikan.
Apalagi bagi Luna yang secara alam bawah sadar sangat merindukan figur Ayah, lelaki di sampingnya kini berhasil menyusup ke relung hatinya yang kesepian.
"Bagaimana, Luna? Kamu suka?"
Si gadis bersemu merah, bisa-bisanya pria itu selalu mampu merangkai kata-kata menyejukkan hati. Berbeda dari semua dongeng buruk Ibunya tentang laki-laki. Keyakinan Luna pun goyah. Apakah Ibunya selama ini melebih-lebihkan? Apakah sesungguhnya Ayah bukanlah yang bersalah, melainkan Ibunya? Toh selama ini ia merasa tidak pernah dirugikan oleh seorang laki-laki. Tidak pernah dicelakai oleh laki-laki. Tidak pernah dikhianati oleh laki-laki.
Cahaya temaram lampu jalanan membuat paras pria paruh baya itu makin karismatik, alih-alih seperti bapak-bapak ketinggalan zaman. Sungguh masih tidak dipercaya ada lelaki setampan dan semenakjubkan di dunia nyata ini, yang berdiri begitu dekat dengannya. Luna yakin teman-teman akan iri memandangnya.
Si teman kencan mulai menautkan jemari ke sela-sela jari kecilnya. Ada getaran yang membuncah di hati Luna ketika pria itu mendekatkan dirinya. Ia dapat merasakan embusan napas semerbak cologne menerpa wajahnya.
Gadis itu senang telah mendapatkan pengganti afeksi yang telah pudar ...,
tapi ... kenapa ada yang mengganjal?
Tiba-tiba telepon berdering. Pria itu terusik serta-merta menjambak tas selempang Luna.
"O-O-Om ...? Kenapa tasku dilempar?" Gadis itu tersentak. Dari nada dering default-nya, Luna yakin itu panggilan telepon-yang terdapat dalam fitur otomatis semua ponsel-dari Ibunya. Seharusnya ia tak memblokir nomor WhatsApp sang Ibu.
Ketika ia beranjak untuk meraih ponsel di tasnya, pria itu mencengkram pergelangan Luna lalu menghantamnya ke ranjang wangi lavender hingga terpekik.
"Aku sudah tidak tahan lagi!" desis pria itu mengurung tubuh mungil Luna. Tangan panas nan besar itu perlahan membelai paha. Jemarinya menyelusup hendak menyibak rok mini berlayer pemberiannya.
Luna panik bukan main. Kakinya refleks menendang-nendang agar pria di atasnya menyingkir. Namun, kekuatan teman kencannya terasa sepuluh kali lipat lebih berat. Seolah tubuh kukuh itu bak tembok gedung pencakar langit. Menjulang dan mengintimidasi. Bahkan dengan gerak tangkas, tangan kanan si pria mengamankan kaki Luna yang mengganggu. Di sisi lain setiap Luna meronta justru menambah gairah pria itu makin membara.
"Berteriaklah. Tidak akan ada yang mendengarmu. Bukankah kamu dari dulu menginginkan ini?" Pria itu melempar jas mahalnya beserta dasi yang melilit.
Tidak! Bukan ini maksudku! Kenapa ini terjadi? IBU, LUNA TAKUT!! Saking ketakutannya, Luna tidak bisa menggerakkan bibir untuk berbicara. Ia hanya bisa meronta, menggeliat, menendang-nendang sembarang. Napasnya tersendat-sendat, mata terpejam kuat, berharap semua ini hanya mimpi buruk.
Namun, ketika si pria mengendus-endus wangi rambut Luna dan hampir mengecup bibir mungil itu, seseorang mendobrak pintu suite room. Si pria terlonjak ketika ada petugas keamanan berpakaian freeman membuat pagar betis memblokade akses keluar-masuk kamar booking-nya. Teman kencan Luna dibekuk menuju mobil inventaris atas tuduhan dan bukti bahwa dirinya telah diawasi gerak-geriknya yang hobi membawa teman kencan di bawah umur dan melakukan tindak asusila.
Beruntung laporan itu diperkuat dengan saksi mata terhadap ciri-ciri fisik serupa Luna sampai ke telinga Vita-yang juga tengah mencari keberadaan putrinya.
Setiba di kantor polisi untuk memberikan keterangan lebih lanjut dari pihak korban, sesosok wanita bongsor berlari menghampirinya.
"LUNA!" Seorang wanita paruh baya menyerukan namanya ketika gadis cilik itu telah diamankan pihak kepolisian dan dikembalikan padanya. Membiarkan waktu berdua saja antara ibu dan anak.
"I-I-Ibu ... I-Ibuu uuu ...."
"Astaga! Luna ...." Lutut Vita lemas dan nyaris ambruk. "Mama di sini. Tidak akan pergi ke mana-mana lagi. Mama janji. Mama bersumpah tidak akan membiarkanmu tersesat." Ia kecup seluruh pucuk kepala, dahi, pundak, lengan, dan tangan Luna bertubi-tubi.
"Luna ta-takk-ut se-ka ... li ...." Luna terus menjerit di sela isak tangis dalam pelukan ibunya.
"Maaf, maaf, maaf, tolong maafkan Mamamu yang tidak berguna ini. Maaf, maaaaf ...." Hati Vita sungguh tersayat-sayat. "Kali ini Mama tidak hanya berjanji basi."
Luna hanya meringkuk gemetaran seperti bayi baru lahir.
"Luna masih mau memberi Mamamu kesempatan, kan?"
Ditatapnya mata Luna yang sembab merah pekat. Ia ciumi seluruh wajah mungil putri tercintanya itu, meluapkan segala emosi yang berkecamuk. Luna pun mengangguk lemah. Isakannya perlahan mereda.
"Ayo, kita pulang ...."
Akan tetapi, beberapa langkah hendak keluar dari gedung kepolisian, tiba-tiba Vita berserobok dengan wanita lain yang tergopoh-gopoh. Mereka berhenti sejenak saling menatap penuh keheranan.
"Bu Ratna?" Vita pun tak ubahnya.
"Ibu Nurvita?" tegur balik wanita yang dikenal oleh Vita sebagai sesama wali murid dan teman ngobrol ketika mengambil rapor Luna. "M-Maaf Bu, s-saya buru-buru!" selanya langsung menatap sekilas Luna dan berlari memasuki Gedung Polsek.
Entah mengapa intuisi Vita menggerakkan tubuhnya mengikuti kenalannya yang tampak berkaca-kaca sekaligus mengernyit sengit. Namun sebelum itu, ia titipkan putrinya pada petugas kepolisian yang sempat menjaga Luna dengan dalih untuk mengurus keperluan lain. Dari bilik ruang interogasi terdengar tamparan keras, Vita cepat-cepat menyelisik apa yang terjadi. Walaupun pada mulanya, sudah saking muaknya dengan om-om tersangka cabul itu, kini ia dihadapkan kenyataan ketika Ratna berteriak histeris.
"Aku kecewa sama Papa! Rupanya alasan sering-sering meeting akhir pekan cuma buat mainin anak orang!? Astaga, sadar umurmu sekarang dong, Pa! Kamu bikin aku malu di hadapan teman arisan! Tahu ga siapa anak gadis yang sering kamu kencani akhir-akhir ini?"
Sementara, si om cabul itu merunduk amat malu. Amarah istrinya yang membahana kontan menyedot seluruh atensi sekitar.
"Dia anak temenku! Luna itu temen anakmu juga! Bangsat kamu, Pa! Ga tahu lagi aku harus apa sama kelakuan bejatmu! Kukira udah sembuh tapi malah tambah parah! Mau ditaruh di mana mukaku ini!!"
Leher Vita seperti dicekik kuat-kuat begitu mengetahui kenyataan yang menambah guncangan batinnya. Lekaslah ia kembali ke sisi Luna dan membawanya pergi jauh. Tidak disangka pelaku kejahatan ada di sekitarnya. Walau ia belum pernah bertemu dengannya, tetapi istri dari pria bajingan itu kerap bercengkerama acap kali ada pertemuan wali murid. Rahang wanita itu mengencang. Laki-laki di sekitarnya tidak ada yang bisa dipercaya.
Vita terus mendekapnya hingga gadis itu terlelap. Walau tremor pada tubuh putri semata wayangnya masih terasa samar-samar. Ia tinggalkan putrinya terlelap dikelilingi boneka-boneka tidurnya. Sontak Vita merampas beberapa boneka yang merupakan pemberian pria bangsat itu kemudian membuangnya ke sampah siap angkut ke TPU.
Benar, hanya rumahnyalah sarang paling hangat dan aman.
Berkisah asmara beda usia melalui tulisan sekarang sudah bukan lagi hobi yang menyenangkan. Obsesinya mencari pundi-pundi tambahan sekaligus popularitas telah meracuni dirinya. Vita ditelan hidup-hidup oleh ombak sandiwara Dunia Jingga. Ia terlena dan nyaris menggila. Keberadaan Luna yang justru menjadi motivasi utama dalam semangat hidupnya malah berkabut nyaris hilang.
Melalui putrinya ia pun ditampar keras-keras agar sadar bahwa apa yang dilakukannya tidak berdasarkan hati nurani terdalamnya. Hanya semata pelampiasan dendam dan Luna menuai akibat dari ulahnya.
Kali ini wanita bertubuh sintal itu harus benar-benar bertindak tegas.
Luna tidak sekadar butuh kehadiran fisik dirinya semata jikalau pikiran dan hatinya terenggut oleh aktivitas di Wattpad. Gadis manis itu butuh perhatian dan kasih segenap jiwa raga untuk memulihkan traumatiknya.
Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Kenapa aku jadi bodoh begini sampai mengikuti semua permainan berengsek mereka!" teriaknya dalam kesunyian. Tidak dikira, petualangan di Wattpad justru mengubah hidupnya menjadi morat-marit.
Diraihnya ponsel, lalu jempol-jempol gemetaran itu mulai mengetikkan kata demi kata. Namun, ia harus mengontrol emosinya jika dua teman perempuan virtualnya mengonfrontasi hingga terpancing.
Vita:
Teman2...
Aku ada yang ingin kusampaikan.
Tamagochan:
Ada apa, Kak Vit?
Regina T:
Mau ngomong y tinggal bilang lah.
Berbelit amat.
Vita:
Aku udah mengambil keputusan.
Udah waktunya aku harus berhenti.
Sebelum semuanya makin runyam.
Regina T:
Apaan sih? Maksud Lo apaan?
Vita:
Aku mau left.
Aku mau fokus ngurusin anakku, RL-ku.
Ternyata aku ga bisa bagi waktu adil, masa depan anakku nyaris rusak.
So, makasih udah berjuang bersama selama ini, tapi aku mau mundur sekarang.
Sekali lagi, makasih.
Bye-bye!
[Vita left the group]
Tamagochan:
Loh, Kak?
Loh!!
Aduh ....
Regina T:
What the F-!
Apa-apaan ini!?
Ini kenapa pada left gini sih!?
Dasar pada gak punya nyali!
Tak lama bunyi notifikasi dari aplikasi bergagang telepon kembali berbunyi. Kali ini dari pesan pribadi. Vita tampak enggan untuk membukanya begitu nama kontak tertera jelas.
Tenang ....
Kau harus tenang, Vit.
Tamagochan:
Kak!
Tolong jelaskan ada apa?
Ada masalah apa sampai Kakak memutuskan left sepihak?
Kakak yakin mau menyerah gitu aja?
Kakak udah ga minat jadi penulis best seller?
Bukannya itu mimpi Kakak?
Please reply, Kak, jangan di-read aja....
Vita:
Dari awal tujuanku ikut proyek nulis sama kalian buat anakku.
Tapi makin ke sini aku tambah kacau.
Keputusanku udah bulat.
Tamagochan:
Aduh, sayang loh, Kak.
Fans base kakak tuh udah gede dan kuat.
Kakak serius?
Coba deh tenangin diri Kak Vita.
Mungkin Kakak perlu hiatus oke lah. Nanti aku bantu buat revisi gimana?
Aku jamin all out. Aku pasti kontak terus setiap proses layout nya juga.
Vita:
Thank you, Ra.
Aku udah putusin buat keluar dari dunia menulis sekalian.
Tamagochan:
Hah!?
Kok gitu sih, Kak?
Kakak kan udah mati-matian bikin proyek cerita impian Kakak dari nol loh. Sampai segini, prosesnya ga lama.
Tolong pikirkan lagi keputusan Kakak ini.
Vita:
Sorry, aku udah ga minat lagi buat ngurus nerbitin novel.
Tamagochan:
Terus novel Kakak yang satu itu mau digimanain?
Tapi, tapi, nerbitin 1 aja gpp kok, ya ya?
Vita:
Aku ternyata ngambil langkah yang salah. Ceritaku merusak diriku dan anakku.
Tamagochan:
Kak?
Vita:
Ra, aku mau uangku dikembaliin. Ada kebutuhan hidupku yang lebih mendesak.
Aku harap kamu bisa kembaliin kurang dari seminggu.
Namun, entah mengapa setelah bermenit-menit Vita menunggu jawaban, chat perempuan itu tak kunjung muncul. Bolak-balik Vita mengusap layar ponselnya, yang ada malah iklan daring yang menawarkan cerita romansa di balik remang-remang kelambu. Tanpa sengaja fitur lihat lebih lanjut terusap oleh jempolnya.
Carla terbelalak ketika Samuel mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jeans.
"Apa yang kaulakukan!?"
"Mulai detik ini kau harus menjadi Lolitaku sepanjang hidupmu."
"Heh, jangan mi-mmpihk," tukas Carla tersendat ketika pinggulnya diremas kuat oleh Samuel.
Tato baphomet di pipi pun berkedut ketika bibirnya mengerising lebar. "Jadi kau lebih memilih seluruh aset berhargamu kupreteli ke para anjing liar di pizzagate, hm?"
Dengan tangkas pria berbadan kekar itu mengikat kedua tangan kekasihnya. Carla dapat merasakan besi dingin membelenggu gerakan tangannya. Ia tak bisa berkutik apalagi meronta. Namun, suara merdunya yang bergetar serak-desah tak menampik bahwa dirinya turut terpesona oleh karisma seorang pangeran mafia.
"Mengeranglah, buat ini semakin menarik," desis Samuel melucuti helaian gaun wanita itu hingga menyisakan wilayah terlarangnya.
Kini si pemilik rambut emas keperakan itu takluk di dalam kungkungan sang pemimpin kartel narkotika pantai latin.
Vita mulai menatap jijik pada sampul novel fiksi itu yang tak ubahnya dengan iklan produk susu pria dewasa tinggi protein.
Hati nuraninya mulai tergelitik, selama ini aku kerasukan apa sih kok bisa-bisanya bikin cerita mesum kayak gitu!? Hah!
Satu arc tamat! Masih ada arc final yang dijamin seru abis!
Stay tune!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top