34 - Hela Napas Memburu
Lutut Vita kembali melemas. Dia terpaksa berpegangan pada tembok. Luna memblokir nomornya.
"Ya, Tuhan!" erang Vita sambil terduduk lemas di lantai teras rumah mungilnya.
Aku nyesel jadi anaknya ibu.
Ucapan Luna tadi terus bergema di kepala Vita. Kata-kata yang meskipun ia tahu hanyalah luapan emosi sesaat, tetap mengiris hati. Ibu mana yang tidak sedih kala anak yang ia kandung sembilan bulan, bertaruh nyawa saat melahirkan, hingga susah payah ia besarkan, mengatakan hal seperti itu?
Bulir bening mengalir di pipi wanita bertubuh tambun itu. Baru kali ini Luna tampak marah besar kepadanya, padahal ia hanya membuka ponsel anak itu.
Sebuah gerobak bakso yang mangkal di seberang rumah Vita tampak mulai disambangi ibu-ibu yang asyik dengan gosip terbaru. Buru-buru Vita mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan lalu masuk. Jangan sampai mereka melihat keadaan dirinya yang kacau ini kemudian menjadikannya bahan gosip.
Satu jam berlalu, kembali Vita menekan panggilan cepat smartphone untuk menghubungi Luna. Lagi-lagi, hanya kotak suara yang menjawab.
Vita mulai putus asa. Hanya satu hal yang terlintas di pikirannya, minta tolong Pras untuk menghubungi Luna. Walaupun mungkin mantan suaminya itu akan marah atau menganggap ia sebagai ibu tidak becus, biarlah, asalkan ia tahu keberadaan putrinya.
"Mas, nomorku diblok Luna. Bisa tolong hubungi dia, tanyakan dia di mana?" tanya Vita ketika Pras menjawab panggilan teleponnya.
"Kok bisa diblok?" selidik Pras.
"Iya, ini kan gara-gara kamu juga, Mas. Kamu bilang Luna pernah jalan-jalan di mall sama om-om. Nah, aku mau nyelidiki siapa teman dekatnya Luna," terang Vita. Wanita itu mendebas keras sebelum melanjutkan perkataannya, "Luna marah karena aku buka-buka HP-nya tanpa izin. Terus dia pergi dan sampai sekarang belum pulang."
"Lah kamu kok malah nyalahin aku?" protes Pras.
"Bukan nyalahin, Mas. Cuma aku jadi terpancing gitu, loh. Ya sudah, sekarang intinya kamu bisa bantu aku cari Luna, nggak?"
"Sorry, Vit, aku nggak bisa bantu nyari Luna. Aku masih di Puncak," kilah Pras.
Kekesalan Vita bertambah. Bisa-bisanya Pras bersantai ke Puncak sementara ia di sini bingung memikirkan Luna.
"Jadi kamu lebih memilih senang-senang, sedangkan anak kita sekarang di mana kita nggak tahu?" Nada suara Vita naik satu oktaf.
"Vit, tolong kamu ngerti, dong. Aku sudah janji ajak anakku jalan-jalan kalau ulang tahun. Soal Luna, nanti aku telepon anak itu dan segera kasih kabar kamu, ya," janji Pras.
"Telepon sekarang ya, Mas. Aku tunggu kabarnya segera."
Vita mematikan sambungan telepon begitu mantan suaminya mengatakan iya.
Terdengar azan isya berkumandang, tetapi Luna belum juga pulang. Biasanya meskipun marah, putrinya akan pulang saat keperluannya selesai lalu mengunci diri di kamar.
Ayah Luna juga belum memberi kabar. Vita semakin cemas. Ia mencoba menghubungi ponsel anaknya lagi. Namun, panggilannya selalu dialihkan.
Vita berpikir keras, ke mana kiranya Luna pergi. Ia mengingat-ingat apa saja yang bisa menjadi petunjuk.
Sayangnya Vita tak melihat dengan jelas siapa yang tadi menjemput Luna. Namun, dari jenis dan warna motornya, ia teringat sesuatu. "Tunggu, tadi itu seperti motornya Cheryl," gumamnya.
Luna dan Cheryl berteman sudah sangat lama, sejak masih TK hingga kini di SMP. Mereka bertetangga, rumah Cheryl hanya berbeda tiga gang.
Dengan cekatan wanita paruh baya itu mengambil ponsel. Seingatnya ada beberapa nomor kontak teman Luna di HP-nya. Dulu ia selalu meminjam milik Vita sebelum mempunyai gadget sendiri. Baru saja ibu satu anak itu menelusuri nama-nama di kontaknya, muncul notifikasi WhatsApp.
Satu pesan dari ayah Luna.
Vita segera membukanya. Semoga ada berita baik.
Hubby
Teleponku nggak dijawab Luna. WA-ku juga belum di-read.
Vita
Coba lagi, Mas, plis.
Hubby
Aku udah coba berkali-kali sampai tanganku pegal. Kamu tunggu aja deh, paling jam 8 atau jam 9 juga nanti dia pulang.
Vita
Tapi perasaanku nggak enak, Mas. Aku cemas.
Hubby
Habis pulang telat tempo hari itu, aku sudah marahi Luna. Ia janji sama aku, nggak bakal pulang lebih dari jam 9 malam. Jadi lebih baik kamu tunggu aja, sabar, tenangin diri.
Vita menggigit bibir kuat-kuat, menahan emosi. Mana bisa dia tenang sebelum ada kejelasan tentang keberadaan putrinya. Wanita itu tak lagi membalas pesan mantan suaminya. Lebih baik ia kembali fokus untuk menghubungi teman-teman Luna. Siapa tahu ia mendapat titik terang.
Jemari yang tak pernah tersentuh perawatan salon itu menekan sebuah nama di kontak ponsel. Sambungan telepon yang ia buat tak kunjung dijawab. Akhirnya Vita mencoba mengirim pesan.
Vita
Cheryl, ini Tante Vita, ibunya Luna. Kamu sekarang lagi sama Luna, nggak?
Voilà, tanda centang dua berubah warna biru. Vita bersyukur karena nomor WhatsApp Cheryl aktif.
Cheryl
Eh, Tante. Tadi sore, sih, saya memang pergi sama Luna. Tapi sekarang saya nggak sama Luna lagi. Tadi Mama nelepon karena mau pakai motor, akhirnya saya pulang duluan.
Vita
Oh, begitu. Kalian tadi ke mana? Luna sekarang sama siapa? Soalnya dari tadi Tante hubungi dia belum dijawab.
Cheryl
Tadi kami cuma ke SMB, Tan. Luna antar saya ke Gramedia. Setelah itu kita pisah. Saya pulang, terus Luna bilang dia mau cari oleh-oleh untuk Tante.
Vita
Oh... Cher, Tante bisa minta tolong? Tolong tanyakan Luna sekarang lagi di mana, sama siapa? Tapi jangan bilang Tante yang suruh. Makasih sebelumnya.
Vita kembali menekuri layar ponsel. Menunggu informasi dari Cheryl maupun ayah Luna. Semenit, dua menit, ... , lima menit. Detik demi detik terasa begitu lambat berjalan. Sebuah notifikasi pesan kembali masuk. Cepat-cepat ia buka.
Cheryl
Tan, Luna belum jawab line saya.
Vita
Ok, Cher. Nanti tolong kabarin Tante lagi kalo ada info dari Luna, ya. Makasih.
SMB, akhirnya Vita tahu tempat terakhir Yang dikunjungi putrinya. Tanpa pikir panjang, wanita itu segera menuju mall yang hanya berjarak 1,5 km dari rumahnya.
SMB pada malam akhir pekan seperti ini selalu penuh pengunjung. Mencari tempat parkir sepertinya jauh lebih lama ketimbang mengendarai motor dari rumah ke tempat ini.
Pikiran Vita yang kalut semakin ruwet melihat keramaian di bagian Downtown Walk, area terbuka untuk makan, hang out, dan menonton pertunjukan musik. Begitu penuh manusia, mungkinkah Luna salah satunya?
Vita menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Bagaimana pun ia harus mencari Luna. Menguatkan tekad, Vita berjalan perlahan. Menyusuri setiap jengkal area yang bisa dijangkau. Matanya awas memandang sekitar, meski ia akui akan sangat sulit menemukan putrinya di tengah kerumunan yang tiada berjeda. Tempat makan yang penuh, suara obrolan diselingi derai tawa, dan orang yang lalu lalang, semua mengganggunya tanpa bisa ia cegah.
Wanita bertubuh tambun itu terengah-engah setelah mengitari lantai dasar area mall. Namun, putri semata wayangnya tak juga tampak batang hidungnya. Ia tidak yakin bisa menemukan Luna di tengah keramaian dan ketidakjelasan seperti ini.
Sebuah ide kembali melintas di benaknya. Dengan semangat yang kembali menyala, Vita menuju pusat informasi. Ia meminta bantuan petugas untuk mengumumkan bahwa ia menunggu putrinya, Luna Artalyta. Untuk sementara, Vita merasa sedikit tenang. Ia duduk di ruang tunggu pusat informasi sambil menyeruput iced moccacino coffee.
Setelah hampir satu jam berlalu, Luna belum juga datang ke ruang informasi. Vita jadi ragu apakah anaknya masih ada di mall itu. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 malam.
Mudah-mudahan saja Luna sudah pulang, bisik batinnya.
Namun, yang didapati Vita hanyalah rumah yang kosong. Perasaan wanita itu benar-benar tak enak. Ia merasa sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
"Ya, Tuhan, tolong lindungi anakku," doa Vita sepenuh hati.
Ibu paruh baya itu mondar-mandir di teras rumah, sambil terus merapalkan doa. Dia memang bukan orang yang religius, tapi ia percaya Tuhan akan mengabulkan permohonan seorang ibu yang meminta dengan sungguh-sungguh.
Sampai saat ini, belum ada bukti konkret kalau anaknya pacaran sama om-om. Vita berharap itu semua hanyalah kabar burung yang sebentar akan segera hilang. Jangan sampai kejadian dalam tulisannya dialami oleh Luna.
Malam kian larut. Namun, Luna belum juga pulang. Dilihatnya jarum jam di dinding. Sudah lewat dari pukul sepuluh. Vita tak tahu harus mencari ke mana lagi. Suara dering telepon membuyarkan lamunan wanita itu. Cepat-cepat ia mengambil ponsel, berharap Luna akhirnya menghubungi. Akan tetapi yang ia dapati adalah sebuah nomor tak dikenal.
Kira-kira siapa yang telpon ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top