30 - Gelenyar Bisikan Sang Mantan, Ssah~
Vita membelalak membaca caller ID di layar ponsel.
Hubby
Astaga, Vita masih saja belum mengganti nama untuk mantan suaminya di kontak HP, padahal mereka sudah tiga tahun berpisah. Apakah sesungguhnya ia belum bisa move on juga?
Memutus panggilan mantan suaminya bisa berujung kesalahpahaman, bagaimana pun mereka terkadang masih berhubungan menyangkut soal anak. Namun, mengangkatnya akan membuat ponselnya tak bisa dihubungi oleh Luna. Akhirnya ia membiarkan dering panggilan itu berhenti sendiri.
Ibu satu anak itu kembali memeriksa aplikasi WhatsApp untuk melihat apa ada pesan masuk dari Luna. Nihil, bahkan pesan yang tadi ia kirim pun masih belum dibaca. Kekhawatiran kini menyelimuti batinnya. Tidak biasanya Luna susah dihubungi seperti ini.
Mantan suaminya itu kembali menelepon. Namun, lagi-lagi Vita enggan menerima panggilan tersebut.
Tring. Sebuah notifikasi pesan masuk di aplikasi WhatsApp. Buru-buru ia membuka screen lock HP. Semoga itu Luna, batinnya berharap.
Hubby
Vit, kenapa teleponku nggak diangkat? Aku mau ngomong sama Luna. Dari tadi aku hubungi HP nya nggak direspons.
Ah, ternyata bukan Luna. Jantung Vita mencelus membuka pesan WA itu. Bayangan wajah Pras yang sedang marah tergambar jelas di benaknya, bahkan Vita membaca kata-kata di layar HP dengan intonasi suara pria itu.
Vita tidak mungkin berterus terang pada Pras, bahwa saat ini ia pun tidak bisa menghubungi Luna. Mantan suaminya bisa saja naik pitam dan menggugat hak asuh anak yang sudah didapatnya dengan susah payah. Dengan cepat ia mengarang alasan dan membalas pesan tersebut.
Vita
Luna tadi izin mau belajar kelompok abis pulang sekolah. Mungkin dia lagi di jalan makanya nggak respons.
Hubby
Vit, ini udah hampir jam 10 malam! Belajar kelompok apaan sampe jam segini? Malah tadi sore aku liat Luna di mall jalan gandengan sama cowok yang lebih cocok jadi temanku.
Kamu yang bener dong kalo didik anak. Nggak becus banget jadi ibu.
Pikiran Vita yang sejak tadi was was karena Luna yang belum juga pulang, semakin ruwet ketika membaca pesan mantan suaminya. Berita bahwa anaknya jalan bersama om-om mau tak mau membuat wanita itu menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Seketika wanita paruh baya itu teringat dengan tulisan cinta beda usia yang diunggah di wattpad. Ia bergidik membayangkan Luna sebagai heroine dalam ceritanya.
"Tidak!" Vita menggeleng, mengenyahkan pikiran buruk yang sempat terlintas. "Semoga Luna dijauhkan dari segala hal buruk."
Vita masih mencoba mencerna informasi yang diberikan mantan suaminya. Ia amat yakin Luna bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Sulit baginya membayangkan bahwa anak gadis kesayangannya melakukan sesuatu yang amoral. Ia justru merasa Pras yang melebih-lebihkan. Apalagi setelah ia membaca kalimat terakhir yang dikirim pria itu. Kata-katanya bagai belati yang merobek hati Vita.
"Aku nggak becus? Cih, tahu apa dia tentang mengurus anak! Selama menikah, mana pernah ia membantu pekerjaan rumah tangga. Aku mengurus Luna dengan tanganku sendiri. Baru ketika anak itu mulai masuk SD, aku kerja lagi," gerutu Vita menumpahkan segala unek-unek.
Ibu jari wanita beranak satu itu menekan keyboard virtual di layar 5.5 inci dengan cukup kencang. Ia mengetik balasan pesan bernada sinis. Tanpa pikir panjang kalau kata-katanya bisa saja mempertajam pertengkaran, Vita langsung menekan tanda kirim.
Vita
Kamu bilang aku ibu nggak becus, Mas? Pikir dong, jangan-jangan Luna belajar mengejar cowok mapan dari ibu tirinya.
Pesan balasan dari Pras langsung masuk selang beberapa detik kemudian. Vita sudah mempersiapkan diri membaca kata-kata kasar penuh caci maki.
Hubby
Udahlah, Vit, nggak usah bawa-bawa istriku. Kita fokus ke masalah Luna.
Batin Vita mencelus, Pras membela wanita yang telah membuat bahtera rumah tangga mereka karam. Meskipun begitu ia lega karena mantan suaminya tidak memperpanjang perdebatan.
Vita
Mas, aku percaya Luna bisa menjaga diri. Dia tahu mana yang baik dan buruk. Mungkin aja kan dia ke mall setelah belajar kelompok. Jangan asal tuduh sebelum mendengar klarifikasi langsung darinya.
Sadar atau nggak, perpisahan kita udah bikin trauma psikologis buat Luna. Aku nggak bisa to the point mendesak dia bicara jujur dan terbuka. Perlu treatment khusus, perlu waktu.
Hubby
OK, take your time. Kabarin aku saat Luna sudah bisa kuhubungi.
Vita mendebas, lagi-lagi ayah Luna menyerahkan masalah ini kepadanya. Padahal ia berharap Pras mau ikut memberikan perhatian dan rasa nyaman bagi putri mereka untuk menerima perpisahan orang tuanya.
Pikiran wanita berusia tiga puluhan itu kembali dipenuhi untuk mencari tahu keberadaan Luna. Sekali lagi ia menelepon ponsel putrinya, masih saja panggilannya dialihkan ke mail box. Pesan WhatsApp-nya masih belum dibaca juga.
Di saat ia dicengkeram rasa cemas, masuk panggilan dari sebuah nomor tak dikenal. Jantung Vita berdegup kencang, kekhawatirannya semakin menjadi. Buru-buru ia menerima panggilan tersebut.
"Halo! Kak Vita?" sapa suara berat di seberang.
"Halo, dengan siapa ini?" tanya Vita.
"Aku Rara, Kak. Sorry nelepon malem-malem," jawab si penelepon dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.
"Oooo... Eh, tapi kok beda suaranya sama yang jawab pertama tadi?" tanya Vita sedikit bingung.
"Masa, sih? Perasaan Kakak aja kali," bantah Rara yang kemudian diikuti dengan suara berdeham.
"Umm, mungkin karena aku lagi kalut. Anakku belum pulang udah jam segini, takut kenapa-napa. Mana HP-nya nggak bisa dihubungi," cerocos Vita tanpa ditanya. "Btw, ada apa ni?"
"Mudah-mudahan anaknya baik-baik aja, ya, Kak. Ini, aku mau ngomongin masalah novel. Aku butuh uang lagi buat pra-produksi," jawab Rara langsung ke intinya.
Vita mengernyitkan dahi. Ia belum pernah menerbitkan novel sebelumnya, maka ia mempercayakan semua urusan kepada Rara.
"Lah, bukannya baru kemarin aku transfer sejuta."
Terdengar tarikan napas panjang sebelum suara Rara menjelaskan.
"Ternyata kurang, Kak. Lagi pula sekalian aku mau pesan merchandise untuk yang beli lewat PO. Yah, buat menarik minat pembeli. Bagaimana, Kak?"
"Oh, begitu. Biayanya berapa, Ra?"
"Sejuta lagi, Kak. Nanti aku WA nomor rekeningnya."
Vita memijat kening yang semakin dipenuhi kerut-kerut halus. Satu juta bukan nominal yang sedikit baginya. Apalagi sekarang.
"Ra, aku ada uang tapi tinggal untuk kebutuhan sehari-hari aja. Tabunganku habis buat bayar daftar ulang sekolah Luna, beli buku-buku paket, dan perintilan sekolah lainnya," jelas Vita sembari mengingat catatan di buku kas rumah tangganya.
"Apa Kak Vita nggak bisa pinjam dulu? Nanti juga kalo uang dari penerbit udah turun pasti langsung kuganti," bujuk Rara.
Ibu satu anak itu segera berhitung cepat dengan kalkulator otaknya. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan terbit novel debutnya. Terlebih ia sudah berkoar-koar di semua sosial media miliknya. Jangan sampai para pembaca dan followers-nya menganggap dia pembohong. Ia tidak ingin kejadian yang menimpa Esta terjadi padanya.
"Bisa nunggu tiga hari lagi, nggak? Sampai aku gajian."
"Oke. Tapi jangan lupa, ya, Kak."
Belum sempat Vita memutus telepon, terdengar suara salam diiringi derit pintu depan yang terbuka. Tanpa pikir panjang wanita itu melempar ponselnya ke sofa untuk menghampiri seseorang yang sejak tadi ditunggunya.
"Syukurlah, akhirnya kamu pulang, Sayang. Ibu dari tadi panik nungguin kamu. Mana HP kamu dihubungi nggak bisa-bisa."
Seorang remaja putri berparas manis dengan seragam putih biru hanya menanggapi dengan senyuman tipis.
"Kok pulangnya sampai malam banget, Nak? Sudah makan? Mau Ibu siapkan? Ibu udah masak makanan kesukaanmu, loh," tanya Vita bertubi-tubi.
Wanita paruh baya itu sengaja menyimpan semua rasa penasaran dalam hati. Baginya yang terpenting saat ini putrinya sudah pulang dan dalam kondisi baik. Biarlah Luna beristirahat dulu sebelum ia berbicara tentang apa yang dilihat oleh Pras.
"Aku capek, Bu. Mau langsung ke kamar saja," jawab Luna sambil berlalu.
Ada perih di hati Vita mendapati perlakuan putrinya yang tidak biasa. Namun, ia tetap tersenyum dan mengikuti langkah Luna.
"Mau Ibu siapkan air hangat untuk mandi?" tawar Vita lagi.
"Aku mau istirahat aja, Bu," jawab Luna sambil menutup pintu kamar. Membiarkan Vita menatap nanar pintu berwarna cokelat dan bertanya-tanya ada apa dengan putri semata wayangnya.
Wah kira-kira bener ga sih Luna jalan sama om-om?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top