5/21
Kabar tentang peringkat 40 dikalahkan oleh Ravin telah meluas sampai ke Himpunan.
Itu sebenarnya adalah serikat berkumpulnya para preman sekolah. Untuk menjadi anggota, pendaftar harus saling bertanding untuk menentukan rangking karena poin tersebut penting di Himpunan layaknya nyawa.
"Ya ampun. Padahal aku cukup menyukai anak itu karena dia budak yang loyal. Aku paling benci ada yang mengganggu anjingku."
"Namanya Ravino Negandra, Bang. K-karena aksinya mengalahkan peringkat 40 dalam sekali serangan, banyak orang-orang yang mulai berkonspirasi dia adalah Apocalypse."
Apalagi Ravin memiliki ciri-ciri Apo: dingin dan anak kelas satu baru. Mereka ingat bahwa Apo dirumorkan seorang pelajar kelas 3 SMP yang kemungkinan sudah tamat dan masuk SMA.
"Ada di mana anak itu sekarang?"
"Ravin berada di klub pencari orang hilang. Usut punya usut, ekstrakurikuler yang unik itu sedang melakukan pencarian Apocalypse."
Dia menyeringai, membuang puntung rokoknya. "Kalau begitu, haruskah kita pergi menyapa?
-
Tragedi Jalan Judasa. Dimana hari itu diselenggarakan tawuran kejam demi mencari petarung SMA terkuat. Semua pembuli, perisak, preman dari sma-sma lain berkumpul dan bertarung sampai titik penghabisan.
Di sela-sela perkelahian, seorang siswa SMP yang tersesat, dengan malangnya terlibat dalam pertarungan tersebut. Dia terbawa oleh arus hingga terdorong ke jantung tawuran.
Tidak mau dipukuli cuma-cuma, murid SMP yang misterius itu pun mengangkat tinjunya dan mulai membela diri. Makin banyak musuh berdatangan, makin banyak korban berjatuhan.
"Aku sudah membuat pendekatan. Terdapat dua SMP yang terhitung searah dengan TKP, maksudku jalan Judasa. 30 kilometer di Utara, ada SMP Antariksa Jaya. 650 meter di Selatan, berdiri SMP 16 Patimuni Bakti. Kita akan memulai penyelidikan dari dua SMP itu."
Seperti yang diharapkan dari Dinda. Untuk urusan alamat, dia bintang utamanya.
"Anu, apa ini akan baik-baik saja?" tanya Alvin menggambar peta seadanya. "Maksudku, kita sedang mencari sosok yang mengalahkan 100 orang. Bagaimana jika dia marah?"
"Kita tidak bisa berpangku tangan, Alvin. Kalau dia memang sekuat itu, lantas kenapa dia menghilang tanpa sebab? Pasti dia tertimpa musibah atau lebih buruknya diculik. Kita harus menolongnya. Kasihan dia. Tidak tahu apa-apa namun terseret ke aksi brutal."
"Kenapa kakak peduli pada orang seperti itu?" kata Ravin masam, memasukkan barang yang dirasa penting ke ransel. "Dia tak butuh simpati dari orang lain. Si monster itu--"
Duk! Kimoon memukul pelan kepala Ravin, berkacak pinggang. "Jangan begitu. Kalau kau di posisi Apo, kau pasti akan berjuang mati-matian agar bertahan dari perkelahian."
"Cih! Kalian hanya tidak tahu dia monster!"
"Ya, makanya. Kalau kau kenal sama Apo, beritahu kami dong biar kami tau masalahnya."
Ravin merengut kesal. "No comment!"
Tuh, kan. Dia mulai lagi. Entahlah apa benar Ravin secara tidak sengaja mengenal Apocalypse atau memang dia sekedar tahu dari kabar angin saja. Cowok itu dingin banget. Tanda-tanda susah diajak buka mulut.
Alvin tertawa canggung, memegang gerendel pintu. "M-mungkin Ravin betulan tahu, namun dipaksa bungkam oleh seseorang--duk!"
Pintu diterjang, menghantam wajah Alvin.
"Oi! Apa-apaan kau?!" Belle berseru galak.
"Ah, halo kalian bertiga. Pengelola ekstrakurikuler yang tidak ada manfaatnya. Tak kusangka klub ini masih bertahan di sekolah. Tapi, aku tidak berminat pada kalian. Yang mana yang namanya Ravin? Dia punya utang denganku." [Dhirga, peringkat 19.]
Kimoon mengepalkan tangan. Dhirga si brengsek maniak tarung ini! Belum ada seminggu angkatan baru beradaptasi di sekolah, dia sudah mencari budak?! Takkan...
"Itu aku. Kakak siapa, ya? Aku tidak kenal."
Ravin bodoh! Apa yang dia lakukan?!
Bugh! Tidak ada peringatan, tidak ada alasan, tiba-tiba Dhirga memukul pipi Ravin. Pukulannya kuat karena membuat Ravin jatuh.
"Astaga! Ada apa di sana? Ada perkelahian!"
"OMG! Itu bukannya Kak Dhirga, peringkat 17 dari 100 petarung SMA Binar Emas?! Akhirnya aku bisa melihat Kak Dhirga secara langsung! Minggir, biarkan aku lewat, sialan!"
"Brengsek!" Dinda menahan tangan Belle supaya tidak ikut campur. "Kita harus bantu."
Dinda menggeleng. "Lihat saja."
Penilaian Dinda tidak meleset. Sesaat sebelum tinju Dhirga mengenai pipinya, sebenarnya Ravin sudah memasang kuda-kuda. Dia sudah berdiri tak cukup satu menit jatuh.
"Kau tangguh juga ya--duk!" Kaki kiri Ravin menendang punggung kakinya membuat kalimat Dhirga menguap. "Argh!!! Cecunguk sialan!"
Manusia tipe Dhirga sangat simpel dihadapi. Dia pasti tidak pernah merasa sakit karena lemaknya yang tebal namun kurus. Maka beri dia kesakitan yang tak pernah dia dapatkan. Hal itu akan merusak konsentrasinya, lalu...
Dhirga terbelalak. Ravin menangkap tinjunya begitu saja. "Bagaimana kalau ini?!" Tangannya yang satu lagi melesat datang, namun Ravin juga menangkapnya. Sukses sudah keempat tangan saling menggenggam erat.
Saat ini Dhirga tengah meringis merasakan perbedaan kekuatan cengkeraman tangan.
Tanpa membuang waktu lagi, Ravin pun menarik Dhirga untuk masuk ke dalam 'jangkauannya', lantas mengangkat kaki kanan. Dagu Dhirga telak menghantam lutut Ravin.
"BRENGSEK!" Dhirga nekat meradak maju.
Dengan mudah Ravin berbalik, memegang lengan musuh, dan bruk!!! Membanting Dhirga.
Tidak ada suara yang menyerukan nama Dhirga lagi. Murid-murid yang asyik merekam, diam menyaksikan hasil di luar perkiraan.
Gerakan itu... Alvin merasa pernah melihatnya.
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top