17/21
Besoknya, walau tidak semangat, mereka tetap datang ke sekolah. Anak-anak di kelas melongo melihat tangan Ravin yang di-gips.
"Astaga, Ravin! Apa yang terjadi pada tanganmu? Dengan siapa kau berantem? Aduh, pasti ulah anggota Himpunan. Dasar mereka itu! Kalau ingin menemukan Apocalypse, kenapa harus membuli adik kelas?! Kurang ajar!"
Menghela napas pelan, Ravin pun mengendap keluar dari kelasnya selagi teman-temannya sibuk menggunjingkan preman di Himpunan.
Senang sih senang ada yang peduli dan khawatir padanya, namun saat ini Ravin sangat kesal karena petunjuk tentang Apo direbut. Padahal mereka yang susah payah mencari, malah Himpunan yang mendapatkannya. Sialan.
"Ya ampun anak-anak ini! Padahal kertasnya masih baru, tapi sudah dibuang. Aigoo!"
Bermaksud cari angin segar di luar, Ravin tak sengaja menonton petugas kebersihan yang mencak-mencak mengaduk isi tong sampah.
Setelah dia melengos pergi ke gedung sekolah, Ravin pun melangkah ke situ. Memungut selembar kertas remuk tersebut. Ternyata itu lembaran pendaftaran ekstrakurikuler.
"Formulir klub PMR?" Ravin bermonolog.
-
Alvin hendak masuk ke ruang klub Missing, namun tangannya berhenti di gerendel. Melihat lewat kaca di pintu. Tampak Belle, Kimoon, dan Dinda yang murung. Suasana di dalam buruk. Rasanya bukan waktu pas untuk bergabung.
Alvin mengerti tiga kakak kelasnya itu sedang frustasi. Bukan perkara mudah mendapatkan jejak Apocalypse, namun raib begitu saja.
Tapi, mereka bisa apa? Bahkan Ravin pun dikalahkan dengan mudah. Cowok bernama Genta itu sangat kuat, belum lagi member Himpunan lainnya. Klub Missing tak berdaya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Alvin mengintip. Kimoon membuka suara.
"Petunjuk kita hilang. Apalagi yang bisa kita perbuat? Ulang mencari? Bahkan menemukan bercak darah dan lonceng itu saja sudah sangat sulit. Aku tak yakin masih ada yang tersisa dari Apo," kata Dinda mendesah pelan.
"Kita tidak bisa diam saja di sini. Kita harus membantu Ravin. Kasihan dia, diancam oleh Apo. Himpunan bedebah! Genta keparat! Aku akan menghajarnya suatu hari nanti!"
"Ini semua salahku. Harusnya aku tak menyerahkan petunjuk kita. Tapi, tapi..."
Dinda menepul bahu Belle yang berkaca-kaca sedih, merasa menyesal. "Itu bukan salahmu, Belle. Kau melakukan hal yang benar. Jika tidak kau berikan, Genta akan mematahkan kedua tangan Ravin. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kita semua sama-sama korban Himpunan."
"Andai Himpunan tidak pernah ada."
"Tapi, Din! Kita yang menemukannya! Aku... Aku sakit hati usaha kita hilang cuma-cuma!"
Dinda memeluk temannya yang jengkel setengah mati itu. "Iya, aku tahu. Aku juga marah sebenarnya. Tapi mereka kuat. Mereka berani main tangan sama cewek. Kita lemah."
Alvin tidak lagi mengintip dari kaca. Dia batal masuk ke ruang klub. Mengepalkan tangan.
Dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Merebutnya kembali? Itu tindakan bunuh diri. Yang ada Alvin digebukin oleh mereka.
"Haah. Aku benar-benar payah."
-
Di sebuah kondominium tempat anggota Himpunan biasa berkumpul, Genta bersama kroninya datang. Paling tidak ada sekitar 7 orang di sana. Sedang merokok, main kartu, ngoceh, dan mengonsumsi minuman beralkohol.
"Ah, kau sudah datang, Genta. Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkannya?" [Leo, 11/100]
"Sudah. Tidak salah membiarkan Klub Missing mencari jejak Apocalypse. Kita tidak perlu bekerja keras." Genta mendudukkan dirinya. "Nih, benda-benda milik Apo yang kalian cari."
"Tisu dengan bercak darah dan lonceng? Apa yang bisa kita dapatkan dari dua barang ini?"
"Ha! Itulah mengapa kau disebut kakel bodoh, Leo. Masa hal mudah begitu kau tak mengerti? Ada DNA dan sidik jari Apo di kedua benda konyol yang kau remehkan itu." [Bara, 7/100]
"Tutup mulutmu, Brengsek."
"Apakah dengan ini reputasi Dhirga bisa pulih?"
"Kau ini setia sekali sama dia, Gen. Apa karena dia menolong orangtuamu dari kebangkrutan? Hehehe, sampai mau jadi budak. Kocak banget."
Genta malas menjawab. Membiarkan Leo membeo. Nanti dia yang capek sendiri kok.
Bara tersenyum miring. "Dengan begini, kita akan tahu siapa Apocalypse sebenarnya dan mengalahkan si sialan itu agar semua orang tunduk pada kita. Hehehe, tidak sabar. Aku benci sekali dengan SMA tetangga. Hehehe."
Mereka pun tertawa terbahak-bahak.
"Hei, dengar tidak rumor baru-baru ini?"
"Rumor apaan? Awas nggak menarik."
"Katanya, waktu itu rupanya ada dua tawuran yang terjadi di hari yang sama lho. Satu di Jalan Judasa, satu lagi di Jalan Apocalypse—"
Klik! Lampu tiba-tiba padam. Brak! Beriringan dengan kedua pintu yang terbanting rusak. Seseorang berdiri di sana. Karena temaram, mereka tak dapat melihat wajahnya.
"Oi, Leo, kan sudah kubilang jangan biarkan orang lain masuk ke sini. Gimana sih?"
"Sudah kok." Leo menggaruk kepala.
Genta menatap orang itu tak suka. "Hei, kerdil, pergi dari sini sebelum kau babak belur. Mood kami lagi bagus. Jadi kau takkan terluka. Cepat enyah sebelum kami berubah pikiran..."
Kriing! Terdengar suara gemerincing bel beserta tali merah yang terjuntai.
Oke. Mereka secara naluri beranjak bangkit, menatap lekat-lekat sosok tersebut. Mereka jelas tahu rumor Apo. Salah satunya...
Apocalypse memakai gelang merah.
Leo dan Bara sontak terbelalak. "KAU?!"
Orang itu mengangkat kepala, menatap dingin mereka semua. "7 menit. 1 menit 1 orang."
Selanjutnya, hanya teriakan kesakitan yang terdengar di tempat itu. Sosok yang mereka cari-cari, datang tanpa diundang.
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top