15/21

"Jadi, kau betulan bukan Apo?"

"Aku sudah bilang," sahut Ravin canggung.

"Lalu kenapa... Tidak, kenapa kau bersikap seperti dia? Lagi pula kau ini kuat. Kau juga bisa berkelahi. Anak kelas satu baru pula. Semua poin Apocalypse cocok denganmu."

"Aku bukan Apo, apalagi meniru orang itu. Mereka saja yang menyamakanku dengan Apo kemudian membuat rumor tak jelas."

"Lantas kenapa kau membenci dia? Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran dan memberitahu kami?" kata Dinda bersedekap. Padahal kemarin-kemarin dia susah membuka mulut.

"Karena..." Ravin mengepalkan tangan. Keputusannya sudah bulat. "Aku tak ingin takut lagi padanya. Aku ingin melawannya."

Belle, Kimoon, dan Alvin tersentak. Apa maksudnya? Dia mau duel menantang Apo?!

"Sebenarnya, apa yang kau rencanakan?"

"Aku akan menceritakan semuanya."

-

Malam itu aku pergi ke Jalan Judasa untuk menjemput adik laki-lakiku yang belum juga pulang. Ibu kami sudah marah-marah.

Ravin menggaruk kepala bingung, menoleh ke gang belakang. "Apa aku salah simpang, ya?"

Ini pertama kali Ravin melewati jalan itu. Karena angker, bau sampah, sarang preman dan rentan dibegal, sempit serta gelap, jarang warga memintasi gang keramat tersebut.

Kalau bukan karena Gaffi—adiknya—Ravin takkan mau lewat sana. Mending di rumah.

"Dasar bocah gila. Main warnet dari siang. Apa dia tidak lihat jam? Awas saja. Akan kujitak kepalanya sampai benjol!" omel Ravin terus melangkah ke depan, mengikuti kata hati.

Bugh! Bugh! Bugh!

"Hmm?" Ravin berhenti berjalan. "Suapa apa itu barusan—astaga!" Jawabannya langsung datang ke hadapannya. Seorang remaja cowok terlempar ke susunan kotak di dekat Ravin.

"A-apa yang...? Hei, apa kau baik-baik saja?" Dia membantu orang itu yang tampak terluka parah. Terlihat dari dia memegang perut.

"Apa kau orang luar?" ringisnya.

"Orang luar? Apa maksudmu??"

"Kalau begitu cepat pergi, bodoh! Sebelum kau berakhir sama sepertiku. Cepat pergi dari sini. Jangan menatap ke lapangan. Cukup lari secepat yang kau bisa. Atau kau ditandai."

Dan dia pun pingsan.

Sebuah pentungan kasti terbanting ke tangan Ravin yang bersiap ingin lari. Dia benar-benar melupakan peringatan agar tidak menoleh.

Lihatlah, Ravin sontak terduduk. Kedua kakinya tiba-tiba lemas demi menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi di depannya.

Dia hanya sendiri, sementara lawannya banyak. Datang silih berganti. Tapi dia bisa bertarung imbang, dia bertahan, malahan menghajar orang-orang yang mengeroyoknya. Tak ada celah untuk menjatuhkan sosok nan buas itu.

Tinju, kaki, bahkan sampai kepala pun dia gunakan untuk memukul lawannya. Kecepatan tangannya tak bisa dianggap remeh. Sosok itu sigap mengambil benda-benda yang berserakan sebagai ganti senjata karena lelah meninju.

Apocalypse sangat brutal. Meski barbar, aku tahu bahwa cara berkelahinya itu nyata. Aku tak bisa menolak fakta bahwa aku kagum.

Padahal badannya kurus, dia juga tidak terlalu tinggi. Bahkan musuh-musuhnya memiliki postur tubuh yang bongsor. Tetapi dia dengan santainya bisa mengalahkan mereka.

Karena dia berdiri di tempat yang minim cahaya dan menggenakan hoodie, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Kring! Suara gemerincing inilah pemicunya.

Sosok itu menarik sesuatu seperti tali di pergelangan tangannya. Furnitur atau mainan bel di benda tersebut menggelinding ke arah Ravin yang bersembunyi di balik kotak-kotak.

"Lonceng apa ini?" Ravin memungutnya.

"Hee, masih ada ya?"

Deg! Adrenalin Ravin seketika terpicu demi mendengar suara datar nan bertenaga. Karena mengambil bel itu, dia lupa kalau dirinya terekspos. Keluar dari zona persembunyian.

Sosok itu berdiri di depan Ravin yang tak berani mengangkat kepala. Banjir keringat.

"Tak kusangka, ada tikus yang bersembunyi."

-



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top