13 - Ray(n)
Suara bising di sekitarku berasal dari mesin yang berkerja membangun kembali bangunan laboratorium yang sempat hancur tak berbentuk. Hanya ada beberapa orang yang terlibat dalam pembangunan itu, sebagian besar merupakan mesin.
Hari ini, aku memutuskan untuk keluar dari apartemen setelah seminggu mengurung diri. Tidak masalah jika kenangan itu membuat heart bekerja menciptakan rasa sakit, perlahan aku pasti terbiasa.
Butinya ada di depan mataku. Billy yang sempat tidak makan selama dua hari sekarang sudah bisa bekerja seperti semula, meskipun tidak di labortorium. Dia memilih untuk bekerja paruh waktu di sebuah toko, sementara menunggu tempat kerjanya selesai dibangun.
Libur semester hanya tersisa lima hari lagi. Artinya, aku hanya punya beberapa hari lagi kesempatan untuk melenyapkan rasa sakit ini. Bagaimana aku bisa bersekolah jika hanya menahan keperihan saja aku masih kesulitan?
Oh, ya. Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan? Aku berpikir untuk sedikit berjalan-jalan. Tapi dari tadi aku hanya diam di sini, menonton pekerja konstruksi berjalan kesana kemari memeriksa hasil pekerjaan mesin-mesin itu.
"Bangunan ini ... benar-benar penuh kenangan. Bukankah begitu?" Suara serak itu membuatku sedikit terkesiap. Anak ini ... kenapa tiba-tiba aa di dekatku?
"Y-ya, kurasa begitu," sahutku lalu kembali menatap fokus ke depan. Entah apa yang membuat laki-laki ini justru ikut bergeming. Ya, itu tidak masalah. Hanya saja ... kenapa harus dalam jarak sedekat ini?!
"Aku tidak menyangka .... Semuanya, benar-benar berubah dengan cepat ...," kata laki-laki yang berdiri tepat di samping kananku. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau tidak pergi ke department store atau semacamnya seperti gadis lain?" tanyanya. Aku menggeleng samar. Aku bukan seperti mereka. Lagipula, aku ragu apakah aku bisa disebut gadis.
"Tidak, Ray. Aku hanya perlu berjalan-jalan sedikit," terangku singkat. Kuharap dia sudah tahu soal itu sehingga aku tidak perlu menjelaskannya lagi.
"Begitu ya," responsnya. Aku melirik, memperhatikannya dari atas hingga bawah. Pakaian part time yang digunakannya terlihat sedikit kusut. Tangan kirinya membawa kantong berisi persediaan makanan yang cukup untuk sebulan. Matanya yang memang sudah berwarna merah terlihat semakin merah. Entahlah, apa aku yang salah lihat atau memang dia yang kurang tidur?
"Kau tidak sedih?" tanyanya lirih. Aku menoleh, menatapnya heran. Jadi dia tahu soal itu? "Maaf membahas ini. Aku ... hanya ingin tahu ...," lanjutnya.
"Aku memang sedih ..., tapi tidak ada gunanya jika kau terus berlama-lama terjebak dalam kesedihan," jelasku. Laki-laki itu mengangguk samar sebagai respons.
"Aku turut berbelasungkawa ...," ucap Ray seraya memandang langit yang sedikit mendung. Seolah ikut bersedih karena insiden itu. "Aku juga sedih karena Paman harus menjadi salah satu korban," lanjutnya seraya memejamkan mata.
Aku tertegun. Jadi, selama ini ... bukan hanya aku yang sedih karena kehilangan keluarga dalam kejadian itu? Ternyata ... dia juga.
"Tapi kau benar. Tidak ada gunanya jika kau terus-menerus terjebak dalam kesedihan. Kurasa, aku harus menjadi sepertimu yang sama sekali tidak menangis," ujarnya. Aku tidak berkomentar. Tentu saja aku tidak menangis karena aku tidak bisa melakukannya.
"Seharusnya ... aku meminta maaf padanya sebelum kejadian itu. Tapi yah, beginilah kata takdir. Semoga saja dia mau memaafkanku," ujar Ray lagi. Aku mengangguk paham. Ternyata bukan hanya aku yang merasakan sakit. Jika aku mengingat aksi nekadku sewaktu terjun dari balkon, rasanya aku benar-benar malu.
Awan di langit semakin tebal. Rintik pertama jatuh mengenai permukaan bumi. Tak berselang lama, jutaan bahkan milyaran tetesan air menyusul. Setiap warga kota yang berada di luar ruangan segera mencari tempat terdekat untuk berteduh. Aku? Tidak apa, aku ini waterproof.
"Ayo, Isabelle. Kita cari tempat berteduh!" ajak Ray sembari menarik lenganku menuju salah satu halte bisa tak jauh dari kami. Aku tidak memberontak seperti saat Billy memaksaku meninggalkan Professor hari itu.
Aku memang waterproof. Tapi, aku tidak bisa menolak karena Ray belum tentu waterproof. Maksudku, belum tentu ia tahan terhadap perubaha cuaca secara tiba-tiba. Lagipula, ada kemungkinan hujan ini adalah hujan asam yang sangat berbahaya.
"Terima kasih," ucapku singkat setelah sampai di halte bis nomor 15 yang kami tuju. Ray hanya tersenyum tipis seraya mengusap rambutnya yang mulai basah. Tidak masalah.
Bis memang masih digunakan hingga saat ini. Tapi tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak bumi. Melainkan menggunakan solar cell sebagai sumber energinya. Selain itu, ada juga yang menggunkan energi listrik.
Kami hanya berdua di tempat ini. Menunggu hujan reda. Biarlah langit menangis, jangan hentikan ia. Kalau kupikir-pikir, langit sangat beruntung. Tidak sepertiku yang tidak bisa menangis.
"Isabelle, boleh aku ... mengatakan sesuatu padamu?" tanya Ray memecah keheningan yang sebelumnya hanya diisi oleh suara rintik hujan.
Lengang.
*
Btw, itu judulnya memang udah bener kok. Ray itu kan kalo dalam bahasa Inggris dibaca "Rei." Mirip sama hujan yang rain (rein). Makanya saya taruhin "n" di belakang nama Ray karena kebetulan settingnya waktu hujan 😂😂.
(Saya nulis ini waktu hujan. Jadi suasananya bisa pas banget gitu).
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top