28
"Kalian dengar tidak? Mama Panca itu seorang guru lho. Tapi kenapa Panca tidak pintar, ya?"
"Kalau aku jadi Ibunya, aku pasti akan malu punya anak sebodoh Panca."
"Kenapa kau tidak mati saja? Kau hanya membuat Ibumu jadi cemooh tetangga."
Bulir air mata menetes di seprai kasur, membasahi kertas rapor yang baru diterima tadi pagi. Semua nilai berwarna merah. Tidak ada yang tuntas.
"Tidak apa-apa, Nak. Mama tidak peduli nilai. Yang penting kamu sudah berusaha." Begitu kata Sokeri membesarkan hati anaknya. Tersenyum hangat.
Tetapi, makian itu makin menjadi-jadi.
"Kau seharusnya mati, Panca. Kau tidak kasihan dengan Ibumu? Hahaha, kau seharusnya mengutuk kebodohanmu."
"Kenapa nilai Panca tidak naik tapi malah anjlok sih? Mamanya tidak mengajarinya, ya? Hahaha, Ibu macam apa itu."
"Guru gaji buta kali."
"Ibu-anak sama-sama memalukan."
Tok Tok Tok. Sokeri mengetuk pintu kamar Panca. "Sayang, makan malam sudah siap. Ayo turun. Papa sebentar lagi pulang lho."
Tidak ada jawaban. Mengernyit, Sokeri pun memutar gerendel pintu, tertegun melihat kursi jatuh serta kaki menjuntai di langit-langit.
Panca gantung diri dengan mata sembab dan kosong.
Brak! Direktur perusahaan menatap marah. "Karena ketidakbecusanmu mendidik anak, rumor tentangmu merusak reputasi perusahaan ini. Pantaskah dirimu disebut seorang ayah? Mulai hari ini kau dipecat! Aku tidak ingin punya karyawan teledor sepertimu!"
Sokeri meninggalkan jam pelajarannya, bergegas masuk ke apartemen saat suaminya mengirim pesan ganjil, berhenti melangkah.
Air bak melimpah, dicampur warna merah. Di sana tubuh suaminya terendam. Darahnya berasal dari pergelangan tangan yang robek. Sudah tidak bernyawa.
Dan Sokeri hanya bisa terperangah di luar kamar mandi, memandang pasrah.
*
Di dalam bak, aku memandang datar langit-langit kamar mandi, mengingat cerita singkat Sokeri tadi siang.
Benar juga, ya. Aku ingat orang yang selalu bersifat ceria bukan berarti punya hidup cerah. Sokeri menjadi salah satunya. Kasihan dia, menjadi janda oleh omongan manusia-manusia sok tahu itu.
"Hierarki yang menjadi prahara, merasa manusia paling pintar di dunia. Ada saja orang yang seperti itu. Menyebalkan." Aku mendecih, keluar dari bak dengan dengusan.
Mereka tidak punya kerjaan lain apa sampai menilai kehidupan orang lain. Seolah sudah jadi manusia paling benar sedunia saja. Keluarga seseorang mati karena lidah mereka.
Ada apa dengan hukum? Apa karena bukan pembunuhan langsung jadi diabaikan 'gitu. Ingin kulecut mereka dengan cemeti—gak deh canda.
Massa lebih efisien dibanding keluhan.
"Mom! Baju Ram mana?" Aku berseru melihat lemariku kosong.
Tidak ada sahutan.
Lah? Ke mana nenek tua itu? Aku melihat jam. Sudah pukul tujuh kok. Harusnya Mama sudah pulang jam segini. Jangan bilang si Dhave brengsek mengajaknya berkencan lagi.
Aku turun ke bawah, celingak-celinguk. Tidak ada Mama di ruang tamu atau dapur.
"Mama di mana..." Langkah kakiku terhenti di pintu kamar yang terbuka, menampilkan sosok beliau sedang bergaya pada cermin. Memakai seragam sekolahnya dulu.
Kuulangi, memakai seragam sekolahnya.
Aku menelan ludah, menatap cepat kalender. Celaka! Ini tanggal 11! Lampu merahnya datang—
Bats! Sibuk meremas rambut panik, tubuhku sudah ditarik ke dalam kamar.
"Aduh, anak Mama baru selesai mandi. Harum deh." Beliau memelukku terlalu erat sampai susah napas diri ini. Sadar, Ma! Jangan khilaf!
Mama menatap tumpukan baju di atas kasur yang belum sempat ditaruh. "Ah, Mama tadi lupa menyiapkan pakaianmu. Kamu bisa kedinginan. Mama pakein bajunya, ya?"
"Tidak usah! Ram bisa sendiri!"
Beliau tersenyum. Aku mencicit ngeri melihat kepalan tinjunya terpisah sesenti dari kepalaku, menghantam tembok. "Mau, ya?"
Nyaliku menurun, makin ciut demi menatap bekas pukulannya sedikit retak. "Ba-baik." Dalam hati menjerit meminta tolong pada siapa pun.
Aku berdiri pasrah. Malu sih, tapi dari pada mati amukan beliau biarlah begini. Padahal bulan kemarin tidak berulah!
Oh, benar juga. Tanggal 11 bulan lalu beliau kan "diculik" Dhave. Aku merinding apa saja yang dilakukan Mama sama pria itu. Kuucapkan belasungkawa (terlambat sih) walau aku benci padamu, Dhav!
"Nah, sudah selesai. Sudah Mama duga, seragam pelaut cocok untuk Ram. Tidak sia-sia Mama mengantri membelinya."
Aku menatap horor pantulan diriku. I-itu aku? Mengerikan!
"Mama...! Ini bukan hari Jumat. Ram tidak suka bajunya." Aku merengek. Malu woi kalau sampai anak Marmoris melihatnya.
"Kenapa? Ram terlihat manis kok. Atau Ram mau baju pelayan atau kucing?" ucapnya tak paham maksud wajah melasku, asyik mencari topi.
Ibuku Menjadikanku Cosplayer. Aku menangis lebay dalam hati.
"Nah, ketemu juga. Sentuhan terakhir, baret putih!" Beliau bersiap-siap memasang benda itu ke kepalaku.
"Tidak mau! Ram akan terlihat konyol!" Aku terbirit-birit keluar dari kamar menuju ruang tamu. Kaki tersandung oleh kaki. Bruk! Sialan, pakai jatuh segala!
"Jangan kabur dong, Ram. Kamu tambah menggemaskan kalau pakai ini." Mama sampai di belakangku, menelengkan kepala horor. He, kok bikin ngeri?!
"Hentikan! Ini kekerasan terhadap anak!"
"Diam sebentar, Ram!"
"Tolong!"
Pintu rumah terbuka. Adalah tujuh member inti Marmoris, tercenung.
"Kan sudah kubilang ketuk dulu, Hermit. Kenapa main... buka... saja..." Mangto terbengong menatap pergelutan yang terjadi di depan mereka.
Hermit bersungut-sungut. "Habisnya tadi ada seruan tolong..." Hermit juga ikut terdiam setelah memutar kepala ke depan.
Ah, aku mau tenggelam.
Mama bangkit. "Ara-ara, kalian datang lagi. Tapi pakaian kalian formal sekali. Kalian mau bepergian?" tanyanya seakan tidak ada yang terjadi barusan.
"I-iya." Mangto tak mau salah paham akan apa yang barusan dia lihat, memilih berdeham kikuk. "Ka-kami ingin mengajak Ram makan malam bersama. Apakah Nyonya mengizinkan?"
"Tidak boleh."
Mereka tersentak. Pasalnya beliau kan mulai membuka hati tentang anaknya berkawan dengan mereka.
Mangto menggaruk tengkuk. "Kalau boleh tahu, kenapa Nyonya... Ng?" Matanya terarah padaku yang susah payah mengode pakai isyarat.
Tamu-para-wanita. Kau-akan-mati-kalau- memaksa! Aku mengakhiri dengan mencekik leher. Semoga Mangto paham.
"Kecuali kalau saya ikut," kata Mama di luar dugaan.
Apa! Aku beranjak bangun. "Jangan bergurau, Ma! Mending Mama perbaiki dulu pakaianmu. Sampai bela-belain menguncir rambut kayak bocah. Ram yang malu... nanti..."
Aura Mama menggelap. Menoleh kepadaku seperti gerakan robot. "Ram barusan bilang sesuatu?"
Aku menundukkan kepala. "T-tidak."
Aku bisa mendengar Dien, Castle, Hermit mati-matian menahan tawa. Bahkan si pangeran Northa ikut-ikutan. Ingin kudadar mereka.
Dan begitulah. Mama pun ikut dengan mereka. Hufft, andai aku tahu mereka akan mengundang, takkan seperti ini jadinya.
Ini pasti ide Northa dan Mangto.
Aku menahan lengan Dien yang hendak membuka pintu mobil. "Tunggu. Bisakah kalian mendekat dan merapat padaku?"
"Ada apa, Kapten?"
"Lakukan saja."
Mereka bersitatap sebentar kemudian melakukan apa yang kusuruh.
Aku membungkuk, meraba-raba gasket di bagian bawah mobil, terkesiap mendapatkan benda persegi aneh tertempel di antara komponen. Mencabut beserta kabel-kabelnya, aku memberikan itu pada Mangto.
"A-apa itu...?" Napas Dien tercekat. "Kenapa benda itu ada di sana?"
"Bom lengket." Castle yang menjawab, menggigit bibir, gelisah. Nyawa mereka hampir melayang andai membuka pintu. "Ada yang mengikuti kita dan memasang bom itu ketika kita turun."
Mama menggendongku yang berwajah datar, juga tampak gelisah. "Sebenarnya siapa yang mengejar kalian sampai meneror seperti ini?"
Sementara Mangto menjelaskan singkat, Tobi menatapku heran. "Bagaimana Kapten tahu persis ada bom?"
"Benar!" Hermit berseru. "Kenapa Kapten bisa tahu? Kapten punya indra keenam?"
Northa diam-diam mendengar.
"Ini mobilmu kan, Dien?" Empunya nama mengangguk mengiyakan. "Perhatikan, ada jejak telapak tangan di badan pintu sopir. Ukurannya berbeda dari tangan Dien dan posisinya mencurigakan. Ketika ingin membuka pintu, tangan kita secara impulsif akan menggenggam. Tapi jejak ini justru condong ke bawah yang menunjukkan seseorang menjadikan badan pintu sebagai topangan atau sanggaan. Itu artinya dia membungkuk untuk menempelkan sesuatu."
Mereka terdiam, saling tatap antara aku dan bom lengket yang dipegang Castle.
Tidak salah lagi, ini perbuatan Sembilan Benteng Woodzn. Mereka mulai bergerak menggerayangi Marmoris.
Mama mengusap-usap pipiku gemas dengan pipinya. "Ram brilian sekali."
Sekarang bagaimana bagusnya, ya? Apa aku harus melanjutkan rencanaku atau membuat rencana baru?
"Sepertinya kita tidak jadi pergi—"
"Tidak, kita pergi saja." Aku memotong, tersenyum miring. "Kebetulan perutku lapar. Sudah kepalang tanggung."
Mangto dan Dien saling tatap.
Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Kapten? Aku tidak mengerti jalan pikir otakmu. Castle mengepalkan tangan, menatap langit malam yang berbintang.
***TBC***
Minggu, 14 November 2021
Kafuusa 🎮
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top