27
Esok harinya, hari senin, kelasku mendapat repetisi dadakan. Dadakan atau tidaknya, aku bisa mengatasi masalah ini tanpa keluhan seperti murid-murid lain. Tetapi hari ini, untuk pertama kalinya Buk Prateek kecewa.
"Ram, ini pertama kali nilaimu di bawah 50. Apa yang terjadi?" tanya beliau pelan mencoba memaklumiku. Bagaimanapun aku selalu mendapat seratus atau sembilan puluhan. Beliau tentu kaget melihat perubahanku. "Apa kau punya masalah, hmm?"
"Tidak apa, Buk. Belakangan saya kecapekan."
"Kau terlalu memforsir diri, Ram. Lupakan semua olimpiade atau lomba apa pun. Istirahatlah yang cukup. Ujian nasional hampir dekat. Kau harus perhatikan kesehatanmu."
Mana bisa aku menjawab bahwa aku terlibat skandal besar dengan dunia orang dewasa. Sejak kemarin aku tak bisa konsentrasi melakukan apa-apa.
Penjara Ween yang mengurung Menas dibobol seseorang. Marmoris menduga itu perbuatan ketua asli Woodzn alias Klendestin. Tapi sudah jelas Klendestin bergerak mengingat anggotanya berhasil kami kalahkan.
Apa yang harus kulakukan mulai sekarang? Klendestin, dia berbahaya. Membunuh belasan sipir dan jejaknya tidak ditemukan. Dia tidak takut merenggut nyawa.
Aduh! Aku mengacak-acak rambut frutasi. Kenapa aku jadi terlibat yang beginian sih?!
Baiklah, Klendestin. Kau ingin bermain denganku? Ayo main! Sejak kau mendeklarasikan perang, kau telah salah menargetkanku. Kau pikir aku bocah 12 tahun biasa, huh.
"Kapten!" Suara Sokeri terdengar.
Mataku melotot. Lusa Mangto dan Dien, kini Sokeri sama Castle. Besok siapa? Pasti Hermit, Tobi, dan Northa. Sial, kenapa mereka malah bergiliran mendatangiku sih.
Aku mencak-mencak menghampiri. "Apa yang kalian lakukan di sini?!" bentakku pelan, celingak-celinguk. Bagus tidak ada yang memperhatikan. "Mana kau masih pakai seragam guru. Kau juga Castle."
Castle memakai headset. Aku bisa melihat selotip hitam di talinya. "Karena aku juga baru pulang sekolah."
"Kalian ya...! Mentang-mentang aku sudah tidak marah lagi, kalian tidak bisa seenaknya dong!" keluhku menggerundel.
Tapi Sokeri malah makin kegirangan. "Aduh!! Kapten kalau cemberut begitu imutnya nambah," katanya terkikik. Ingin kutendang wanita ini.
Ng? Kulihat-lihat, kemeja Sokeri tampak kusut dan tak rapi. Bahkan tas tangannya terlihat tidak dibersihkan. Sepatunya juga tidak disemir.
"Kapten, aku sudah menemukannya." Castle memecah hening. "Tentang Sembilan Benteng Woodzn."
Ah, jadi karena itu dia datang.
Aku menghela napas. "Fuh, oke deh. Kita harus membicarakannya di tempat lain. Kalian sudah punya tempat tujuan?"
Sokeri mengangguk-angguk semangat.
*
Tiga buah tanda jengkel muncul di kening dan leherku. "Aku memang bilang mau ikut kalian, tapi kenapa tempatnya harus di mall?!"
"Tidak apa kan, Kapten? Sekalian kita mampir ke zona bermain di lantai empat." Sokeri menggendongku, berseri-seri. Castle tampak antusias—meski ekspresinya datar. Mereka pasti sudah berencana main-main di sini.
"Turunkan aku, Sokeri!"
"Eits, Kapten, nanti kau terbawa arus kerumunan. Mending digendong!" kilahnya sudah tancap gas ke tangga elevator.
Sesampainya di fun zone, Sokeri boros mengisi kartu sampai sejuta. Dia senang sekali. Apa dia tidak pernah ke mall? Dari pada ke zona game, bagusan dia membeli make-up atau kebutuhan wanita dewasa seumurnya.
Namun, aku justru terbawa suasana.
"Li-lihat anak itu...! Saking cepatnya tangannya sampai tidak kelihatan!"
"Ya ampun. Dia padahal sembarangan menebak, tapi kenapa pada kena semua?! Dia anak sniper bayaran nih pasti!"
"999?! Astaga! Dia mendapat kolom beruntung!"
"Itu bukan beruntung, Bodoh! Kau tidak lihat? Dia menepatkan timing jatuhnya bola ke lubang kolom. Sangat cerdik dan lihai."
"Lihat kefokusan anak itu. Dari jarak segitu, dia mampu memasukkan seluruh gelang lingkaran. Dia bukan manusia! Dia Dewa Game!"
"Dia dapat lagi?! Kau pasti bercanda! Itu boneka ke sepuluh! Keren."
Castle manyun menenteng kantong berisi boneka. "Kapten, kau betulan Dewa Game, ya? Aku saja yang hacker kesusahan mengeluarkan satu boneka."
"Sudahlah, aku lapar. Kita tukarkan tiketnya dulu ke customer."
Staf di pertukaran tertegun melihatku membawa segunung tiket, begitu juga pengunjung-pengunjung lainnya. Mereka sama-sama melotot kagum.
"Kami hendak menukarkan ini. Silakan hitung."
"A-ah, iya. Tunggu sebentar ya, Dik." Staf itu ragu-ragu menghitung semua tiket yang kudapatkan. Sekitar sepuluh menit menunggu, dia menulis totalnya di secarik kertas. "Adik punya 80.887 tiket. Mau ditukarkan apa?"
Empat temannya tercengang. Ibu beranak di antrian sebelah ternganga. Pengunjung di tempat pertukaran melongo.
Kulirik Castle dan Sokeri yang sibuk foto, menatap rak hadiah, berkata datar, "Kalau begitu aku pilih kotak headset itu dan pemanggang roti. Jika bersisa, berikan saja pada orang setelah antrianku."
Selesai mengucapkan terima kasih, aku menyamperi mereka, memberikan kedua benda tersebut. "Nih, hadiah."
"Lho, Kapten?" Sokeri dan Castle mengernyit.
"Headset yang kau pakai itu sudah tua kan. Warnanya sudah memudar dan talinya dililit selotip. Volume suaranya pasti tidak keras lagi. Jika tidak, kau akan melepasnya saat aku bicara di sekolah tadi. Buktinya kau tetap memakainya. Itu menandakan kau bisa mendengar ucapanku.
"Lalu kau, Sokeri, kau tinggal sendiri kan. Merujuk kau ini seorang guru, kau jelas disiplin terhadap waktu dan tidak sempat membersihkan rumah atau sekadar sarapan. Gunakanlah pemanggang itu. Yah, itu pun kalau kau tidak punya."
Sokeri menatap terharu, spontan memelukku lebay. "Huwaa!! Kapten perhatian sekali! Aku akan jaga baik-baik pemberian Kapten~"
"Ah, sudahlah! Aku lapar!"
"Iya, iya. Kita pergi makan sekarang."
Sementara aku dan Sokeri bergerak maju, Castle masih tertegun di belakang, menatap kotak headset baru di tangannya.
Bocah itu, dia langsung tahu dalam sekali lihat? Apa-apaan dia?
*
Aku geram. "Kenapa porsiku porsi anak-anak? Hei, aku bukan anak kecil lagi!" gerutuku menolak makan. Mendengus sebal.
"Kapten, kau baru 12 tahun. Janganlah engkau seperti itu. Atau mau kusuapi?"
Mukaku langsung jijik. Sokeri tertawa.
Castle mengambil buku catatan di tasnya, meletakkannya ke meja. "Ini biodata tentang Sembilan Benteng Woodzn. Bukankah sudah waktunya kita membicarakan ini?"
Atmosfer di meja kami seketika menjadi serius.
"Lascrea, pemain tipe tank. Kudengar dia kelas dua SMA. Berasal dari sekolah Jack-O. Dia meng-cover temannya dengan baik. Kurasa dia bukan pemain amatir.
"Flamehale, wakil kedua di Woodzn. Kelas tiga SMA di sekolah Lantern. Pemain tipe DPS. Di liga guild di selalu mencetak skor tinggi.
"Lalu ada Mimiq, pemain Support yang bisa merubah rounder-nya jadi attacker. Kita patut mewaspadai orang ini karena dia suka merubah-rubah perannya. Sesuai data yang kutemukan, Mimiq seumuran dengan Lascrea.
"Selanjutnya Lizivera, tipe pemain ngendok. Dia kelas satu SMA di sekolah Eve. Kupikir orang ini suka role assasin.
"Zeren. Namanya perempuan, jadi dia tipe Support murni. Kulihat di seluruh riwayat mainnya, Zeren selalu mendapat assist terbanyak. Dia versi terbalik dari Northa. Kalau Northa DPS-Sniper, maka dia Support-Sniper. Dia juga satu angkatan dengan Northa dan Tobi dari SMP Trihari.
"Corki, tipe sub-attacker, kelas 2 SMA. Tidak ada yang spesial dengannya. Latar belakangnya sangatlah biasa.
"Cheroxlite, tipe Main DPS seperti Flamehale. Mereka terus bersaing di mode peringkat. Kelas satu SMA Sainst.
"Lalu ada Plozorer, kedudukan Menteri di Woodzn. Aku tidak melihat adanya keganjilan di biodatanya, tapi tampaknya Menas mempercayai strategi pada orang ini. Dia juga anak SMA.
"Terakhir, ada Rapa. Kelas dua berasal dari SMA Labu. Tipe Hacker. Ini dia musuhku. Yah, walau aku yang paling jago sih."
Hening sejurus kemudian.
"Tunggu dulu," Aku menopang dagu, wajah super serius. "Kenapa nama akun mereka keren-keren? Sudah begitu rata-rata anak SMA lagi. Peran mereka masing-masing juga tak dapat diremehkan! Kita kalah jumlah."
Astaga, aku tidak memperkirakan ini. Mendengarnya saja sudah membuatku merinding, apalagi kalau benar-benar harus bertempur melawan mereka bersembilan.
"Jangan cemas. Kita menang kualitas, Kapten. Masa sih leader guild ternama jadi pesimis begini."
"Tapi aku hanya anak-anak! Aku tak bisa membantu kalian. Aku hanya akan jadi beban."
"Perasaan baru sebentar ini Kapten mengatakan Kapten bukan anak kecil. Sudah mengakui umur nih?~" goda Sokeri lagi-lagi memelukku gemas.
"Duh! Berhenti memelukku! Kau ini pedofil? Sadarlah Sokeri, kau masih single."
Sokeri berhenti memelukku. "Siapa bilang aku masih lajang?" katanya tersenyum bingung.
"Eh?" Aku dan Castle saling tatap.
Dia menyeringai, memamerkan kalung yang tersembunyi di dasinya. Kalung berbandul cincin pernikahan. "Aku ini sudah menikah. Aku bahkan sudah punya anak seusiamu, Kapten."
"APA?! KAU SERIUS?! Tapi, tapi..."
"Tapi itu dulu. Sekarang aku janda," sanggahnya masih tersenyum. "Putraku bunuh diri karena stres dibuli teman-temannya. Punya orangtua guru tapi bodoh, nilai tak pernah naik. Makanya dia dikucilkan. Suamiku yang tidak terima kematiannya, ikut bunuh diri. Nah! Oleh karena itu aku suka anak-anak. Aku bukan pedofil seperti yang kalian pikirkan."
Aku dan Castle hanya bisa diam.
***TBC***
Sabtu, 30 Oktober 2021
Kafuusa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top