21

Northa, ya? Sudah kuduga.

"Apa maksud kedatanganmu ini? Bukankah kita sudah tidak berhubungan?"

"Jangan dingin begitu. Kapten lah yang memutuskan sepihak. Lagi pula aku datang dengan tujuan baik kok."

Tanganku terkepal. "Pergilah, aku takkan ikut denganmu."

"Kamu harus ikut, Kapten. Semua anggota elit Marmoris sudah menunggumu. Kita akan menyelesaikan konflik internal ini."

Sialan. Apakah dia sengaja menyebut Marmoris supaya ada yang menyadari dia salah satu anggota guild legendaris? Gawat. Masih ada Paula dan Ideo di sini. Bisa-bisa sosok 'Clandestine' diketahui.

Sudah begitu, apa maksudnya member lain menungguku? Mereka mengadakan pertemuan lagi kah? Mana sudi aku si penipu ikut hadir.

Tapi, prospek konflik Marmoris selesai cukup menarik perhatianku. Baiklah, jika permasalahanku dengan mereka akhirnya berakhir, aku akan ikut bertemu untuk pertama dan terakhir kalinya.

"Oke, aku ikut."

"Ram?" Paula melongo tidak percaya.

Aku tersenyum. "Santai saja. Aku mengenali orang ini. Anno, tolong lanjutkan tugas yang diberi Buk Prateek. Besok akan langsung kuganti dengan bank soal buatanku."

Telinga Anno tegak seketika akan tawaranku. Untuk juara dua di kelas diberi langsung jimat keberuntungan sama si peringkat satu, siapa yang tidak senang.

"Serahkan padaku, Ketua!" serunya semangat kemerdekaan.

Menoleh ke Northa, aku menunjuk arah kamar mandi. "Aku akan ganti seragam—"

"Tidak, kenakan itu saja." Northa memotong. Para ajudannya telah membukakan pintu.

Aku mendengus masam. Si Pangeran ini sebegitunya ingin memperlihatkan statusku yang sekolah dasar ke publik, ya. Menyebalkan.

*

Taman bermain. Itulah tempat berkumpulnya member Marmoris serta kaptennya sekaligus. Kenapa mereka mengadakan acara meet up di lokasi kekanakan?! Aku tidak mengerti.

"Aku sudah menjemput Kapten."

"Yosh, akhirnya kita bisa bertemu, ya. Secara lengkap. Impian kita selama ini."

Mangto. Hermit. Dien. Sokeri. Castle. Tobi. Northa. Dan, Clandestine. Tidak kusangka hari dimana kami berjumpa di dunia nyata terwujud juga.

Mangto terlihat tampan dengan pakaian kasualnya. Hermit manis berbalut gaun feminim. Dien lebih-lebih, memancarkan pesona lewat senyumannya. Sokeri sih sudah asyik selfie dengan Northa. Castle jauh terlihat 'gadis' jika memakai rok. Lalu ada Tobi, tampil sederhana. Terakhir aku, masih berseragam sekolah.

Ng? Lho, kok? Tunggu sebentar! Melihat penampilan mereka, jangan-jangan mereka sudah merencanakan ini?

"Kenapa malah melamun begitu, Kapten? Akhirnya Marmoris tidak lagi sebatas virtual. Waktunya bersenang-senang!"

"Tunggu dulu!" Aku berseru, menunjuk Northa yang sudah disogok gulali oleh Sokeri. "Dia bilang kita akan menyelesaikan masalah Clandestine, bukan untuk bermain."

Dien menoleh ke Northa. "Alasanmu buruk sekali. Kau tidak pandai mencari kata ajakan."

Wait, what? Alasan katanya?

"Iya, kita akan menyelesaikan masalah Marmoris, yaitu menerima segala fakta dan melakukan kegiatan menyenangkan bersama." Hermit menjawab pertanyaan di wajahku, tersenyum manis sembari membungkuk. "Makanya, ayo kita bermain, Kapten."

"Tidak masuk akal..." Jadi, Northa menipuku agar aku ikut serta ke pertemuan yang canggung. Jangan bercanda! Menerima kebenaran, huh? Hal seperti itu, tidak mungkin.

Aku merasakan kakiku tidak menyentuh tanah lagi, digendong oleh Dien. "Kapten, kamu suka naik wahana apa? Kicir-kicir? Disk'O? Atau rumah hantu?"

"Turunkan aku, Dien! Jangan perlakukan aku seperti bocah."

"Untuk ukuran Kapten, bagaimana kalau Volcano Coaster? Sekalian melihat siapa penakut di antara Marmoris."

"Disetujui."

Dan begitulah. Tanpa mendengar protesku, mereka membeli tiket wahana ekstrem. Mana tiga kali putaran lagi.

Yang dikalahkan oleh wahana itu adalah; Mangto, Hermit, Castle, dan Northa.

"Dasar lemah. Masa kalah sama anak kecil sih," ledek Sokeri mencibir, seenaknya memangkuku yang telah dipereteli aksesoris. Telinga beruang menempel di kepalaku. Tanganku memegang sebatang es krim.

"Kapten... kenapa Kapten bisa sesantai itu melawan wahana mengerikan?" lirih Mangto mual. Tampaknya dia yang paling menderita.

Walau dia bertanya, aku memang biasa saja. Tidak merasa gentar sedikit pun.

Castle bersungut tidak terima. "Kalau begitu selanjutnya kita main wahana Fahrenheit dan Slingshot. Mari kita lihat siapa yang bertahan di sini!"

"Sudahlah, hentikan itu. Hermit tidak kuat lagi tuh." Aku mendesah panjang melihat mereka yang malah berlomba labil.

Pada akhirnya, Mangto, Hermit, Castle, Tobi, Northa, sekarang Dien dan Sokeri pun ikut muntah berjemaah. Mental mereka semua tidak kuat untuk tidak ngeri terhadap permainan yang diikuti.

"Kapten! Kau ini apa sih?! Kenapa kau sama sekali tidak berteriak?! Kau tidak merasa gamang atau apa kek gitu?!" bentak Northa setengah marah. Tak adil anak kaya raya sepertinya dikalahkan oleh bocah kemarin sore.

Bebanku bertambah dengan balon dan syal di leher, menepuk dahi. "Sudah kubilang, kalian tidak mendengarkan."

"Baiklah," semangat Tobi tidak pudar. Dia terbawa suasana. "Selanjutnya kita main ke rumah kaca."

Sampai dua jam kemudian, mereka tidak kunjung berhasil menemukan pintu keluar. Berbeda denganku, menit kesepuluh sudah duduk manis di tempat goal.

"Kau sepertinya genius sekali, Dik, mampu mengalahkan seliweran koridor kaca secepat itu." Staf wahana tersenyum, mengajak berbicara demi mengusir kebosananku.

"Tidak juga. Aku hanya menilai dari diameter bangunan. Hanya butuh beberapa kelokan mencapai jalan keluar di belah Tenggara. Kuncinya terletak kita ingat luas gedung, rute yang disediakan, lalu menyamai langkah sesuai peta. Kaca-kaca itu tidak berguna jika kita sudah tahu pintu keluar sejak awal masuk."

"Wah, hebatnya. Kau benar-benar pintar." Staf menepuk tangan, mengulurkan rubik pelik kepadaku. "Bisakah kau menolong Mbak menyelesaikan rubik ini? Sudah seminggu teman-teman Mbak tak bisa menyudahinya."

Rubik model 5x5, ya? Aku menerimanya tanpa banyak suara. Ini mah mudah. Model yang lebih sulit saja sukses kutaklukkan.

Mata Staf yang sejak tadi terpejam berkat sipit, perlahan terbuka sedikit. Kagum. "Luar biasa. Kau membereskannya dalam waktu dua menit. Menakjubkan."

Tidak hanya Staf itu yang terkejut, tetapi juga teman-temannya. Aku tidak sadar aku sudah dikerubungi. Tatapan takzim dilemparkan.

Hambar.

Castle orang kedua keluar dari rumah kaca, menoleh ke kerumunan yang mulai gaduh. Seruan-seruan takjub dikumandangkan.

Rasanya hambar sekali. Lidahku tiba-tiba mati rasa. Kerongkonganku kering. Perasaan pahit apa ini? Mereka hambar. Aku mau muntah.

Aku terkesiap. Bahuku disentuh seseorang. Castle menolongku keluar dari kepungan manusia-manusia itu.

"Maaf, semuanya. Tapi dia bersama kami," katanya beriringan munculnya anggota Marmoris yang lain.

*

"Kau tidak apa-apa, Kapten?"

"Ya," jawabku tenang.

"Bagaimana kalau kita akhiri dengan masuk ke rumah hantu? Setelah itu kita bisa makan siang!" usul Hermit. Semangat liburan masih berkoar-koar di auranya.

"Tidak apa sih. Kapten kuat tidak—"

"Aku tidak keberatan." Mood-ku tidak baik, jadi aku melangkah masuk ke rumah hantu lebih dulu. Ini wahana terakhir, setelah itu aku bisa pulang.

Aneh. Padahal tidak ada yang menakutkan di dalam. Hanya setting gelap, udara dingin dan asap. Lalu kenapa harus aku berjalan di depan?!

"Kalian sebut diri kalian dewasa?! Bagaimana mungkin kalian membiarkan bocah memimpin rombongan?!"

"Habisnya Kapten senantiasa tenang sejak masuk. Kapten tidak merinding?" Ini kata Northa.

"Aku tidak tahu apa arti takut bagi Kapten. Wahana spektakuler saja tak berkutik melawannya." Ini kata Tobi.

"Kapten teriak dong. Tante Sokeri akan memelukmu kapan saja." Ini kata si pedofil alias Sokeri.

Oh, jadi mereka ingin aku takut. Mereka pikir rumah hantu bisa membuatku ketakutan? Besar kepala juga mereka.

"Ka-ka-kapten..." Hermit mencicit.

Aku bisa merasakan benda lembek memegang pundakku.

"Kalian ini..." Benda itu kupegang dan kulempar ke bawah. Hermit serta Castle spontan menjerit histeris. "Berhenti memperlakukanku seperti bocah!"

Aku mengacak-acak rambut. "Rumah hantu ini mengecewakan, aku beri bintang satu. Tidak ada keangkeran menjanjikan. Apa yang kalian takutkan? Apa yang kalian teriakkan? Organ-organ itu hanya buatan prostetik. Bahkan teksturnya beda dari tangan asli. Lalu darah di jalan, darah asli berbau amis! Kalian tidak menyadari perbedaan baunya, hah?"

Tatapanku berpindah ke bayang-bayang di balik pelataran rumput. "Kalian juga! Kalau ingin menakuti pengunjung, cobalah lebih totalitas lagi! Jangan malah membuntuti secara terang-terangan. Aku bisa mendengar suara langkah kaki kalian."

Dien manyun. "Kapten sungguh luar biasa, ya. Kru rumah hantu pun diceramahi."

Mangto terkekeh canggung.

Kami keluar dari bangunan pengap lima belas menit kemudian, tapi itu tidak menyurutkan marahku. Parah nih. Aku sangat kesal.

"Sudahlah, hentikan tindakan formalitas ini. Kalian tidak perlu berpura-pura."

Mereka bertujuh diam.

"Kalian pikir aku percaya begitu saja, memaafkan perbuatanku dan menerima realita? Hah, omong kosong. Aku ini anak kecil tidak tahu diri yang telah menipu mentah-mentah. Bukan ini yang kuinginkan. Kalian seharusnya membenciku." Aku menanggalkan kuping beruang di pucuk kepala.

"Kapten, kami tidak semata-mata berformalitas. Kami... khawatir dengan kesehatan psikismu."

Hah? Aku mengernyit.

"Northa memberitahuku bahwa Castle membajak sistem mobil seseorang dan hampir menabrakmu, tetapi Kapten, seolah terbiasa malah menantang laju mobil. Juga insiden Woodzn." Mangto memegang kedua bahuku. "Kau ini anak-anak, sadarlah pada umurmu. Jangan melakukan hal berbahaya."

"Kapten, kau tidak boleh menekan bentuk ekspresif dari umurmu. Biarkan ia lepas sesekali. Bertingkahlah selayak anak dua belas tahun pada umumnya," tambah Sokeri.

"Sudah bicaranya?"

Mangto tersentak. Aku menepis kasar pegangannya. "Jika sudah aku mau pulang." Sialan. Mereka sama saja dengan Ayah. Meremehkanku.

"Kapten...?"

"Biar kutegaskan untuk mengakhiri hubungan kita." Aku menatap mereka bertujuh dingin. "Mulai hari ini, Marmoris bubar!" [25/07/2021]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top