20

Prang! Prang!

Castle mengamuk di dalam kamarnya, beringas habis-habisan, melempar semua barang. Dia masih ingat percakapan kemarin.

"Aku tidak masalah jika kalian membenciku. Bukannya sudah maklum kalian marah padaku? Seseorang menipu dan mempermainkan kalian, aku memahaminya. Tapi, jangan melewati batas. Apa jadinya tadi aku betulan ketabrak? Kau mau menghabisi sisa umurmu di penjara, Kak Castle?"

Melempar keyboard, Castle menghancurkan komputernya, terduduk dengan muka merah menahan marah.

"Bagaimana bisa...! Bagaimana bisa dia malah mengkhawatirkanku daripada dirinya yang nyaris tertabrak mobil?"

Ketimbang dikatakan dendam karena telah membohonginya, Castle justru lebih mencemaskan psikologi mental kaptennya. Apalagi dia masih SD. Tekanan berat seperti ini... akan memberi pengaruh yang besar padanya.

"Kau, sejujurnya peduli pada Kapten, kan?" Seseorang berkata di balik celah pintu kamar.

"Sokeri, kah... Apa maumu? Kau tidak menguntit Northa seperti biasa?" balas Castle sarkas.

"Oh, ayolah, Castle. Daya tarikku terhadap Northa memang besar, tapi setelah mengetahui fakta hebat ini, bukankah menyenangkan jika aku juga dekat dengan Kapten? Kau mengkhawatirkan mentalnya yang tak mencerminkan umur anak-anak seusianya. Hal seperti itu terkadang diakibatkan kekerasan rumah tangga atau kekerasan pada anak. Bukan begitu? Kau khawatir Kapten akan mengalami depresi atas masalah keluarganya dan memilih game online sebagai tempat pelampiasan."

Castle diam. Sialan, Sokeri menebaknya.

"Tapi caramu itu salah," kata Sokeri menerawang. "Dengan membuatnya terlibat kecelakaan lalu lintas, apakah itu akan memicu rasa takutnya? Tidak, kan? Kau lihat sendiri, Kapten bahkan tidak gemetar sedikitpun seolah memang sudah mengetahui soal mobil tersebut. Anak itu sudah terbiasa memperhatikan sekelilingnya."

"Ck, kau datang kemari hanya untuk menasehatiku?"

"Tidak juga, sebaliknya, aku mendukung idemu." Sokeri tersenyum, beralih bersandar di dinding. "Aku memintamu untuk melakukannya lebih halus, tidak sampai menyakiti."

"Lebih halus?"

"Aku dan Dien sama-sama menyukai anak kecil. Tentu saja kami hapal gelagat mereka. Tapi untuk Kapten, aku tak bisa menelaahnya. Seakan ada orang dewasa terjebak di tubuhnya."

"Dan itulah—"

"—yang membuat kita marah, aku tahu," sela Sokeri. "Kapten tidak tahu betapa berbahayanya berurusan dengan orang dewasa yang jahat karena dia selalu percaya diri pada situasi apa pun. Ironisnya, karena sifatnya yang positif itu tim kita selalu menang."

"Memang benar."

"Itulah tugasmu mulai sekarang, Castle. Kau bisa minta bantuanku atau Hermit kala kau kesusahan."

"Tugasku?"

"Yeah. Buat Kapten sadar akan umurnya. Kali ini, gunakan cara yang lebih lembut. Hanya kau satu-satunya di Marmoris yang mampu mengimbangi Kapten. Kita akan bekerja sama."

.

.

Seminggu kemudian.

"Dengan berlalunya bulan oktober, proses pembelajaran dini hari diakhiri. Kalian semua bisa datang sesuai jadwal biasa. Untuk anak kelas 6, sebentar lagi kalian akan ujian akhir. Ibu harap kalian belajar dengan giat di rumah. Kurangi bermain."

"Paham, Buk Prateek."

"Kalian boleh pulang. Ah, Ram, jangan lupa kumpulkan minggu kemarin. Ibu tunggu di kantor."

Aku mengangguk. Beliau pun pamit dan keluar dari kelas, beriringan dengan lolosnya napas lega dari mulut teman-teman sekelas.

Mengeluarkan setumpuk kertas portofolio dari laci, aku mulai memeriksa per lembar sebelum diberikan ke wali kelas. Toh, pulang telat sudah menjadi makananku sehari-hari.

Ujian akhir tinggal dua bulan lagi. Aku tidak punya waktu bermain. Merujuk rata-rata nilaiku saat ini... bisa dikatakan level A+? Tidak! Tidak! Aku tidak boleh menyombongkan diri. Pasti banyak yang lebih pintar dariku di luar sana. Aku harus fokus belajar.

Lagi pula, aku sudah kehilangan minat bermain game sesuai janjiku pada member inti Marmoris. Yah, aku bisa main solo pakai akun baru sih.

"RAM!" Paula masuk ke kelasku, heboh.

"Ada apa? Jangan berisik di kelas orang," sahutku tak menoleh, sibuk membaca ulang tugas anak-anak sekelas. Ya ampun, mereka hanya sembarang menjawab.

"Lebay. Sudah pulang juga."

"Kau pun pulanglah sana. Heran tak bosan-bosannya mengganggu tugasku."

"BUKAN ITU MASALAHNYA SEKARANG! Geng Ideo berulah lagi!" cicit Paula menyuruhku agar cepat melerai. Siapa yang lebay sekarang coba?

"Kali ini siapa korbannya?" tanyaku basa-basi, sama sekali tak tertarik. Maksudku Ideo and The Geng sudah 'terkenal' di SD Trick, kan? Jadi bukan berita baru jika dia terlibat perkelahian.

Anak itu... akan jadi pembuli saat remaja nanti. Ini sudah bukan kekuasaanku.

"Si Ideot itu tak sengaja menabrak seorang anak sultan dan mereka tengah di ambang babak belur!"

"Hah? Anak sultan? Siapa yang kau maksud?"

"Ketua kelas!" Teman sekelasku, namanya Anno, masuk dengan panik. Sama seperti Paula. "Ideo dalam masalah besar. Bisakah ketua menanganinya? Pak Chano sudah pulang."

"Apa yang terjadi sih? Kenapa kalian ribut begitu? Ini bukan pertama kalinya Ideo bertengkar kan. Terlebih, aku paling tidak suka pekerjaanku diganggu. Bisakah kalian menunggu sebentar sampai tugasku selesai? Buk Prateek menungguku. Menunggu itu melelahkan," kataku mulai gemas. Mereka semakin hiperbola.

"Ini tidak bisa ditunggu, Ketua kelas." Anno menggeleng.

"Itu benar. Kan aku sudah bilang, saat pulang sekolah, Ideo dan gengnya seradak-seruduk seperti biasa dan menabrak anak sultan bersama dua pengawal besar. Ideo yang tidak terima bersikeras pada mereka. Yah, sisanya tebak saja sendiri."

"Kau niat memberitahuku tidak sih?" Aku mendengus masam.

"Ayolah, Ram. Hanya kau yang bisa melerai mereka."

"Hufft, baiklah." Ini juga bukan pertama kalinya aku mengurus masalah yang ditimbulkan Ideo dan gengnya. Bukankah itu guna ketua kelas? Profesi yang melelahkan.

Kami bertiga keluar dari kelas dengan Paula memimpin.

Hatiku bertanya-tanya, Paula menyebut kata 'sultan' dua kali. Maksudnya apa? Seingatku tidak ada nama murid demikian di sekolah ini. Apakah merujuk ke kata sifat? 'Sultan' berarti orang kaya raya? Mungkinkah peserta olimpiade yang mengikuti program study banding?

"Permisi, permisi. Ketua kelas datang merarai." Anno membuat jalan untukku. Ramai sekali di depan gerbang.

"Ketua kelas! Akhirnya kau datang juga! Ayo cepat lerai Ideo!"

Ya ampun. Jika benar ada bodyguard, sampai mau memukul anak-anak, tidak bermartabat sekali.

Aku membelah kerumunan, berseru datar, "Hei, kalian semua, pulang sekarang juga. Bel sudah berbunyi dari tadi. Jangan berkerumun di sini. Bubar!"

Mereka bisik-bisik. Kerumunan mulai mengendur mengikuti perintahku.

"Segera minta maaf pada Tuan Muda kami, bocah ingusan."

"Hah? Kalian rombongan sirkus salah lokasi? Jelas-jelas dia yang salah, pelayan beloon!"

Aku berdiri di belakang Ideo, bersedekap. "Kau membuat masalah lagi? Tidak kapok-kapok merepotkan orang. Haruskah kulempar kau ke BK."

"Ini kejutan, Robon. Kau datang karena mencemaskanku—"

Tanpa ABCD, aku langsung menundukkan kepala Ideo ke bawah, pose minta maaf, bersitatap dengan dua pemuda berpakaian rapi seperti pengawal pada umumnya dan ikut membungkuk.

"Maafkan perbuatan teman sekelas saya jika menyinggung kalian. Anak ini otaknya memang tidak di kepala namun di pantat, jadi mohon pengertiannya."

"YAK! Apa maksudmu, hah?! Kau mengejekku, Rorobon sialan!"

Mereka saling tatap. Rorobon?

Kujitak kepala Ideo. "Kau sudah kutolong seharusnya berterima kasih, cecunguk menyebalkan. Berkali-kali merepotkanku. Aku juga punya kesibukan. Lain kali kau ulang, takkan kuhiraukan lagi."

"Sialan...! Kau pikir aku butuh bantuanmu, hah?!"

Aku memijat pelipis. Anak ini, kapan khilaf sih? Bisa gila aku lama-lama mengurus masalahnya sampai tamat.

"Permisi," Mereka menatapku. "Apakah kau yang namanya Rorobon Ram?"

"Ya. Kalian mengenal saya?"

"Kalau begitu mari kita percepat saja. Kami ingin Tuan Muda Ram ikut dengan kami."

Deg!

Baik aku, Paula, Anno, dan Ideo terkesiap. Apa maksud mereka? Jadi, mereka datang ke SD Trick mempunyai tujuan?

Aku mengernyit. "Ikut? Ke mana?"

"Detailnya akan kami beritahu di mobil. Bisakah Tuan Muda Ram masuk secara sukarela?"

Jangan bercanda, oi. Aku tidak tahu motif mereka, tapi mereka tidak main-main dengan ajakan dadakan ini. Memangnya mereka mau membawaku ke mana? Penculikan terang-terangan? Atau, diperintah seseorang? Tapi seingatku, Mama tidak pernah punya kenalan orang kaya.

Jangan-jangan, Klendestin? Guild Woodzn? Lagi-lagi mereka.

Aku memasukkan tangan kanan ke saku celana, mendongak karena mereka tinggi. "Mohon maaf sebesar-besarnya, tetapi saya harus menolaknya. Bukan karena apa. Dua orang tak dikenal tiba-tiba mengajak pergi, aneh sekali."

"Benar! Mau ke mana kalian membawa Ram, heh! Kalian mau menculiknya?" seru Paula galak.

"Kalau begitu kami tak punya pilihan selain menyeret Tuan Muda Ram dengan paksa sebab membawa Anda adalah perintah. "

"Tunggu,"

Mobil hitam mengkilat yang parkir di gerbang, akhirnya mengeluarkan satu sosok siluet yang sudah kusadari sejak tadi.

"Tuan Muda..."

Dia turun dari mobil.

Northa, ya? Sudah kuduga. [17/04/2021]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top