16
Tidak, aku keliru menebaknya.
"Kapten! Ini jelas di luar rencana kita! Bukankah Kapten sendiri yang tidak ingin mengungkapkan identitasmu?"
"Tenanglah, Mangto. Lakukan saja sesuai rencana. Abaikan saja aku. Lagi pula jika aku tak datang tadi, kau sudah terjepit oleh Castle, kan? Harusnya kau berterima kasih padaku sudah menambal kesalahanmu."
Mangto jengkel. Bukankah ini rencana untuk menutupi identitas Clandestine yang aslinya seorang anak SD dan menggertak guild Woodzn? Mengapa Mangto yang tertampar kanan-kiri?
Aku mendongak ke Mangto. Dia terlihat menggumamkan sesuatu.
"Sabar..., lawanmu anak-anak. Orang dewasa selalu salah."
"Oi, kau sedang mengejekku, ya?" tudingku masam. "Cih, ini tidak sesuai ekspektasiku. Mangto wakil kelas atas yang amat ramah dan patuh pada Clandestine justru melecehkan kaptennya sendiri—"
Mangto membekap mulutku. "Apa yang kamu lakukan, Kapten! Bagaimana kalau ada yang mendengar! Naluri bocah-mu sedang nyala??"
"Aku juga tidak tahu..."
"Eh?" Bekapan Mangto mengendur.
Aku mengusap wajah, mengacak rambut, mimik ekspresi frustasi. "Apa yang sedang kulakukan sekarang? Melihat kalian bersama membuat tubuh ini merasakan emosi yang asing! Apa namanya? Jinak? Jangan-jangan perbedaan umur antara aku dan member Marmoris membangkitkan sifat anak-anak yakninya manja?! Mustahil!"
Plak! Plak! Plak!
Mangto melongo melihatku menampar pipi sendiri. Tiga kali, lima kali, delapan kali.
"Sadarlah, Ram (tamparan ke-10) ! Kau sudah 12 tahun! Tidak ada definisi anak-anak lagi! Sadarlah dengan umurmu (ke-11)! Tidak ada manja-manja lagi!"
"Kapten... Menurutku 12 itu masih umur anak kecil. Jadi sudah semaklumnya rangsangan dalam tubuhmu menuntut kegiatan anak-anak pada umumnya..."
"TIDAK!" Aku menyergah, separuh membentak. "Aku sudah 12 tahun! Kegiatan anak-anak katamu?! Seperti bermain bareng badut, tertawa 'HAHAHA' seperti orang bodoh melihat badan penuh lumpur, lalu merengek dan hiperbola pada orangtua jatuh sedikit, seperti itu, hah? MENDING AKU IKUT OLIMPIADE DARIPADA MELAKUKAN PERBUATAN KONYOL BEGITU!"
"Fufufu," Mangto menggoda, menyejajarkan tingginya padaku. "Oh benar juga. Aku sudah mencari latar belakangmu, Kapten. Rorobon Ram, siswa dari SD Trick yang membantai seluruh lomba pendidikan di Kota Hallow."
Aku menelan ludah, tak suka ditatap seperti itu, menjawab gelagapan. "K-kenapa memangnya. A-aku tidak memberimu izin mencari tahu tentangku."
Mangto diam dua detik.
Ada apa? Kok hening? Oi, siapa yang mematikan dialognya? Aku takut nih!
"Kapten! Kenapa Kapten imut sekali!!" teriak Mangto tanpa aba-aba, memelukku.
Aku mendorong Mangto. "Intinya aku akan melihat ke sekeliling bersama teman-temanku. Kau tetap lakukan tugasmu. Aku akan memberi sinyal jika ada sesuatu yang tidak beres. Mengerti?"
"Perintah dilaksanakan, Kapten."
.
.
Sesuai perintahku, Mangto memimpin pertemuan itu dengan baik. Sudah setengah jam berlalu semenjak mereka meet up, tapi tidak ada tanda-tanda dari Woodzn. Aku setia memantau dari posku.
Bagaimana sekarang, Menas? Apakah kau akan muncul atau menunggu Clandestine datang? Ayo buat permainan ini jadi seru.
"Ram, kau baik-baik saja?" Paula bertanya tak enak.
"Senyuman smirk dengan pita dan rok. Kau kehilangan citramu sebagai ketua kelas, ya? Sadarlah, Ram, kamu itu cowok."
"Menurutku ini menarik malahan."
"Menarik dari mananya, Day? Kau seharusnya khawatir sahabatmu satu itu kehilangan jati dirinya!"
Day, salah satu temanku yang anteng dan easy going, namun tertarik pada karakter cowok rasa cewek, suka cosplay dan—kebanyakan ah.
"Kalian lupa kalau Ram punya sesuatu yang dirahasiakan pada kita? Sampai membutuhkan bantuan, rela menyamar jadi anak perempuan, mengajak bermain ke luar, bukankah itu artinya ada sesuatu?" gumam Day tepat sasaran, tersenyum miring.
"Ya ampun," Aku menghela napas panjang, mengusap anak rambut di dahi. "Kamu memang peka, Day. Aku tidak bermaksud merahasiakannya, tapi baiklah, akan kuberitahu."
Mereka bertiga berdiri dengan telinga tegak.
"Kalian pastilah tahu Marmoris."
"Tentu saja. Itu guild ternama yang dipimpin player legenda di Runic Chaser. Semua pemain game tersebut iri pada anggota Marmoris yang tak pernah bisa digeser dari rangking pertama."
"Itu benar, Ram!" Billy ikut-ikutan memprotes. Eh, kau kenapa protes? "Aku agak jengkel kenapa pemain-pemainnya hebat semua. Terutama Clandestine! Cheater tidak. F2P. Kenapa dia jago banget sih?"
"Clandestine...," aku menghela napas panjang sebelum melanjutkannya. "Itu adalah—"
"KYAAAA!!!"
Mulutku tersumpal, serempak menoleh. Diikuti oleh yang lain. Asal suaranya dari Kafe Ceibar.
Bola mataku terbelalak. Jangan-jangan...?!
"Ram, tunggu! Kamu mau ke mana!"
Sial! Sial! Sial! Aku lengah sebentar mereka langsung bertindak? Tapi bagaimana caranya? Aku sudah memasang banyak kamera pengawas yang menyorot Kafe Ceibar. Jika ada sesuatu yang melewati titiknya, maka itu akan masuk ke ponselku.
Bagaimana cara mereka lepas dari pengawasanku?!
Aku menoleh ke belakang. "Hei, kalian bertiga! Lakukan rencananya sekarang!"
"Eh?! Sekarang?!!"
"Aku tidak terlalu mengerti, tapi jika kau bilang begitu kami tidak punya pilihan." Billy, Day dan Paula saling menganggukkan kepala, melesat ke posisi masing-masing.
Mari kita lihat, Menas, rencana siapa yang paling matang.
Aku sampai di depan kafe, spontan menyembunyikan tubuh. Sialan. Mereka sudah menyandera pengunjung toko dan... membawa senjata? Oi oi oi, kau serius? Ini dunia nyata lho!! Tidakkah berlebihan membawa senjata asli?
Si Menas itu sudah kehilangan akal sehatnya!
Tunggu sebentar, kalau diperhatikan, bukankah mereka pelanggan nomor 7? Aduh! Aku membuat kesalahan besar!
"Menas, apa yang sebenarnya kau inginkan?" Mangto lebih dulu bersuara. "Kau, kan, yang meneror Northa dan Hermit. Ayolah, kau tak boleh seperti ini hanya karena game—"
Duk!
Mangto...! Aku berseru tertahan dalam hati.
Menas tanpa basa-basi memukul pipinya dengan gagang pistol, menyeringai lebar. "Justru karena itulah aku melakukan ini, Wakil Marmoris yang terhormat," ucapnya menyeringai mengerikan. "Bisa-bisanya kalian berpesta di sini menikmati kekalahan orang. Tak bisa dimaafkan!"
Gawat. Aku mengelap keringat yang meluncur sejak datang ke kafe.
Situasi ini amat berbahaya untuk anak-anak sepertiku.
"Nah, Wakil Mangto." Menas menodongkan pistol ke kepala Hermit. "Bisa beritahu, di mana Clandestine sekarang? Kuberi waktu 10 detik sebelum kepala rekanmu ini bocor."
"HERMIT—"
Menas tidak datang sendiri, dia bersama anggota Woodzn yang juga menaruh dendam pada kami. Bergerak sedikit saja, mereka tak segan-segan memukuli mereka dengan badan pistol.
"10..."
"Kami juga tidak tahu rupa Clandestine!"
"9..."
"Kau meneror kami untuk balas dendam dan mencari Kapten? Sadarlah, Menas!"
"8..."
"7..."
"6..."
Mangto tetap menutup mulut rapat-rapat. Mana mungkin dia mau mengatakannya. Ada dua taruhan nyawa di tangannya.
"5..."
"4..."
"3..."
Menas menarik pelatuk. "Tidak mau menjawab, hee? Sebegitu setianya kau pada majikanmu?"
"2..."
"Tidak, bukan begitu."
"1..."
Aku kehabisan pilihan, ya? <0>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top