13
"Mangto?"
Satu detik, dua detik, tiga detik.
Hah?! Aku menutup mulut. Keceplosan.com!
"Kapten,"
Aku cegukan, gugup setengah mati. Apalagi Mangto mengatakan itu terang-terangan. Aku harus segera menyangkalnya!
"Kapten tidak perlu menjawabnya," Mangto lebih dulu berkata. "Aku sudah tahu semenjak Kapten datang ke kantorku, melukis simbolmu. Lambang Clandestine. Aku tidak sengaja melihatmu dari atas. Aneh, bukan, anak kecil bermain di wilayah perkantoran? Malam hari? Harusnya mereka sudah tidur, masuk ke alam mimpi."
Jadi Mangto melihatku malam itu?
"Ti-tidak. Waktu itu hanya kebetulan lewat, dari pasar malam!" kataku patah-patah, berusaha menyangkal keyakinan Mangto. Apa yang akan Mangto pikirkan setelah tahu identitas Clandestine? Aku akan—
Plok
Aku menatap tak mengerti.
Mangto tersenyum penuh arti, mengusap-usap rambutku. "Tebakanku tidak salah. Kapten, adalah orang hebat di dunia nyata."
"Hebat?" gumamku dongkol, meremas jemari. "Aku menipu kalian. Memalsukan identitasku. Apanya yang hebat? Aku hanya anak kecil yang tidak tahu sopan santun, seenaknya memerintah orang. Kau sebut hebat?"
"Karena memang itulah peranmu, memberi perintah dan kami yang melakukannya." Mangto menjawab baik, berdeham kalem. "Seseorang akan linglung di perjalanan ketika tidak mendapat perintah yang tepat."
"Itu hanya istilah dasar untuk menyembunyikan kekecewaanmu. Sudahlah, semua tamat. Lagi pula, aku sudah berfirasat identitasku takkan bertahan lama. Siapa sangka yang memerintah kalian selama ini ternyata bocah ingusan kelas 6 SD. Aku akan dibenci." Selamat tinggal, Clandestine. Waktunya untuk istirahat—
"Siapa bilang benci, hei?" Mangto terkekeh. "Kapten selucu ini. Mana bisa aku benci. Kalau menuruti hati, aku mau menggendong Kapten saat ini juga."
"Tapi kau kecewa, kan, kutipu selama ini. Sosok Clandestine yang agung adalah anak-anak. Sungguh fakta yang memalukan."
Ini aneh. Harusnya Mangto kecewa, marah, angkat kaki dariku. Tidak terima akan fakta ini. Kenapa Mangto malah tertawa, terlihat hepi? Kenapa kondisi ini terbalik? Kenapa aku yang merasa kecewa?
"Aku menipumu, Mangto," kataku sengau. Berkaca-kaca. "Juga member yang lain. Clandestine bukan pria dewasa. Dia hanya anak kecil. Aku mengecewakanmu. Kenapa kau masih tersenyum—"
"Kapten,"
Aku spontan menatapnya.
"Mau bermain catur?"
*
Tak, Tak, Cklak!
"Checkmate." Aku berkata dengan wajah polos.
Mangto mengusap wajah, kesal. "Bagaimana mungkin Kapten seberani itu mengorbankan Queen dan Menteri hanya untuk membuatku memajukan Kuda? Kalau salah selangkah saja, Kapten akan kalah."
"Tapi buktinya kau terpancing provokasiku, kan?" kataku datar. Berbeda dengan sorot mataku yang serius.
Mangto diam. Benar juga.
"Tidak ada kata keberuntungan di dalam catur. Ini permainan otak, strategi, kecerdasan. Segala macam bentuk strategi digunakan, meski harus merelakan beberapa Prajurit. Dan di atas segalanya, matematika-lah yang membantu memberi jawaban. Mengeliminasi pion yang dibuang dan harus dilindungi."
Aku sudah mengalahkan puluhan program catur yang dibuat oleh agensi game, yang tentunya didesign sehebat mungkin. Tingkat kemenanganku dalam game ini 100%!
"Hmm, begitu rupanya. Provokasi yang Kapten berikan padaku membuatku tertekan. Tapi, kenapa bisa Kapten seyakin itu aku akan menggerakkan Kuda?"
"Karena bukan hanya aku yang ingin menang. Kau pun sama. Tapi kau tergesa-gesa dan malah menjadi batu loncatanku. Tujuan catur memang mencapai skakmat. Tapi, jangan sampai lupa," Aku tersenyum miring. "Untuk menikmati permainannya."
Mangto tertawa pelan. "Ini benar-benar Kapten."
Aku tertegun, menampar diri. Aduh, aku sampai lupa kalau Mangto sudah tahu siapa aku. Kenapa aku terbawa suasana sih?
"Kesampingkan soal umurmu, Kapten." Aku menatap ke depan. Mangto kembali tersenyum. "Kamu adalah Clandestine, leader guild Marmoris. Kamu bukan anak-anak biasa. Seseorang tidak bisa dinilai dari penampilannya saja. Iya, kamu anak kecil kelas 6 SD. Belum tahu cara dunia bekerja. Namun, siapa sangka kamu adalah pemimpin guild ternama di kancah dunia game?"
"Tapi aku...."
"Lagi pula, aku takkan pernah tahu siapa Kapten di dunia nyata kalau Kapten tidak nekat datang ke perusahaanku." Wajah Mangto berubah seratus delapan puluh derajat. "Kapten datang karena juga risau oleh peneror itu, kan?"
Air mukaku ikut berubah.
"Apa Kapten tahu sesuatu? Sekiranya, apa tujuan mereka melakukan hal itu."
"Entahlah," aku menghela napas pendek. "Mungkin, bisa jadi aku keliru menebak, ini adalah ulah guild Woodzn."
"Woodzn?"
Benar. Woodzn. Guild nomor dua terbesar di Runic Chaser. Meski guild itu lebih besar kontribusinya pada game (mempromosikan) mereka tetap tidak bisa mengalahkan Marmoris. Mereka tidak pernah bisa mengambil posisi satu dalam event merebutkan peringkat.
"Lagi pula apa motif mereka, Kapten?"
"Itulah gamer yang terlalu membawa emosional ke dunia nyata, Mangto. Pada umumnya game-game online hanya untuk hiburan, namun segelintir pemain tidak semata-mata menganggapnya 'permainan'. Ini perlombaan, tantangan, melawan pemain lain, memecut diri untuk mengalahkan mereka, dengan hadiah yang ditentukan. Mereka salah satunya. Mereka tahu tidak bisa mengalahkan Marmoris, talenta dan pengalaman, kualitas member Marmoris, amat berbanding jauh. Tidak ada musuh bodoh hendak mendeklarasikan perang tanpa persiapan matang. Mereka pikir, Marmoris bisa dihancurkan dengan serangan fisikal. Itu akan memengaruhi pikiran, memilih jalan aman untuk menghindari serangan tersebut, dengan menghapus satu kegiatan di dalam bioritme tubuh, aktivitas yang diperintah untuk dihilangkan. Yaitu bermain game."
Mangto mengerjap, mencerna.
"Ada banyak sel di dalam tubuh kita, Mangto, termasuk otak. Sel-sel itu merekam aktivitas anggota tubuh di luar. Tetapi, jika ada satu sel yang mengancam keselamatan fisik, mereka akan bekerja sama untuk membuang sel yang merekam aktivitas membahayakan."
Ujung mataku melirik ke samping. Padahal hanya game, sampai niat meneror. Mereka sudah tidak waras.
Mangto mengembuskan napas perlahan. "Kadang aku sempat lupa kalau Kapten masih setinggi lututku. Penjelasan brilianmu tidak mencerminkan usiamu."
Aku melotot. Hei, aku tidak sependek itu.
"Kemarilah, Kapten," Mangto justru melebarkan tangan. Hah? Mau apa ini orang?
"Ngapain?" Anehnya tubuh sialan ini merespon, melangkah ke tempat Mangto. Kami memang mampir ke warung pinggir jalan, membeli beberapa cemilan malam.
"Anak pintar," gumamnya bangga, mengelus-elus kepalaku, mengangkat dan memangkuku.
"A-apa yang kau lakukan!" seruku malu.
Pemilik warung, juga pejajan lain menatap penghargaan. Mereka pasti berpikir kami ayah-anak sedang berbaikan dari debat.
"Apa rencanamu, Kapten?" bisik Mangto membuatku tertegun.
Aku berpikir cepat. Ah, begitu ya. Si Mangto ini boleh juga pemikirannya.
"Karena kita belum tahu apa rencana mereka, lebih baik kita diam. Mereka jelas mengincar member Marmoris, entah sudah biografi siapa saja yang mereka dapatkan. Kita harus menunggu pergerakan mereka selanjutnya. Mangto teruslah lakukan pertemuan dengan anak-anak yang lain. Itu akan membuatku leluasa memperhatikan."
"Eh? Maksud Kapten, kau akan mengurus mereka saat kami meet up?" Mangto menggeleng tegas. "Tidak, Kapten. Aku tidak ingin mengambil resiko membiarkan Kapten melakukan rencana berbahaya."
"Tidak apa, aku akan pura-pura bermain bola di arah sana. Lagian aku hanya ingin mengawasi."
Mangto tetap menggeleng. "Kapten, kau ini perempuan. Berbahaya."
Aku melotot. "Enak saja. Aku ini laki-laki."
"Eh? Bukannya perempuan? Lalu kenapa memakai rok dan pita?"
"Aku sengaja untuk memalsukan gender-ku."
Mangto menatapku. Aku balik menatapnya polos. Terjadi adegan tatap-menatap selama 10 detik.
Selang dua detik, Mangto membekamku. "Kapten, kau sangat imut."
Tu-tu-tunggu! Aku tak bisa bernapas—eh, lho, kenapa rasanya nyaman, hei?
Begitu rupanya! Jadi ini sensasi dipeluk orang dewasa! Karena aku hanya dipeluk Mama, jadi aku tidak pernah merasakan sensasi dipeluk 'pria dewasa'.
"Kapten! Kenapa Kapten malah tidur?!"
•••
24 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top