BAB 3
Wonwoo benar-benar memukul kepala Mingyu saat Pria itu baru saja menutup pintu apartemen.
"A-apa-"
"Kau seorang pelukis?!" Tanya Wonwoo memotong seruan Mingyu.
"Apa kau memukulku hanya karena itu?!"
"Ya. Kim Mingyu. Kenapa kau merahasiakan semua padaku?"
Kali ini Mingyu memutar bola matanya. Ia meletakkan sepatu yang baru saja di lepas pada rak sepatu dekat pintu lantas menggunakan sandal bulu hangat.
"Tidak ada yang merahasiakannya, Wonwoo? Aku sudah memberitahumu sejak lama."
Wonwoo menatap Mingyu skeptis. Mengikuti kemana Pria itu pergi.
Menyandarkan tubuhnya di ambang pintu selagi ia memperhatikan Mingyu yang meletakkan tasnya dan mulai membuka baju. Sekilas Wonwoo menatap bagaimana perut teman satu apartemen itu terbentuk dengan sempurna. Bahkan ia tak tahu kalau Mingyu amat merawat tubuhnya.
Wonwoo berdehem pelan. Mengalihkan pandangan. Lantas terhenti pada sebuah kanvas tertutup kain putih.
"Oh! Apa itu adalah hasil lukisanmu? Boleh aku lihat?" Kata Wonwoo mulai berjalan menuju pojok ruangan. Namun mendadak berhenti kala Mingyu memotong jalannya.
"Jangan."
"Huh? Kenapa? Bukankah kau seorang pelukis. Pasti semua akan baik-baik saja."
"Kubilang jangan. Ini hanya sebuah lukisan gagal. Aku berniat membuangnya, kurasa."
Wonwoo mendesah. Kembali berbalik ke ambang pintu. Tidak lagi menyenderkan tubuhnya, namun ia menatap Mingyu, "aku masih tak yakin kau seorang pelukis handal. Maka, untuk membuktikannya, kau harus mengajakku pada salah satu pameran."
"Ya. Baiklah, Wonwoo. Apa kau bisa keluar? Aku harus mengganti celanaku," Mingyu menutup pintu kamarnya setelah ia mendorong Wonwoo untuk pergi.
Samar ia mendengar Wonwoo berteriak untuk dirinya membuat makan malam.
Mingyu berjalan menuju kanvas putih miliknya. Membuat kain penutup dan menatap lukisan setengah jadinya. Tanpa sadar ia mendesah sebelum meletakkan benda itu di dalam lemarinya.
•••
Mingyu memasuki studio lukisnya. Bau cat serta jejeran kanvas berbagai macam menyambutnya. Ia lantas berjalan menuju stand miliknya. Mengeluarkan beberapa alat lukis dan Mingyu sudah berhasil menemukan ide untuk lukisannya.
Ketika warna hijau mulai mengotori kanvas putih, suara pintu terbuka mengalihkan pandangannya.
"Hei, Mingyu!" Dia adalah Kim Jongin. Seniornya di studio. Pria itu datang bersama seorang Pria mungil.
Mingyu meletakkan kuas miliknya dan berjalan menghampiri Jongin, "Ya, Hyung?"
"Kita kedatangan peserta baru. Dia Lee Jihoon. Minggu depan dia akan ikut pameran." Pandangan Mingyu beralih pada seseorang di samping Jongin. Lantas tersenyum sopan.
"Hallo, Lee Jihoon. Aku Kim Mingyu. Kuharap kau betah."
"Ya. Aku Lee Jihoon. Kuharap semua berjalan baik untuk kedepannya," ujar Jihoon dengan sedikit malu. Membuat kedua Pria tinggi disana terkekeh pelan.
Kemudian Jongin keluar dari ruang studio meninggalkan Mingyu serta Jihoon berdua.
Mingyu mengajak Jihoon menuju salah satu stand-stand yang tepat berada di samping stand Mingyu. Stand yang semula diisi oleh pelukis bernama Wen Junhui. Namun Pria itu sudah tak lagi bekerja di studio. Ada beberapa alasan yang Mingyu tak ketahui.
Selagi Pria dengan kulit tanned itu menjelaskan beberapa peraturan, Jihoon hanya diam dan berusaha untuk menyembunyikan senyum kecilnya. Ia terbatuk pelan, membuat Mingyu sontak menghentikan kegiatannya.
"Apa ada yang ingin kau tanyakan, Jihoon-ssi?"
Jihoon membulatkan matanya, "tidak! Semua baik-baik saja."
Pipi Jihoon bersemu merah. Ia berharap ia tak terlihat begitu konyol di depan Mingyu.
"Ha ha ha .. kau lucu sekali, Jihoon-ssi."
•••
Wonwoo tak menemukan Mingyu ketika ia pulang ke apartemen. Lampu masih gelap dan tak ada tanda kehidupan disana. Pria dengan balutan jaket kulit itu lantas menghempas diri pada sofa bersamaan dengan perutnya yang meronta.
"Oh, sial! Kemana bocah itu?" Umpatnya menelusuri satu persatu nama yang ada pada kontak ponselnya. Ia berniat untuk menelpon Mingyu.
Pada sambungan ketiga, panggilan itu berakhir seakan Mingyu dengan sengaja menolak panggilan. Dan itu membuat Wonwoo jengkel.
"Dia sudah berani kurang ajar padaku, huh?!" Ia memaki pada ponsel seakan benda itu adalah Kim Mingyu.
Wonwoo membanting ponselnya pada sofa dan berjalan menuju dapur. Dan membuka lemari pendingin. Ia kemudian mendengus saat tak menemukan apapun disana. Hanya ada wortel dan kentang. Lalu tak ada apapun disana.
"Seungcheol, mau menemaniku makan?" Wonwoo menghubungi Seungcheol.
"Oh maaf sekali, Wonwoo. Pekerjaanku tidak bisa aku tinggal."
"Yayaya.. terserah padamu."
Lalu beralih menghubungi Vernon. Pada sambungan kedua, suara Vernon terdengar.
"Kau ada waktu sekarang?"
Ada jeda sebentar untuk Vernon merespon ucapan Wonwoo, "um, maaf sekali, Wonwoo. Sesuatu tidak berjalan baik hari ini. Dan waktu yang kau minta-"
Pip!
Wonwoo mematikan panggilan sebelum Vernon selesai dengan ucapannya. Ia lantas meraih kunci mobil dan jaket.
"Apa manusia sekarang harus sibuk secara bersamaan?! Benar-benar!" umpatnya selagi ia menunggu lift terbuka.
Pada angka ke-5, lift kemudian terbuka secara perlahan dan Wonwoo menemukan Mingyu di dalam sana.
"Kau datang terlambat, Kim!"
"Apa kau belum makan?" Mingyu bertanya. Mengabaikan teriakan Wonwoo.
"Ya. Dan kau harus bertanggung jawab."
•••
Mereka berakhir pada sebuah restoran mahal. Oh, Wonwoo tentu saja bisa membeli apapun.
Mingyu menolak untuk ikut memesan walaupun Wonwoo berkata bahwa pemuda itu yang akan bayar. Namun, Mingyu merasa perutnya sudah kenyang.
"Kau sudah makan?"
"Ya. Dengan Jihoon."
Kening Wonwoo berkerut ketika Mingyu menyebut nama seseorang yang asing, "rekan kerjamu? Apa kalian berteman dengan baik?"
"Sebenarnya dia baru-dan yah, kami berteman cukup baik."
Pesanan Wonwoo datang setelahnya. Restoran itu menyajikan makanan begitu cepat. Wonwoo meminta sebuah makanan penutup pada pelayan yang mengantar pesanannya.
"Kupikir aku sudah ketinggalan banyak. Jadi ceritakan semuanya. Tentang studio lukis mu, dan seseorang bernama Jiho."
"Jihoon. Kau harus mengoreksinya. Dan pekerjaanku berjalan normal. Beberapa lukisanku sudah terpajang di beberapa museum lukis."
Kemudian Mingyu mendengar Wonwoo berseru 'wow' selagi pria itu menyantap steik di atas meja.
"Jadi, pameran itu akan dilaksanakan minggu depan?"
"Ya. Tepat saat libur musim panas.".
Wonwoo mengehentikan kunyahan dagingnya, menatap Pria berkulit tanned di depannya, "kau tak pulang ke Anyang?"
"Tidak. Lagipula aku bisa menghabiskan waktuku di studio bersama Jihoon. Dia juga tidak pulang saat musim panas nanti."
Menghabiskan waktu bersama terdengar begitu aneh di telinga Wonwoo.
"Kau tenang saja, Gyu. Aku juga enggan pulang ke rumah. Kau akan terus bertemu denganku saat pulang ke apartemen."
Satu hal yang tak Mingyu ketahui. Bahwa Wonwoo tak suka jika Mingyu berakhir menghabiskan waktu bersama Jihoon.
•••
Seulgi datang kembali kala itu. Namun Mingyu menemukan Wanita itu berjalan masuk ke apartemen bersama Wonwoo.
"Noona, apa kau suka menonton kami berpacaran?" Wonwoo masih pada sandiwaranya dengan status sebagai pacar Mingyu.
"Aku akan bersamamu, Wonwoo. Mingyu tidak akan berani dekat-dekat."
Mingyu yang duduk tenang di depan tv mengangkat wajah. Menatap Seulgi yang seperti cukup muak dengannya. Lantas pandangannya jatuh pada lengah Seulgi yang mengapit erat lengan Wonwoo. Kemudian ia menatap Pria Jeon yang terlihat jengah dan berusaha meminta Mingyu untuk menolongnya.
Desahan keluar dari mulut Mingyu. Ia lantas beranjak. Menarik tangan Wonwoo hingga Pria itu kini berada di pelukannya.
Mingyu akan membuka suara, tapi pintu apartemen yang terbuka membuat pandangan ketiganya teralih.
Seungcheol berdiri dengan seorang Pria bertubuh pendek disana.
"Jihoon-ssi?" Mingyu akhirnya bersuara. Melepas pelukannya dengan Wonwoo. Dan menghampiri Pria bertubuh pendek.
Mingyu seperti melupakan semuanya. Mengabaikan perannya sebagai pacar Wonwoo yang mungkin saja akan membuat Seulgi curiga dan tak menyadari bahwa seseorang tengah terluka.
Kkeut
Like a piece of watercolour painting
Aku kaget loh pas nonton inside seventeen : Wonwoo film. Selama ini memang kek gitu yang terbayang penampilan Wonwoo di ff ini. Dengan jaket kulit hitamnya ಥ‿ಥ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top