CHAPTER 9 : ONE STEP CLOSER TO THE DEATH
Title: LAST LOVE IN JEJU HOSPICE - VRene SeulMin FF
Cast: All Bangtan & Red Velvet Members
Lenght: Mini Chapter Part
Rating: 15+
Author: Tae-V [Twitter KTH_V95]
CHAPTER 9 : ONE STEP CLOSER TO THE DEATH
.
AUTHOR POV - SEPTEMBER 2017
"Araseo. Aku bersedia menjadi kekasihmu." sahut Irene malam itu dengan nada cool ketika Taehyung mengajaknya berjalan-jalan di taman hospice untuk melihat keindahan bintang-bintang di langit malam.
Taehyung terbelalak. "Kau... Serius, noona?"
Irene menghentikan langkahnya, lalu menatap Taehyung sambil menganggukan kepalanya. "Ne."
"Jinjja?" Taehyung masih terbelalak. Tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kalau kau tidak mau ya sudah, anggap saja aku tidak berbicara apa-apa barusan." sahut Irene sambil berjalan.
"Aniya!" Taehyung langsung berjalan dan berdiri di hadapan Taehyung, membuat langkah Irene kembali terhenti.
Irene menatap Taehyung.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran, noona?" tanya Taehyung.
"Geunyang..." sahut Irene.
"Pasti ada alasannya." sahut Taehyung.
Irene pun bercerita.
"Ketika aku divonis tidak akan berusia lama lagi, saat itu aku sedang menjalani hubungan dengan seorang pria bernama Park Bogum. Sebenarnya, selama kami pacaran, ia memiliki adik angkat yang sangat dekat dengannya. Kim Yoojung namanya.
Dan ketika ia tahu usiaku tidak lama lagi, ia langsung meminta putus denganku. Dua hari kemudian, ia berpacaran dengan Yoojung itu..
Makanya, aku berpikir... Aku sudah tidak layak lagi untuk dicintai.. Karena aku akan segera menemui ajalku..."
Taehyung dengan seksama mendengarkan cerita Irene.
Irene melanjutkan ucapannya.
"Aku berpikir... Aku tidak mungkin bisa menjadi kekasihmu karena usiaku hanya tinggal dua bulan lagi.. Tapi, Joyi dan Yeri selalu rewel akhir-akhir ini. Kata mereka, aku masih berhak jatuh cinta dan dicintai..
Lalu... Aku setiap malam jadi sering merenung, memikirkan ucapanmu. Lama-lama aku sadar, benar katamu. Tidak ada yang melarangku untuk kembali jatuh cinta di sisa akhir hidupku ini...
Benar katamu.. Tidak ada hukum ataupun undang-undang yang melarang para pasien seperti kita untuk jatuh cinta dan dicintai...
Apalagi, aku akhir-akhir sering melihat Seulgi lebih banyak tertawa sejak berkencan dengan teman sekamarmu itu... Makanya, aku pikir, tidak ada salahnya kan kalau aku juga... Ingin dicintai di sisa hidupku yang singkat ini?"
Taehyung tersenyum.
Senyuman yang bisa membuat hati Irene tiba-tiba terasa sangat hangat. Padahal angin malam berhembus dengan cukup dingin malam itu.
"Apa kau bisa berjanji satu hal padaku?" tanya Irene.
"Apa, noona?" tanya Taehyung.
"Berjanjilah... Untuk tidak pernah meninggalkanku dan akan terus mencintaiku hingga ajal menjemputku.. Hanya itu pintaku, Taehyung ah..." sahut Irene.
Taehyung tidak menjawab. Ia justru berjalan maju dua langkah, kemudian kedua tangannya memegang lembut kepala Irene, dan bibirnya mengecup pelan kening Irene.
Irene meneteskan air mata. Rasanya, sudah lama ia tidak diperlakukan selembut ini oleh seorang pria.
Taehyung melepaskan ciuman di kening Irene, lalu menatap Irene.
Mata mereka saling beradu pandang.
"Aku janji, noona.. Kau akan menjadi cinta terakhir dalam hidupku.." sahut Taehyung.
"Gumawo..." sahut Irene sambil meneteskan air mata.
Jari jemari Taehyung mengusap pelan kedua pipi Irene, menghapuskan semua air mata yang ada disana.
"Saranghae, noona..." bisik Taehyung sambil memiringkan kepalanya, lalu ia menempelkan bibirnya dengan lembut ke bibir Irene.
Irene pun memejamkan kedua matanya dan membalas ciuman Taehyung.
Cahaya bulan malam itu menjadi saksi bisu atas ciuman lembut yang terjadi antara Taehyung dan Irene.
.
.
.
"Annyeong, Jimin ah!" teriak Taehyung ketika ia masuk ke dalam kamarnya, membuat Jimin yang baru saja hendak tidur jadi terbangun lagi.
"Waeyo?" Jimin kebingungan melihat ekspresi ceria di wajah Taehyung.
"Aku sudah menciumnya!" teriak Taehyung.
"Ne?" Jimin terbelalak.
"Irene noona bersedia menjadi kekasihku! Yuhuuuuuu!" sahut Taehyung dengan penuh antusias.
"Jinjja? Kapan?" Jimin semakin terkejut.
"Barusan! Ketika kami berjalan-jalan di taman! Whoaaaaaaaaa! Akhirnya... Aku bisa meraih satu-satunya keinginanku sebelum meninggal.." sahut Taehyung.
"Apa itu?" tanya Jimin.
"Meraih cinta terakhirku.." sahut Taehyung sambil tersenyum.
"Chukkae, Taehyung ah! Aku ikut senang mendengarnya!" Jimin turun dari kasurnya dan memeluk tubuh Taehyung.
Namun, tiba-tiba kepala Jimin kembali terasa sangat pusing.
Jimin melepaskan pelukannya dan berjongkok ke lantai sambil memegang kepalanya.
"Waeyo, Jimin ah? Kau kenapa?" tanya Taehyung.
"Kepalaku terasa sangat pusing, Taehyung ah..." rintih Jimin.
Taehyung segera membopong tubuh Jimin berjalan menuju kasur Jimin.
"Berbaringlah. Aku akan memanggil perawat segera!" sahut Taehyung sambil berlari keluar dari kamar, menuju meja perawat. Taehyung lupa bahwa ia sebenarnya cukup menekan bel tombol bantuan.
"Arghhhh..." rintih Jimin sambil berbaring di atas kasurnya.
.
.
.
SEULGI POV - SEPTEMBER 2017
Sore itu, aku dan Jimin sedang duduk berduaan di taman hospice, menikmati angin sore.
"Semalam kudengar kau batuk darah..." sahut Jimin sambil menatapku.
Aku hanya menganggukan pelan kepalaku.
"Pasti kau bertanya darimana aku tahu kan?" tanya Jimin.
"Pasti dari Irene eonnie. Ia memberitahu Taehyung-sshi, dan Taehyung-sshi memberitahumu. Ya kan?" sahutku.
"Majjayo! Mengapa kau sangat cerdas, noona?" sahut Jimin sambil tersenyum dan mengusap pelan poniku.
Aku tersenyum.
Entah mengapa, semua pujian yang keluar dari mulutnya selalu sukses membuatku tersenyum.
"Sekarang bagaimana? Sudah enakan rasanya?" tanya Jimin.
Aku menganggukan kepalaku. "Ne..."
"Dahengiya.." sahut Jimin.
Tangan kiri Jimin perlahan menggenggam tangan kananku. Ibu jarinya mengusap-usap pelan tanganku yang berada dalam genggamannya itu.
"Terkadang aku berpikir.. Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa sakit yang kau alami?" sahut Jimin.
"Tetaplah seperti ini.. Disampingku.." sahutku. "Aku selalu merasa hangat setiap bersamamu..."
Jimin kembali menatapku. "Jinjja?"
Aku menganggukan kepalaku sambil tersenyum. "Jinjja ya..."
Jimin ikut tersenyum. "Dahengiya..." sahutnya.
"Aku.. Paling suka saat-saat seperti ini.." sahutku. "Duduk berduaan denganmu, menikmati angin sore yang sejuk.. Rasanya, hatinya sangat hangat dan tenang~"
"Syukurlah kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik." sahut Jimin sambil mengusap pelan rambutku.
Sejujurnya... Setiap kali Jimin memperlakukanku dengan lembut seperti ini.. Aku tiba-tiba menjadi rakus.
Tiba-tiba, aku tidak ingin segera meninggal!
Tiba-tiba, aku ingin umurku diperpanjang lagi!
Seringkali aku berdoa, berharap umurku bisa diperpanjang lagi.
Sejak Jimin masuk ke dalam kehidupanku... Aku jadi tidak siap menghadapi kematian.
Aku jadi semakin banyak berharap bisa mendapatkan cinta Jimin yang lebih dan lebih banyak lagi untukku.
Apakah ini dosa? Menolak untuk menerima takdirku...
.
.
.
IRENE POV - SEPTEMBER 2017
Aku duduk sendirian di bangku taman hospice pagi itu.
Taehyung sedang terlelap setelah mendapat obat pereda nyeri.
Tadi ketika ia mengunjungi kamarku satu jam yang lalu, tiba-tiba saja ia merintih kesakitan, lalu terjatuh pingsan di kamarku.
Tubuhnya semakin kurus saja.
Apa penyebaran penyakitnya sudah meluas?
Aigoo... Pipinya semakin terlihat tirus sekarang, jauh lebih tirus dari pertama kali aku melihatnya berlarian dengan Jimin-sshi di taman ini.
Sudah dua hari belakangan ini, ia juga sering muntah-muntah.
Kemarin sore malah sampai ada darah di muntahannya.
Jujur saja, aku jadi cemas.
Kurasa... Aku sudah benar-benar jatuh hati padanya... Makanya aku bisa sampai merasa secemas ini melihat kondisinya yang semakin memburuk.
Aigoo...
Apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya merasa jauh lebih baik?
Aku jadi emrasa tidak berguna sebagai kekasihnya...
Tiba-tiba saja seseorang duduk di sampingku.
Aku menoleh ke arahnya.
Hoseok ssaem.
"Annyeong, Irene hwanja." sahutnya sambil tersenyum.
Jujur saja, dari semua dokter yang ada disini, aku paling suka dengan Hoseok ssaem.
Ia sangat ceria dan wajahnya selalu tersenyum. Ia paling ahli dalam membuat perasaan para pasien jadi bahagia.
"Annyeong, ssaem.." sahutku sambil tersenyum.
"Bagaimana kondisimu pagi ini?" tanyanya.
Aku menganggukan pelan kepalaku. "Sejauh ini baik-baik saja..."
"Apa kau sudah sarapan?" tanya Hoseok ssaem.
"Sudah, ssaem.. Kalau kau?" sahutku.
"Aku sedang menunggu Namjoon. Kami berencana akan sarapan di rumah makan di depan sana." sahutnya sambil menunjuk ke arah depan hospice. "Ada rumah makan yang menjual bubur sangat enak! Aku suka makan bubur untuk sarapanku.."
"Aku jadi iri padamu, ssaem.." sahutku.
"Waeyo?" Hoseok ssaem menatapku. "Karena aku bisa berkeliaran semauku sementara kau terjebak di hospice ini?"
Aku menganggukan kepalaku. "Majjayo. Hehehehe~"
"Aigoooo.. Peraturan disini melarang pasien untuk keluar dari wilayah hospice ya? Kalau tidak ada peraturannya, aku pasti bersedia mengajakmu berjalan-jalan menikmati keindahan Pulau Jeju ini. Hehehe.." sahutnya sambil tersenyum.
Aku tertawa kecil.
Hoseok ssaem memang paling ahli menyemangati para pasien!
"Whoaaaaaa! Irene hwanja tersenyum! Jung Hoseok memang pahlawan sejati di Jeju Hospice!" sahut Namjoon ssaem sambil berjalan menghampiri kami.
Hoseok ssaem menunjukkan ekspresi bangga ke arah Namjoon ssaem sambil berkata, "Aku kan seperti cahaya matahari yang selalu siap memberikan kehangatan! Memangnya kau? Hanya bisa merusak peralatan di hospice ini? Hahahaha..."
"Terserah saja apa katamu, Hoseok ah!" sahut Namjoon ssaem sambil menggaruk kepalanya.
Mungkin Namjoon ssaem merasa bersalah karena semalam aku dengar Namjoon ssaem merusakan keran wastafel di kamar mandi yang disediakan khusus untuk para dokter.
Sebelum-sebelumnya aku juga sering mendengar Namjoon ssaem merusakkan beberapa peralat hospice.
Malah sempat kudengar, secara tidak sengaja Namjoon ssaem pernah memecahkan vas bunga di meja pasien, vas pemberian mantan kekasih sang pasien.
Namjoon ssaem memang terkenal agak ceroboh, hehehe...
Mereka berdua pun berpamitan padaku, lalu berjalan menuju pintu gerbang hospice.
Aku sangat suka melihat kedekatan para dokter di hospice ini.
Kurasa, keputusanku sangat tepat untuk menghabiskan sisa hidupku disini.
Dan tiba-tiba saja, kedua telingaku terasa mendengung.
Kepalaku mulai terasa pusing, sangat pusing.
Aku melihat ke sekelilingku, dunia seolah sedang berputar.
"Arghhhhhhhhhh..." rintihku pelan.
Aku bangun dan berusaha berjalan ke dalam gedung hospice, namun langkahku jadi tak tentu arah karena keseimbanganku yang semakin bermasalah, ditambah lagi dunia terasa sedang berputar.
Untung saja Seulgi sedang ada disana.
Ia segera menghampiriku ketika melihatku berjalan terhuyung-huyung.
"Eonnie! Eonnie, kau kenapa?" tanya Seulgi dengan nada panik.
"Yoongi ssaem! Yoongi ssaem! Tolong! Irene eonnie sepertinya kesakitan!" teriak Seulgi.
Tak lama kemudian Yoongi menghampiri kami.
"Ayo kita segera ke kamar! Aku akan memberikan obat untukmu." sahut Yoongi ssaem sambil membopong tubuhku.
.
.
.
TAEHYUNG POV - SEPTEMBER 2017
Baru saja aku sadar dari pingsanku, aku langsung mendapat kabar dari Jimin bahwa Irene noona sedang tertidur setelah diberi obat.
"Seulgi noona menemukan Irene noona tadi di taman dalam kondisi kesakitan. Untung ada Yoongi ssaem disana, jadi Yoongi ssaem segera membawa kekasihmu itu ke kamar dan mengobatinya. Kata Seulgi noona, kekasihmu masih terlelap saat ini." sahut Jimin.
"Sakitnya kambuh lagi?" tanyaku.
Jimin menganggukan kepalanya.
"Bagaimana kondisimu sekarang, Tae?" tanya Jimin.
"Sudah enakan.." sahutku.
Jimin menatapku dengan tatapan sedih.
"Waeyo, imma?" tanyaku.
"Kau... Semakin hari terlihat semakin kurus, Taehyung ah.. Pipimu semakin tirus.. Jauh lebih tirus dari ketika kita pertama kali bertemu disini dua bulan yang lalu." sahut Jimin.
"Hanya perasaanmu saja.." sahutku.
Padahal, aku juga merasakan tubuhku menjadi semakin kurus dan lemah.
"Kau yakin tetap tidak akan memberitahu keluargamu?" tanya Jimin.
Aku menganggukan pelan kepalaku.
"Waeyo?" tanya Jimin.
"Geunyang.." sahutku. "Aku tidak tega melihat air mata mereka..."
"Lalu, apa kau tidak berpikir bagaimana keadaan mereka jika mereka mendapat kabar akan kematianmu?" sahut Yoongi ssaem yang tiba-tiba berjalan masuk ke dalam kamar kami.
"Ssaem..." Aku dan Jimin terkejut melihat Yoongi ssaem yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar kami.
"Aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian di luar." sahutnya.
"Ahhh..." sahutku.
Yoongi ssaem menatapku dengan tajam. "Segera beritahu keluargamu akan kondisimi sebelum terlambat, imma."
Aku menggelengkan kepalaku. "Shiro!"
"Kau sama saja dengan Kwangsoo hwanja." sahutnya. "Egois."
"Aku tidak tega melihat eomma dan appa terus menangisiku di sisa hidupku ini!" sahutku.
"Dan kau pikir mereka tidak akan menangis melihatmu nanti terbaring tak bernyawa?" sahutnya.
"Setidaknya... Mereka hanya akan menangis seharian itu... Kalau kuberitahu dari sekarang, mereka akan terus menangis hingga hari kematianku tiba." sahutku.
"Bagaimana dengan semua penyesalan yang akan mereka rasakan nanti karena tidak menyadari bahwa anak mereka sakit?" sahut Yoongi ssaem, kali ini nadanya semakin meninggi. "Apa kau tidak memikirkan perasaan mereka sampai sejauh itu?"
Aku terdiam.
"Benar kata Yoongi ssaem, Taehyung ah.." sahut Jimin.
Sejujurnya.. Aku sama sekali belum siap untuk memberitahu keluargaku...
"Mengapa otakmu tidak bisa berpikir dengan baik, padahal penyakitmu ada di usus bukan di otakmu?" sahut Yoongi ssaem dengan ketus.
"Ssaem... Jangan memarahinya terlalu keras.." sahut Jimin.
Aku hanya terdiam.
Tak lama Yoongi ssaem keluar, terjadi kehebohan di luar sana.
"Lee Kwangsoo hwanja meninggal.." sahut Wendy ganhosa, sepertinya memberitahukan kabar itu kepada Yoongi ssaem yang baru keluar dari kamarku.
Aku dan Jimin mengintip dari jendela kecil yang ada di pintu kamar.
Para dokter dan perawat mulai terlihat berlalu lalang, mempersiapkan pemakaman pasien yang baru saja meninggal itu.
"Taehyung ah.. Ayo kita ikut menghadiri acara pemakaman ini. Aku penasaran ingin melihat bagaimana pemakaman dilangsungkan disini.." sahut Jimin.
Kami pun berjalan menuju ruang duka yang terletak di ujung lorong lantai 4 ini.
Ada seprang wanita tengah menjerit-jerit di dalam sana.
"Mengapa kau meninggalkanku secepat ini, oppa? Mengapa?" teriak wanita itu sambil berlinang air mata. "Mengapa kau tidak mau menemuiku selama kau berada disini padahal setiap hari aku datang untuk menemuimu!"
"Mwoya?" sahut Jimin pelan. "Siapa wanita itu?"
Wanita itu terus berteriak memanggil nama pasien yang meninggal itu.
"Mengapa kau tidak mengijinkanku menemanimu di saat-saat terakhirmu, oppa?" teriak wanita itu lagi.
Tiba-tiba Jin ssaem berdiri di sampingku dan menceritakan mengenai wanita yang tengah menangis itu.
"Kau tahu? Apa yang diteriakan wanita itu sekarang, itulah yang akan diteriakan orang tuamu nanti jika kau tidak memberitahukan mereka akan kondisimu disini... Itulah yang akan dilakukan kedua orang tuamu nanti ketika melihat tubuhmu sudah terbaring tak bernyawa di ruangan ini.." sahut Jin ssaem setelah selesai menceritakan kisah antara pasien yang meninggal dan wanita yang sedang berteriak itu.
"Mereka akan berteriak, mengapa kau tidak memberitahu mereka sehingga mereka bisa menemanimu di saat-saat terakhir hidupmu..." sahutnya lagi. "Penyesalan akan menghantui mereka seumur hidup karena tidak bisa menemanimu dan merawatmu di sisa akhir hidupmu..."
Aku terdiam sambil menatap wanita itu.
Tanpa sadar, air mataku menetes.
Apakah... Benar yang diucapkan Jin ssaem?
Haruskah aku.. Memberitahu keluargaku akan kondisiku ini sebelum aku meninggal?
.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top