CHAPTER 7 : CONFESSION
Title: LAST LOVE IN JEJU HOSPICE - VRene SeulMin FF
Cast: All Bangtan & Red Velvet Members
Lenght: Mini Chapter Part
Rating: 15+
Author: Tae-V [Twitter KTH_V95]
.
CHAPTER 7 : CONFESSION
.
AUTHOR POV - AGUSTUS 2017
"Gumawo, noona.." sahut Taehyung ketika ia berpapasan lagi dengan Irene sore harinya.
"Uh? Untuk apa?" tanya Irene.
"Kudengar dari Namjoon ssaem, kau yang memanggilnya saat aku pingsan tadi." sahut Taehyung.
"Kan kau kebetulan memang sedang ada di dekatku." sahut Irene, berusaha terlihat tenang di hadapan Taehyung.
Taehyung menganggukan kepalanya. "Benar juga. Tapi tetap saja, karena noona memanggil Namjoon ssaem, aku jadi terselamatkan."
Irene menatap Taehyung.
"Setidaknya untuk hari ini... Aku berhasil diselamatkan oleh bantuanmu.." sahut Taehyung. "Mungkin, memang ajal belum waktunya menjemputku... Toh, menurut perkiraan usiaku masih bisa bertahan hingga tujuh bulan ke depan! Hehehe.."
"Kau masih bisa tertawa setelah pingsan seperti tadi?" tanya Irene.
Taehyung lagi-lagi tersenyum sambil menatap Irene. "Lalu.. Haruskah aku menghabiskan sisa hidupku yang hanya tinggal tujuh bulan ini dengan meratapi nasib dan menangis sepanjang hari? Bukankah tujuan kita memilih menghabiskan saat-saat terakhir kita di hospice ini karena kita ingin melalui saat-saat terakhir hidup kita dengan pikiran yang lebih tenang?"
DEG!
Dada Irene serasa terpukul.
Benar ucapan Taehyung. Irene memilih menghabiskan sisa hidupnya di hospice karena ia takut jika ia menghabiskan sisa waktunya di rumah, ia akan menjadi lebih depresi dan tertekan dengan penyakitnya.
Benar ucapan Taehyung. Irene seharusnya bisa menghabiskan sisa hidupnya yang tidak lama lagi itu dengan penuh tawa, bukannya dipenuhi air mata seperti yang selama ini Irene lakukan setiap malam tiba. Menangis di atas kasurnya.
"Aku lihat kau sangat jarang tersenyum, noona." sahut Taehyung sambil menatap Irene. "Padahal, kau sangat cantik jika tersenyum, apalagi tertawa."
"Kapan kau melihatku tersenyum?" tanya Irene.
"Beberapa kali aku melihatmu tersenyum ketika mengobrol dengan para dokter dan perawat disini." sahut Taehyung.
"Kau... Diam-diam menstalking ku?" Irene mengernyitkan keningnya.
"Aku sasaengmu, noona! Hehehehe..." sahut Taehyung, setengah bercanda setengah sungguhan. Bercanda, karena ia bukan sasaeng yang selalu mengikuti Irene setiap detik. Namun sungguhan bahwa ia sering memperhatikan Irene dari kejauhan setiap tidak sengaja ia berpapasan dengan Irene.
"Cih! Memangnya aku ini artis?" sahut Irene.
"Kau terlihat lebih cantik dari para artis di layar kaca, noona!" sahut Taehyung.
"Inilah mengapa aku selalu membenci namja! Kalian seenaknya saja berucap tanpa bisa mempertanggungjawabkan ucapan kalian!" gerutu Irene, mengingat sakit hatinya pada Bogum, mantan kekasihnya itu.
"Siapa bilang?" tanya Taehyung. "Aku bisa mempertanggungjwabkan ucapanku, noona! Waeyo? Karena semua yang kuucapkan barusan adalah fakta dari apa yang terlintas di benakku dan terucap dalam hatiku."
Irene terdiam sejenak. Terpukau mendengar apa yang baru saja diucapkan Taehyung.
Sedikit banyak Irene bisa melihat ketulusan dari tatapan Taehyung.
Namun, hati kecil Irene kembali berbisik, "Jangan lemah, Irene! Jangan lengah! Apa kau belum kapok dengan apa yang Bogum lakukan padamu?"
"Aku... Jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu di hospice ini satu bulan yang lalu, noona..." Akhirnya, Taehyung memberanikan diri membuka mulutnya. "Dan aku sangat senang karena kau mau berbicara denganku dan mengijinkanku memanggilmu noona. Aku sangat senang karena kau mau berbicara denganku dan berkenalan denganku seperti ini."
"Uhuk!" Irene tersedak seketika. Ia bahkan sama sekali tidak berpikir Taehyung akan mengutarakan perasaannya!
"Aku serius, noona..." sahut Taehyung sambil menatap irene dengan tatapan serius. "Tidak bisakah kau mencintaiku juga?"
"Kau gila?" tanya Irene sambil mengernyitkan keningnya.
"Aku serius." sahut Taehyung, masih terus menatap Irene.
"Ini hospice, bukan biro jodoh!" sahut Irene.
"Aku tahu. Siapa juga yang bilang aku sedang mengikuti acara biro jodoh?" sahut Taehyung.
"Ini hospice, Taehyung ah! Hospice! Bukan hospital dimana kita masih bisa mungkin pulang ke rumah dalam keadaan sehat dan sembuh dari penyakit kita!" sahut Irene.
"Aku sadar sepenuhnya bahwa ini hospice." sahut Taehyung.
"Aku akan mati, Taehyung ah! Perkiraan usiaku tinggal tiga bulan lagi!" sahut Irene.
"Aku juga akan mati sekitar tujuh bulan lagi. Aku sadar sepenuhnya." sahut Taehyung.
"Lalu, apa yang kau pikirkan sekarang? Jatuh cinta? Apa kau bercanda?" sahut Irene. "Perasaanku ini bukan bahan untuk bercanda, Taehyung ah!"
"Siapa yang bilang aku bercanda?" sahut Taehyung. "Aku serius jatuh cinta padamu, noona! Dan lagipula, siapa yang bilang kalau pasien disini tidak berhak untuk jatuh cinta?"
"Kim Taehyung. Dengar baik-baik... Apa menurutmu masih masuk di akal jika orang yang akan segera mati masih memikirkan percintaan dan bermesraaan?" sahut Irene.
"Lalu? Siapa bilang orang yang akan mati tidak berhak mencintai dan dicintai?" sahut Taehyung. "Apakah ada hukum atau undang-undang yang melarang seseorang untuk jatuh cinta di saat-saat terakhir kehidupannya?"
Irene terdiam. Benar ucapan Taehyung. Tidak ada satupun hukum atau peraturan yang melarang hal itu.
"Tidak bisakah kau menjadi cinta terakhirku, noona? Cinta terakhir sebelum ajal menjemput kita. Cinta terakhir dimana kita akan berdua, berbahagia bersama di akhir hidup kita?" tanya Taehyung. "Bukankah hidup ini terlalu indah untuk kita tangisi? Bukankah seharusnya kita bisa menghabiskan saat-saat terakhir hidup kita dengan berbahagia bersama orang yang kita cintai?"
Irene terdiam.
"Kalau kau belum siap menjawab pernyataan cintaku, gwenchana. Toh aku tidak memaksamu menjadi kekasihku saat ini juga." sahut Taehyung. "Kau bisa berpikir, dan memberikanku jawabanmu setelah kau yakin dengan perasaanmu."
"Sisa umurku tinggal tiga bulan..." sahut Irene.
"Aku yakin aku bisa membahagiakanmu bahkan jika usiamu hanya tinggal satu hari saja, noona." sahut Taehyung. "Aku akan menunggu jawabanmu."
Irene menatap Taehyung,
"Aku kembali ke kamar dulu ya, noona!" sahut Taehyung sambil mengusap pelan kepala Irene. "Kutunggu jawabanmu, jangan lupa itu! Hehehe..."
Taehyung berjalan menjauh dari Irene.
Irene menatap punggung Taehyung yang berjalan menjauh darinya.
"Apa benar... Aku... Masih berhak jatuh cinta di sisa akhir hidupku ini?" gumam Irene sambil terus menatap punggung Taehyung yang semakin menjauh.
.
.
.
"Aku tidak sengaja mendengar. Tadi sore Taehyung hwanja menyatakan cinta kepada Irene hwanja!" sahut Soobin ketika ia sedang berkumpul dengan para dokter dan perawat di meja perawat di lantai 4.
"Jinjja? Whoaaaa! Taehyung hwanja masih terpikirkan untuk jatuh cinta padahal ia tahu usianya tidak akan lama lagi?" Hoseok terkejut mendengar ucapan Soobin.
"Majjayo, oppa. Daebak kan?" sahut Soobin.
"Aaaaaa~ So sweet sekali Taehyung hwanja..." sahut Wendy. "Irene hwanja sangat beruntung bisa mendapatkan pernyataan cinta dari pria setampan Taehyung hwanja di saat-saat akhir hidupnya!"
"Kata-katanya begitu manis! Aku terpukau ketika mendengarnya mengungkapkan perasaannya." sahut Soobin.
"Apa yang diucapkannya?" tanya Namjoon.
"Siapa bilang orang yang akan mati tidak berhak mencintai dan dicintai? Apakah ada hukum atau undang-undang yang melarang seseorang untuk jatuh cinta di saat-saat terakhir kehidupannya?" sahut Soobin, mengulangi ucapan Taehyung yang tak sengaja didengarnya.
"Kyaaaaaaaaaaaaaa~" Wendy terpekik. "Ia berkata seperti itu?"
Soobin menganggukan kepalanya.
"Itu sangat manis!" sahut Wendy.
"Dengan wajah tampannya, ia berkata seperti itu. Bayangkan saja bagaimana jika aku yang berada di posisi Irene hwanja! Aku pasti sudah jatuh pingsan!" sahut Soobin.
"Aaaaaaa~" Wendy dan Soobin saling berangkulan sambil membayangkan jika mereka yang berada di posisi Irene tadi sore.
"Akhirnya ia mengutarakannya?" gumam Yoongi. "Taehyung lumayan keren juga rupanya."
"Apa yang kau katakan, hyeong?" tanya Jin, yang mendengar sekilas gumaman Yoongi.
"Aniya. Eobseo." sahut Yoongi dengan datar.
"Aigoo.. Ia mana tertarik dengan topik seperti ini, hyeong!" sahut Hoseok. "Aku bahkan ragu kalau Yoongi hyeong bisa menikah. Hahaha..."
"Aigoo!" gerutu Yoongi sambil menendang pelan kursi yang diduduki Hoseok.
"Lalu, apa kata Irene hwanja? Apa mereka sudah berpacaran sekarang?" tanya Jin.
Soobin menggelengkan kepalanya. "Kurasa, Irene hwanja menolak Taehyung hwanja."
"Waeyo?" sahut Namjoon.
"Sepertinya Irene hwanja merasa, ia akan meninggal dan sudah tidak layak untuk dicintai..." sahut Soobin.
"Aigoo..." sahut Wendy dengan ekspresi sedih.
"Tapi kurasa Taehyung hwanja tidak akan menyerah. Setahuku, ia tidak mudah menyerah..." sahut Jin.
"Ini akan menjadi kisah cinta yang indah kalau benar-benar terjadi..." sahut Jin.
"Last love in Jeju Hospice." sahut Yoongi tiba-tiba, membuat semua mata tertuju ke arahnya.
"Whoaaaa! Sejak kapan kau tertarik dengan hal-hal seperti ini, hyeong?" tanya Namjoon.
"Majjayo." sahut Jin.
"Ssaem! Sejak kapan kau bisa mengucapkan kalimat seperti itu?" tanya Wendy.
"Kau... Sehat-sehat saja kan, hyeong?" tanya Hoseok.
"Aigoo... Inilah alasan mengapa aku sering malas berkumpul dengan tukang gosip seperti kalian semua, ckckck..." gerutu Yoongi.
Membuat semua yang ada disana tertawa, kecuali Yoongi.
Tiba-tiba Jungkook berjalan keluar dari kamar 412.
Jungkook melintas di depan meja perawat tempat kerumunan itu tengah berkumpul.
"Ssaem.. Ganhosa.. Aku pulang dulu ya! Tolong jaga Jimin hyeong dengan baik.. Aku baru bisa kesini Sabtu depan..." sahut Jungkook.
"Araseo, Jungkook-sshi. Tenang saja. Kami pasti akan menjaga Jimin hwanja dengan segenap hati kami.." sahut Jin sambil tersenyum.
"Maaf jadi merepotkan kalian.. Kuliahku benar-benar tidak bisa kutinggalkan, jadi aku hanya bisa kesini setiap Sabtu dan Minggu saja..." sahut Jungkook dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
"Gwenchana. Bukankah kami memang dibayar untuk hal itu?" sahut Yoongi dengan nada datarnya.
"Yaishhh! Hyeong! Berbicaralah dengan lebih manusiawi." sahut Namjoon sambil memukul pelan bahu Yoongi.
Jungkook tersenyum. "Aku kini sudah mulai terbiasa mendengar ucapan seperti itu dari Yoongi ssaem, hehehe.. Awalnya aku sedikit kesal dengan Yoongi ssaem, namun semakin lama aku semakin terbiasa dengan sifatnya yang seperti itu..."
"Bukan hanya kau, Jungkook-sshi. Bahkan sampai sekarang masih banyak pasien yang mengeluh pada kami karena sifat Yoongi hyeong, hahaha.." sahut Hoseok.
Yoongi lagi-lagi menendang kursi Hoseok. "Diam kau."
"Himnae, Jungkook-sshi! Kau harus tetap fokus pada pelajaranmu, karena kami pasti akan menjaga hyeongmu dengan baik disini..." sahut Namjoon sambil tersenyum.
"Araseo.. Gumawo, ssaem." sahut Jungkook sambil tersenyum.
Tak lama setelah Jungkook berpamitan, Wendy berkata, "Bagaimana mungkin kakak beradik bisa sama-sama setampan ini? Aigoo~"
"Ayo kita lanjut bekerja sebelum pikiran Wendy ganhosa melantur kemana-mana." sahut Yoongi sambil bangun dari kursinya.
Membuat semua yang ada disana kembali tertawa.
"Kau benar-benar memiliki bakat membuat kami tertawa, ..." sahut Hoseok sambil tertawa.
PLAK!
Pukulan pelan itu mendarat di kepala Hoseok.
"Cepat lanjut bekerja, imma." sahut Yoongi.
.
.
.
JIMIN POV - AGUSTUS 2017
Aku terbelalak ketika mendengar ucapan Taehyung barusan.
Sebuah kalimat yang cukup mengejutkan untuk ku dengar di Senin pagi yang cerah ini.
"Mwoya?" Aku menatap Taehyung.
"Aku mengutarakan perasaanku pada Irene noona kemarin sore." sahut Taehyung dengan santainya.
"Jinjja?" Mata kecilku terbelalak.
Taehyung, masih dengan ekspresi santai, menganggukan kepalanya.
"Lalu? Apa katanya? Apa jawabannya?" tanyaku, penasaran.
"Tentu saja... Menolakku." sahutnya.
Aku tertawa. "Sudah kubilang, wanita secantik dia pasti seleranya tinggi, Taehyung ah! Hahaha.."
"Alasannya kau tahu? Mengapa ia menolakku?" tanya Taehyung.
"Ia sudah punya kekasih?" tanyaku, masih sambil tertawa.
Taehyung menggelengkan kepalanya.
"Lalu?" tanyaku.
"Ia berkata, usianya tinggal tiga bulan lagi. Ia bilang, ajal akan segera menjemputnya, jadi jangan bermain-main dengan perasaannya." sahut Taehyung.
DEG!
Aku langsung terdiam. Tawaku langsung terhenti.
Benar juga!
Terkadang, untuk sejenak, aku sering lupa akan satu hal.
Bahwa kami para pasien disini adalah orang-orang yang sudah tidak tertolong lagi.
Kami, para pasien disini, adalah orang-orang yang tinggal menunggu waktu hingga ajal menjemput kami.
"Tragis kan?" sahut Taehyung sambil menatapku.
Aku menatap balik ke arah Taehyung.
"Jimin ah... Kalau menurutmu bagaimana? Apakah kita... Yang sudah hanya tinggal menunggu waktu ini... Sudah tidak berhak untuk jatuh cinta?" tanya Taehyung.
Ekspresinya terlihat sangat serius.
Tiba-tiba, wajah dan senyuman Seulgi noona melintas di benakku. Sebuah kehangatan kembali kurasakan setiap memikirkan Seulgi noona.
Aku menghela nafas sejenak, lalu menjawab, "Siapa bilang kita tidak berhak jatuh cinta walau kita sudah divonis tidak akan hidup lama lagi?"
"Benar kan? Kita... Juga masih berhak jatuh cinta, ya kan?" tanya Taehyung.
Aku menganggukan kepalaku.
"Kau... Apa kau saat ini sedang mencintai seseorang juga, Jimin ah?" tanya Taehyung.
Aku pun menceritakan rahasia itu padanya.
"Seulgi noona..." sahutku. "Kurasa, aku sudah jatuh cinta padanya... Entah sejak kapan.."
"Jinjja?" Kali ini giliran Taehyung yang terbelalak.
Aku menganggukan kepalaku. "Aku... Selalu ingin berada disampingnya.. Menemani kesendiriannya selama berada disini..."
Taehyung terus menatapku sambil mendengarkan ucapanku.
"Aku.. Ingin membuat Seulgi noona merasa bahagia di sisa hidupnya yang tidak lama ini..." sahutku lagi.
Taehyung mengusap pelan rambutku. "Pemikiran yang sangat bagus, Jimin ah!"
"Jadi... Kita masih berhak jatuh cinta, ya kan?" tanyaku pada Taehyung.
Taehyung tersenyum lebar. "Tentu saja!"
"Mari kita berusaha mengejar cinta terakhir kita ini, Jimin ah!" sahut Taehyung sambil merangkul pundakku.
"Ne!" sahutku lantang sambil tertawa.
Dan tiba-tiba saja.
Rasa sakit itu kembali menjalar di kepalaku.
Rasa nyeri yang teramat sangat, yang membuatku merasa kepalaku seperti mau pecah rasanya.
"Arrrrgggggghhh..." rintihkku sambil memegang kepalaku.
"Jimin ah! Kau kenapa?" Taehyung mulai panik.
"Kepalaku, Tae! Kepalaku! Arrrghhhhh..." Aku berjongkok sambil memegang kepalaku.
Rasa nyeri itu semakin menguat. Keseimbanganku juga mulai bermasalah.
Aku pun jatuh berbaring di atas lantai sambil terus mengerang kesakitan.
"Arggggggghhhhhhhhhhhhhhhh..."
Taehyung segera berlari mencari bantuan.
Tak lama kemudian, kudengar sebuah suara.
"Bertahanlah, Jimin hwanja! Kami akan segera memberikan pereda nyeri."
Suara yang sudah tak asing lagi di telingaku.
Yoongi ssaem.
Aku pun tak sadarkan diri setelah mendengar ucapan Yoongi ssaem itu.
.
.
.
AUTHOR POV - AGUSTUS 2017
Jimin membuka kedua bola matanya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.15 PM.
Rasa nyeri itu sudah tidak lagi terasa.
Jimin menatap kasur Taehyung namun tidak ada siapa-siapa disana.
"Taehyung kemana? Pasti berkeliaran lagi dengan kameranya.." sahut Jimin.
Jimin turun dari kasurnya, lalu berjalan mendekat ke jendela kamar, menatap langit siang di luar sana.
Rasa sakit yang tadi dirasakannya kembali menyadarkannya akan satu hal.
Yaitu, bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi.
Jimin kembali teringat pembicaraannya dengan Taehyung pagi tadi.
"Benar kata Taehyung. Bukankah kami juga masih berhak untuk bahagia di saat-saat akhir hidup kami ini?" gumam Jimin.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Jimin segera berjalan keluar dari kamarnya dan menuju ke lantai 3.
Jimin pun mengetuk pintu kamar itu.
Kamar 331.
"Siapa? Silakan masuk." sahut Irene dari dalam kamar itu.
Jimin membuka pintu dan mendapati Irene sedang sendirian di kamar itu.
"Uhmmmm... Apa kau melihat Seulgi noona?" tanya Jimin.
"Seulgi? Sepertinya ia sedang di taman... Kalau tidak salah, setelah nyeri di dadanya membaik tadi, ia bilang ingin mencari udara segar di taman." sahut Irene.
"Nyeri dadanya kambuh lagi?" tanya Jimin.
Irene menganggukan kepalanya.
"Aigoo..." sahut Jimin.
"Coba kau cari di taman, sepertinya ia disana." sahut Irene.
"Araseo. Gumawo, Irene-sshi." sahut Jimin sambil tersenyum, diiringi anggukan kepala Irene.
.
.
.
"Kudengar nyeri di dadamu kambuh tadi?" sahut Jimin sambil duduk di kursi panjang di sebelah Seulgi.
"Kkamjakiya!" Seulgi terkejut karena Jimin tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
"Kau terkejut? Mian.. Hehehehehe..." Jimin tertawa kecil, membuat Seulgi ikut tertawa.
"Lain kali bersuaralah jika kau mendatangiku." sahut Seulgi.
"Ne!" sahut Jimin, masih sambil tersenyum.
Seulgi ikut tersenyum.
"Bagaimana kondisimu sekarang, noona?" tanya Jimin.
"Sudah enakan.. Untuk sementara, hehehe.." sahut Seulgi.
"Dahengiya.." sahut Jimin.
"Kudengar, tadi pagi sakit kepalamu juga kambuh... Sekarang sudah tidak terasa sakit lagi?" tanya Seulgi.
"Obat pereda nyeri disini benar-benar ampuh. Aku sudah baik-baik saja sekarang." sahut Jimin.
"Baguslah kalau begitu~" sahut Seulgi.
Jimin menatap Seulgi.
"Waeyo? Ada yang aneh di wajahku?" tanya Seulgi.
"Noona..." sahut Jimin. Kali ini ekspresinya sangat serius.
"Ada apa? Kau membuatku takut..." sahut Seulgi.
"Aku..." Jimin terdiam sejenak, mengumpulkan semua keberaniannya.
"Waeyo?" tanya Seulgi lagi.
Jimin menghela nafas, lalu berkata, "Aku... Mencintaimu, Seulgi noona."
Seulgi langsung terbelalak.
"Aku tak perduli usiamu tinggal berapa bulan atau berapa hari lagi... Aku tak perduli kapan ajal akan menjemput kita.. Yang aku tahu adalah.. Aku yakin, sangat yakin.. Bahwa aku mencintaimu.. Dan ingin membahagiakanmu di sisa akhir hidup kita ini..." sahut Jimin.
Seulgi terdiam sambil menatap wajah Jimin.
.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top