CHAPTER 3 : DEATH CAN COME ANYTIME

Title: LAST LOVE IN JEJU HOSPICE - VRene SeulMin FF 

Cast: All Bangtan & Red Velvet Members

Lenght: Mini Chapter Part

Rating: 15+

Author: Tae-V [Line KTH_V95, Twitter KTH_V95]

CHAPTER 3 : DEATH CAN COME ANYTIME

.

AUTHOR POV - JULI 2017

Seminggu sudah berlalu semenjak keempat remaja itu terdaftar di Jeju Hospice sebagai pasien yang bersiap menunggu ajal menjemput nyawa mereka.

Taehyung dan Jimin sudah seperti sahabat yang kenal sejak lama rasanya. Mungkin, karena mereka kini sama-sama tinggal menghitung hari, menunggu kapan nafas mereka terakhir kali akan berhembus. Jadi, di sisa-sisa akhir hayat mereka, mereka bisa saling memberikan kekuatan.

Begitu juga dengan Irene yang ditempatkan satu kamar dengan Seulgi.

Walaupun dua hari pertama mereka sama-sama diam karena sama-sama merasa canggung memulai percakapan, namun setelah seminggu bersama, mereka mulai bisa saling berkomunikasi dengan cukup baik.

Sabtu pagi itu, matahari bersinar sangat terik.

"Cih.. Mengapa kita harus masuk ke hospice ini ketika musim panas?" sahut Jimin pagi itu ketika ia sedang berjalan-jalan di taman hospice bersama Taehyung.

"Waeyo?" tanya Taehyung.

"Aku sering melihat di drama-drama, mereka berada di rumah sakit pada musim salju, jadi mereka bisa sambil bermain salju di taman rumah sakit sambil menghabiskan waktu mereka. Bukankah itu akan menyenangkan?" sahut Jimin.

"Benar juga ucapanmu.. Di udara sepanas ini, aku merasa semakin mudah kelelahan dan menjadi sangat tidak produktif.." sahut Taehyung.

"Itu maksudku! Udara panas begini membuat kepalaku semakin sakit rasanya kalau nyeriku sedang kambuh.." sahut Jimin.

Ketika Taehyung sedang berjalan-jalan sambil mengobrol dengan Jimin, tatapan Taehyung tiba-tiba mengarah ke sebuah sosok di lantai tiga.

Dari taman itu, Taehyung bisa melihat jelas ke arah jendela kaca besar di lantai tiga. Dan sosok itu tengah berdiri tepat di depan jendela kaca itu, tengah menatap ke arah taman dengan tatapan kosong.

Rambut panjang hitam milik wanita itu terlihat berkilauan terkena sinar matahari.

Dan wajah cantik wanita itu terlihat sangat jelas di mata Taehyung.

"Whoaaaa... Apakah itu dewi kematian? Mengapa wanita secantik itu ada disini?" gumam Taehyung.

Taehyung bisa melihat dengan jelas, pakaian yang dikenakan wanita itu adalah pakaian yang sama dengan pakaian yang dipakainya.

"Ia.. Pasien juga disini?" gumam Taehyung lagi.

Tiba-tiba saja.

TUK!

Sebuah jari telunjuk mengetuk pelan kening Taehyung.

"Ouch!" Taehyung terkejut.

"Kau sedang melihat apa sampai tidak mendengarkan pertanyaanku?" tanya Jimin sambil menatap ke arah wanita di lantai tiga itu.

"Uh? Kau bertanya padaku?" Taehyung menatap Jimin.

"Tiga kali aku bertanya, dan kau bukannya menjawab justru kau asik terpaku ke atas sana." sahut Jimin.

"Ahhhh.. Mian, hehehe.." sahut Taehyung sambil tersenyum kecil.

"Kau.. Terpukau dengan wanita berambut hitam panjang itu?" tanya Jimin.

"Aniya." Taehyung berbohong. Ia merasa malu karena ketahuan oleh Jimin ketika ia tengah asik menatap wanita cantik itu.

"Ia sepertiku kalau aku tidak salah dengar." sahut Jimin.

Taehyung menatap Jimin.

"Tumor otak stadium akhir juga." sahut Jimin.

"Bagaimana kau bisa tahu? Kau mengenalnya?" tanya Taehyung.

"Aku dan wanita itu datang kesini di waktu yang bersamaan. Dan ketika aku tengah menunggu Jungkook mengurus registrasiku, aku mendengar kedua saudaranya mengatakan mengapa ia harus terkena tumor otak. Kurang lebihnya seperti itu. Aku tidak tahu secara pastinya." sahut Jimin.

"Ahhhhh..." sahut Taehyung sambil membuka lebar mulutnya.

"Ia sangat cantik, ya kan?" sahut Jimin sambil tersenyum.

"Majja..." sahut Taehyung refleks.

"Benar kan dugaanku? Kau terpukau menatapnya! Hahaha..." sahut Jimin sambil mengacak pelan rambut Taehyung.

"Yaishhhhh! Kau menyebalkan, Park Jimin!" sahut Taehyung sambil menendang pelan betis Jimin.

Mereka pun berlarian kecil di tengah taman itu, saling berusaha memukul dan menghindar.

.

.

.

Irene menatap ke bawah dan melihat Jimin serta Taehyung yang tengah berlarian di tengah taman itu.

"Aigoo... Enaknya jadi namja.. Mereka bahkan bisa tertawa sebahagia itu padahal mereka tahu usia mereka tidak akan bertahan lama.." sahut Irene, entah kepada siapa ia berbicara.

"Kau juga bisa berlarian seperti mereka jika kau mau.." sahut sebuah suara di belakang Irene.

Irene terkejut dan menoleh ke belakang.

"Mengapa kau tidak turun kesana untuk jalan-jalan?" tanya Namjoon, yang ternyata sejak beberapa waktu sudah berdiri di belakang Irene tanpa Irene sadari.

"Ah... Ssaem.. Annyeong.." Irene membungkukan sedikit tubuhnya, menyapa Namjoon.

Namjoon tersenyum sambil menatap Irene. "Sudah kubilang, jangan terlalu canggung. Semua dokter dan perawat disini adalah keluargamu."

Irene tersenyum kecil. "Araseo, ssaem.."

"Lihat! Kau terlihat sangat cantik jika tersenyum seperti itu!" sahut Namjoon. "Jangan memasang wajah sedih seperti tadi lagi, araseo?"

"Ooooooo~ Namjoon-ssaem sudah menggoda pasien cantik sepagi ini?" goda Hoseok yang sedang berjalan menghampiri Namjoon dan Irene.

"Aigoo, otakmu perlu diperbaiki, Hoseok ah!"" sahut Namjoon sambil memukul pelan kepala Hoseok.

Hoseok memasang ekspresi pura-pura kesakitan.

Irene refleks tertawa melihat kelakuan kedua dokter muda itu. "Hahahaha~"

"Ohhhhh~ Kau tertawa, Irene hwanja!" sahut Hoseok sambil tersenyum.

Irene langsung terdiam seketika. Ia bahkan terkejut mengapa ia bisa tertawa selepas itu barusan.

Hoseok menepuk pelan bahu Irene. "Kau harus lebih banyak tertawa. Dengan begitu, kau akan lebih merasa rileks menjalani hari-harimu disini.."

"Majjayo... Tapi, apa aku bisa banyak tertawa sementara aku tahu nyawaku tidak akan lama lagi?" gumam batin Irene.

"Cepat ke ruang meeting. Kalian ingin ditegur Jin hyeong?" sahut Yoongi yang tengah berjalan menuju ruang meeting para dokter di lantai tiga dan melewati tempat dimana Irene, Hoseok, dan Namjoon tengah berkumpul.

"Ah, majjayo! Meeting sabtu pagi!" sahut Namjoon sambil memukul pelan keningnya.

"Kajja!" sahut Hoseok sambil menarik Namjoon dan berjalan mengikuti Yoongi. "Sampai nanti, Irene hwanja.."

Setelah ketiga dokter itu menghilang dari pandangan Irene, Irene menggumam. "Karena inikah makanya mereka yang sudah tidak bisa disembuhkan dari penyakitnya memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup mereka di hospice? Para dokter dan perawat disini ternyata memang bisa membuat para pasien merasa nyaman..."

Tanpa sadar, sebuah senyuman kecil terbentuk di wajah Irene.

.

.

.

"Arggggghhhhhhhh!" Seulgi tiba-tiba berjongkok sambil mengerang ketika Irene berjalan masuk ke dalam kamarnya.

"Seulgi ya! Seulgi ya! Kau kenapa?" Irene segera menghampiri Seulgi.

"Dadaku, eonnie.. Dadaku terasa sangat nyeri..." pekik Seulgi sambil terus berjongkok dan memegangi dadanya.

Irene segera berlari ke meja perawat yang berada tak jauh di depan kamar mereka.

"Seulgi! Seulgi! Nyeri di dadanya kambuh lagi, ganhosa!" sahut Irene.

Wendy dan satu perawat lainnya bernama Chae Soobin segera berlari menuju kamar Seulgi dan Irene. Kamar 331.

"Seulgi hwanja, bertahanlah!" sahut Wendy.

Soobin segera menyiapkan obat anti nyeri itu dan menyuntikkannya ke tubuh Seulgi.

Tak lama kemudian rasa nyeri itu memudar.

Seulgi mulai bisa bernafas dengan normal lagi.

"Bagaimana kondisimu, Seulgi hwanja?" tanya Wendy.

Seulgi menganggukan kepalanya. "Sudah jauh membaik. Gumawo, Wendy ganhosa."

Seulgi menoleh ke arah Soobin. "Gumawo juga, Soobin ganhosa.."

Soobin dan Wendy tersenyum.

"Ini sudah menjadi tugas kami." sahut Wendy.

Wendy dan Soobin pun membantu Seulgi berdiri, lalu membopong pelan tubuh Seulgi menuju kasurnya.

"Berbaringlah sejenak sampai rasa nyerinya benar-benar hilang.." sahut Wendy.

"Araseo.." sahut Seulgi.

Kini tatapan Wendy terarah kepada Irene. "Kondisimu bagaimana, Irene hwanja?"

"Sejauh ini baik-baik saja." sahut Irene sambil tersenyum kecil.

"Dahengiya. Jangan lupa minum obat pereda nyerimu secara teratur setiap habis makan ya.." sahut Soobin, diiringi anggukan kepala Irene.

.

.

.

"Kasihan Seulgi. Usianya sama seperti kita, tapi ia harus mengalami penyakit separah itu.." sahut Soobin ketika ia tengah makan siang dengan Wendy di kantin.

"Majjayo.." sahut Wendy dengan ekspresi sedih di wajahnya.

"Waeyo? Wajah kalian terlihat murung." sahut Hoseok ketika ia dan Namjoon menarik kursi di meja yang tengah diduduki Wendy dan Soobin.

"Seulgi hwanja.. Yang seumuran dengan kita itu, ssaem.. Tadi nyeri di dadanya kambuh lagi dan wajahnya terlihat sangat kesakitan..." sahut Wendy.

"Huftttt~ Itu berarti, kita harus belajar mensyukuri semua yang kita miliki. Kita masih diberikan kesehatan sebaik ini. Inilah sesuatu yang harus sangat kita syukuri, ya kan?" sahut Namjoon.

"Terkadang manusia lupa bahwa kesehatan lah yang terpenting. Mereka yang workaholic selalu saja bekerja mati-matian demi mengumpulkan harta, lalu tanpa mereka sadari justru kesehatan mereka tengah terancam karena terlalu banyak bekerja.." sahut Soobin.

"Dan pada akhirnya, uang yang mereka kumpulkan mati-matian itu harus habis untuk membiayai biaya rumah sakit mereka.." sahut Hoseok.

"Oooooo~ Sejak kapan 1994 line bisa sebijaksana ini? Pembicaraan kalian jadi semakin berbobot.." sahut Jin yang sudah sejak tadi duduk di meja dibelakang meja perkumpulan 1994 itu.

"Mereka semakin terlihat seperti manusia, hyeong." sahut Yoongi yang duduk satu meja dengan Jin.

"Kau pikir selama ini kami apa, hyeong?" sahut Namjoon.

"Neo? Ingan Sseulegi." sahut Yoongi dengan santainya.

"Yaishhh, hyeong! Kau cari ribut rupanya? Aigoo..." sahut Namjoon sambil menimpuk tissue ke wajah Yoongi.

Membuat tawa meledak diantara mereka semua.

Memang, saking dekatnya para dokter dan perawat di Jeju Hospice, mereka bahkan bisa menjadikan kata-kata kasar sebagai bahan bercandaan.

Tentu saja mereka harus banyak bercanda! Karena jika tidak, mereka rawan terserang resiko stres dan depresi!

Bagaimana tidak? Mereka bekerja di hospice bukan hospital!

Di hospital, ada banyak pasien yang bisa sembuh dan kembali ke rumah mereka, sementara di hospice? Semua pasien yang berada disana pasti akan dipertemukan dengan maut, hanya tergantung cepat atau lambatnya.

Seperti siang itu.

Ketika mereka tengah asik tertawa, seorang perawat lainnya yang bernama Kwon Minah berlari menghampiri keramaian itu.

"Ssaem! Lee Honggi hwanja... Baru saja menghembuskan nafas terakhirnya..." sahut Minah dengan bola mata yang dibasahi air mata.

"Mwoya?" Mereka spontan bangun dari kursi masing-masing.

Bahkan sebelum sempat mereka menghabiskan makan siang mereka, sebelum sempat mereka menghentikan tawa mereka dengan sendirinya, kematian kembali terjadi di Jeju Hospice.

"Mari kita siapkan acara pemakaman beliau." sahut Jin sambil berjalan memimpin di paling depan.

.

.

.

Jungkook baru saja tiba di Jeju Hospice dan ia melihat ada keramaian di dalam hospice itu.

"Uh? Ada apa? Mengapa para perawat dan dokter berlarian seperti itu? Apa terjadi sesuatu di dalam sana?" gumam Jungkook.

Jungkook segera berjalan masuk ke dalam gedung itu dengan penuh tanda tanya.

"Ada keramaian apa itu?" tanya Jungkook kepada Wendy ketika ia berpapasan dengan Wendy di lorong lantai satu.

"Ada pasien yang terlepas selamanya dari rasa sakit yang dideritanya." sahut Wendy.

Tangan Wendy tengah menggenggam satu setel pakaian yang bagus.

Jungkook bisa melilhat, kedua bola mata Wendy merah karena habis menangis.

"Maksudmu... Meninggal?" tanya Jungkook.

Wendy menganggukan kepalanya.

"Ahhhh... Jinjja?" sahut Jungkook dengan ekspresi terkejut.

"Maaf, tapi aku harus segera pergi. Aku harus menyerahkan pakaian ini untuk dikenakan oleh jasad pasien itu dan membantu persiapan acara pemakaman." sahut Wendy.

"Ah! Ne.." sahut Jungkook.

Wendy pun segera berlari kecil menuju ke aula hospice, tempat dimana acara pemakaman akan diadakan sebelum mayatnya dikuburkan.

Tiba-tiba saja lutut Jungkook terasa lemas.

Jungkook tidak melanjutkan langkahnya. Ia tiba-tiba berjongkok di tempatnya berdiri itu. Kedua lututnya terasa lemas.

Jungkook nyaris lupa akan satu hal.

Bahwa cepat atau lambat, kematian juga akan menjemput Park Jimin, hyeong satu-satunya itu.

.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top