CHAPTER 2 : FIRST DAY IN JEJU HOSPICE
Title: LAST LOVE IN HOSPICE - VRene SeulMin FF
Cast: All Bangtan & Red Velvet Members
Lenght: Mini Chapter Part
Rating: 15+
Author: Tae-V [Line KTH_V95, Twitter KTH_V95]
CHAPTER 2 : FIRST DAY IN JEJU HOSPICE
.
AUTHOR POV - JULI 2017
Hari itu adalah hari pertama, dimana keempat remaja itu pertama kali menginjakkan kaki mereka di Jeju Hospice.
Jimin, diantarkan oleh adiknya yang bernama Jungkook.
Irene, yang diantarkan oleh ibu, ayah, dan kedua adiknya, Joyi dan Yeri.
Mereka berdua yang awalnya datang dan meregistrasikan diri mereka di Jeju Hospice.
Jimin dan Irene sama-sama terduduk di kursi tunggu dekat meja pendaftaran, sementara Jungkook dan orang tua Irene tengah duduk di meja pendaftaran.
Joyi dan Yeri duduk di sebelah kanan dan kiri Irene, menggenggam kedua tangan eonnie kesayangan mereka itu.
Air mata sudah sejak tadi membasahi wajah ketiga wanita cantik itu.
"Eonnie, gwenchana... Aku dan Joyi eonnie akan sering berkunjung kesini..." sahut Yeri sambil berusaha menghentikan isak tangisnya agar bisa menyemangati eonnienya itu.
Irene menganggukan pelan kepalanya. "Araseo.. Eonnie akan selalu menyambut kedatangan kalian.."
"Eonnie... Kenapa harus eonnie? Kenapa bukan aku saja yang mengidap tumor otak ini?" sahut Joyi sambil terus terisak dalam tangisnya.
Jimin terkejut mendengar ucapan Joyi yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk.
"Tumor otak? Sepertiku?" gumam Jimin.
Jimin menoleh ke arah ketiga wanita itu.
"Eonnie lebih senang eonnie yang sakit daripada eonnie harus melihatmu sakit, Joyi ya..." sahut Irene sambil mengusap pelan rambut Joyi, air mata masih membasahi wajah cantiknya itu.
"Ah... Wanita berambut hitam itu kah yang terkena tumor otak sepertiku? Sampai harus tinggal disini juga?" Jimin terdiam sambil terus menatap Irene.
"Sayang sekali.. Wanita secantik itu harus mengakhiri usianya secepat ini..." gumam Jimin lagi.
Ketiga wanita itu terus menangis di tempat duduk, sementara Jungkook yang sudah selesai mendaftarkan hyeongnya itu segera menghampiri Jimin yang tengah menatap ketiga wanita itu.
"Pendaftaranmu sudah selesai, hyeong.. Kita tinggal menunggu perawat datang menjemputmu dan membawa kita ke kamarmu.." sahut Jungkook.
Seperti ketiga wanita itu, wajah Jungkook juga sudah dibasahi air mata sejak kakinya menginjak lantai gedung Jeju Hospice tadi.
Jimin menoleh ke arah Jungkook yang kini duduk di sebelah kanannya. "Uljima, imma... Bukankah kau sudah berjanji? Kau tidak akan menangis selama menemaniku disini."
Jungkook segera menghapus air matanya. "Araseo, hyeong.."
"Kalau kau terus menangis, kau tidak akan kuijinkan menjengukku selama aku berada disini, araseo?" sahut Jimin, berusaha tetap terlihat tegar di hadapan dongsaeng kesayangannya itu.
Sementara tangis Irene, Joyi, dan Yeri semakin terdengar dengan keras.
Jungkook menoleh ke arah tiga wanita itu.
"Mereka kenapa, hyeong?" tanya Jungkook pelan.
"Sepertinya yang duduk di tengah itu menderita tumor otak juga sepertiku." bisik Jimin.
"Jinjja? Bagaimana kau tahu?" bisik Jungkook.
"Tadi aku mendengar salah satu dari mereka berkata tentang hal itu..." bisik Jimin.
Dan ketika Jungkook dan Jimin tengah menatap ke arah ketiga wanita itu, Yeri tidak sengaja menatap ke arah mereka berdua.
Tatapan mata mereka beradu.
"Ehem.." Jimin refleks berdeham sambil menolehkan pandangannya ke arah lain, begitu juga dengan Jungkook.
Yeri memiringkan kepalanya, lalu berbisik kepada kedua eonnienya, "Kurasa tangisan kita terlalu keras, orang-orang jadi menatap ke arah kita..."
Yeri berusaha menghentikan tangisnya.
"Sudah kubilang, jangan menangis lagi, araseo?" sahut Irene sambil menghentikan tangisnya juga.
Begitu juga dengan Joyi.
.
.
.
Siang itu, Seulgi datang ke Jeju Hospice diantarkan oleh paman dan bibinya.
"Mian, Seulgi ya.. Kamu terpaksa membuatmu harus menghabiskan sisa hidupmu disini. Kau kan tahu, kami berdua sama-sama bekerja.. Tidak akan ada yang bisa mengurusimu..." sahut bibi Seulgi.
"Ne..." sahut Seulgi singkat.
Seulgi duduk sendirian di kursi tunggu itu sambil menatap punggung paman dan bibinya yang sedang meregistrasikan dirinya.
Berkali-kali Seulgi menghela nafas. Putus asa dan kesedihan sudah sejak minggu lalu membuat dadanya sesak, sejak ia divonis tidak akan bisa lagi disembuhkan dan hanya tinggal menunggu waktu ajal menjemputnya.
Setelah selesai meregistrasikan Seulgi, paman dan bibinya langsung berpamitan dan meninggalkan Seulgi sendirian disana.
Tak lama kemudian, perawat yang paling cantik di Jeju Hospice yang bernama Wendy pun menjemput Seulgi.
"Kang Seulgi hwanja?" tanya Wendy saat menghampiri Seulgi.
"Ne.." jawab Seulgi.
Wendy membaca data pasien di tangannya, dan kedua bola matanya terbelalak.
"Kang Seulgi hwanja, kau kelahiran 1994?" tanya Wendy.
Seulgi menganggukan kepalanya.
"Kita... Seumuran..." sahut Wendy perlahan.
Seulgi menatap Wendy. "Jinjja?"
Wendy menganggukan kepalanya. "Kau... Mengapa bisa terkena leukimia stadium akhir di usia semuda ini?"
Tatapan Wendy begitu sedih menatap Seulgi.
"Molla... Aku juga tidak pernah meminta diberikan umur sependek ini.." sahut Seulgi.
Dan jujur saja, sedikit banyak Seulgi tersentuh melihat tatapan Wendy yang begitu sedih menatapnya. Karena sisa keluarganya yang masih hidup saja tidak ada satupun yang mencemaskan kondisi Seulgi.
Setelah orang tua dan nenek Seulgi meninggal, tidak ada satupun anggota keluarganya yang berniat mengurusinya.
Bahkan, ketika ia memberitahu paman dan bibinya akan penyakitnya, mereka langsung saja membawa Seulgi ke Jeju Hospice dan meninggalkannya begitu saja disana.
Tiba-tiba saja Wendy kembali teringat akan posisinya sebagai perawat disana.
"Ah! Aku tak boleh terlihat lemah di depan pasien!" gumam batinnya.
Wendy kemudian tersenyum, lalu menepuk pelan bahu Seulgi. "Tenang saja, aku akan menjadi sahabatmu selama kau berada disini, otte?"
Seulgi kembali terkejut melihat perubahan ekspresi di wajah Wendy.
"Atau.. Kau tidak suka dengan sifatku yang terlalu akrab ini?" tanya Wendy sambil melepaskan tepukannya.
"Ah! Aniya! Joha." sahut Seulgi refleks.
"Ne?" Wendy menatap Seulgi.
"Kau bisa menjadi sahabatku selama aku ada disini. Siapa namamu?" tanya Seulgi.
"Son Wendy. Panggil saja Wendy~" sahut Wendy sambil tersenyum.
Sementara Namjoon dan Jin yang sedang lewat di dekat mereka saling berbisik.
"Wendy ganhosa mulai beraksi.." bisik Jin sambil tersenyum.
"Majjayo.. Yeokshi... Perawat terbaik di Jeju Hospice!" bisik Namjoon.
.
.
.
Sore harinya, seorang pemuda tampan berjalan seorang diri, memasuki gedung Jeju Hospice.
Pemuda itu menoleh ke kanan dan ke kiri di tengah lobi, mencari tahu dimanakah letak bagian registrasi.
Min Yoongi, dokter yang terkenal paling tegas di Jeju Hospice itu, melihat pemuda tersebut, lalu berjalan menghampirinya.
"Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Yoongi.
Pemuda itu menatap Yoongi. "Kau dokter disini?"
Yoongi menganggukan kepalanya. "Majjayo. Ada apa? Kau terlihat sedang mencari sesuatu."
Yoongi menatap pemuda itu. Pemuda itu terlihat kurus, pipinya agak tirus, dan wajahnya terlihat pucat.
"Dimana bagian registrasi?" tanya pemuda itu.
"Uh? Kau mau meregistrasikan siapa?" Yoongi menoleh ke kanan dan kiri, namun tak ada siapapun sore itu di lobi selain dirinya dan pemuda itu.
"Diriku." sahut pemuda itu dengan ekspresi datar di wajahnya.
"Ne?" Yoongi terbelalak. "Kau... Mau meregistrasikan dirimu disini? Sebagai pasien?"
Pemuda itu menganggukan kepalanya. "Majjayo."
Yoongi memiringkan kepalanya. "Kau... Sendirian kesini?"
Pemuda itu lagi-lagi menganggukan kepalanya.
"Keluargamu?" tanya Yoongi.
"Eomma dan appa bisa mati mendadak jika tahu umur anaknya ini tidak akan lama lagi." sahut pemuda itu dengan santainya.
"Kau.. Yakin akan mendaftar kesini tanpa diketahui keluargamu?" Yoongi terbelalak mendengar ucapan pemuda itu.
"Tidak ada kewajban untuk mendapat ijin keluarga, kan?" jawab pemuda itu dengan santainya.
"Selama kau mendaftar dan membayar biaya pendaftaran sebagaimana mestinya, seharusnya memang tidak masalah. Tapi.. Apa kau yakin? Kau akan sendirian disini!" sahut Yoongi.
"Bukankah ada kalian? Para dokter, perawat, dan pasien lainnya. Siapa bilang aku akan sendirian disini?" sahut pemuda itu.
"Yaaaaa! Terserah kau saja lah. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Bagian registrasi ada di sudut kanan sana." sahut Yoongi sambil menggelengkan kepalanya.
Tekanan darah Yoongi terasa naik seketika ketika menghadapi pemuda yang terlihat sangat santai itu.
"Araseo. Gumawo, ssaem." sahut pemuda itu, lalu ia berjalan menuju meja registrasi.
.
.
.
"Kim Taehyung hwanja?" tanya Wendy ketika ia menghampiri pemuda yang tengah duduk sendirian di kursi itu.
Taehyung menganggukan kepalanya.
"Ayo ikut aku, akan ku antarkan ke kamarmu, Taehyung hwanja." sahut Wendy sambil tersenyum.
Taehyung berjalan mengikuti Wendy menuju kamar yang mulai sekarang akan menjadi kamarnya sambil menunggu ajal menjemputnya.
Setelah Taehyung dan Wendy tidak terlihat lagi di ruangan itu, Yoongi segera mendatangi bagian registrasi untuk mencari tahu tentang Taehyung.
"Kim Taehyung, kelahiran 1995." gumam Yoongi sambil membaca data Taehyung. "Kanker rektum stadium akhir?"
Yoongi menatap ke lorong yang dilewati Taehyung dengan Wendy tadi.
"Ia menderita kanker rektum stadium akhir dan tidak memberitahu keluarganya?" gumam Yoongi.
"Waeyo, hyeong?" tanya Hoseok sambil menepuk bahu Yoongi.
"Kkamjakiya, imma!" Yoongi refleks memukul kepala Hoseok dengan kertas berisi data Taehyung yang tengah dipegangnya itu.
"Sakit, hyeoooooong..." gerutu Hoseok sambil mengusap kepalanya.
"Siapa suruh kau mengagetkanku?" gerutu Yoongi.
Yoongi segera mengembalikan data itu ke bagian registrasi, lalu berjalan bersama Hoseok menuju ruang istirahat dokter.
Yoongi menceritakan pertemuannya dengan Taehyung di lobi tadi.
"Jinjja? Ia kesini sendirian dan tidak memberitahu keluarganya?" tanya Hoseok.
Yoongi menganggukan kepalanya. "Gila, ya kan?"
"Majjayo. Bagaimana mungkin di usianya yang tidak lama lagi itu ia menyembunyikan penyakitnya dari orang tuanya?" sahut Hoseok.
"Dunia semakin aneh, Hoseok ah..." sahut Yoongi sambil berjalan masuk ke ruang istirahat.
"Kau juga semakin aneh, hyeong..." gumam Hoseok.
.
.
.
"Ini teman sekamarmu, Taehyung hwanja." sahut Wendy ketika ia dan Taehyung masuk ke dalam kamar yang sudah terisi seorang pasien di dalam sana.
Jimin dan Jungkook, yang sudah sejak tadi pagi ada di dalam kamar itu, menatap ke arah Taehyung dan Wendy.
"Ia akan sekamar denganku?" tanya Jimin sambil menatap Wendy.
"Majjayo, Jimin hwanja." sahut Wendy sambil tersenyum.
"Akhirnya aku ada teman! Aku takut kalau harus sendirian tidur di kamar ini!" sahut Jimin sambil tersenyum.
Taehyung menatap Jimin dan Jungkook sambil mencoba tersenyum.
"Semoga kita bisa bersahabat dengan baik!" sahut Jimin sambil tersenyum menatap Taehyung.
Taehyung pun tersenyum. "Ne..."
"Silakan kalian berkenalan lebih lanjut, kalau ada apa-apa silakan tekan tombol bantuan di meja kalian, kami akan segera mendatangi kamar ini." sahut Wendy.
"Araseo, Wendy ganhosa." sahut Jimin sambil tersenyum.
"Baguslah kalau kau ada teman sekamarnya, hyeong. Aku jadi tenang meninggalkanmu disini." sahut Jungkook sambil menatap Jimin.
"Fokuslah pada studimu, imma. Aku akan baik-baik saja disini." sahut Jimin sambil mengacak-acak rambut Jungkook.
"Kenalkan, namaku Park Jimin. Tumor otak stadium akhir. Usiaku diperkirakan tinggal enam bulan lagi. Kalau kau?" tanya Jimin sambil menatap Taehyung, sementara Jungkook tengah sibuk merapikan rambutnya.
"Aku Kim Taehyung. Kanker rektum stadium akhir. Perkiraan usiaku hanya tinggal delapan bulan lagi." sahut Taehyung.
"Perkenalan kalian... Terdengar sangat mengerikan..." sahut Jungkook. "Biasanya, perkenalan akan dimulai dengan nama, usia, hobi, dan sebagainya. Sementara kalian saling memperkenalkan diri dengan jenis penyakit dan sisa usia kalian."
Taehyung tertawa kecil. "Hahaha~ Benar katamu. Ini adalah perkenalan paling aneh yang pernah kudengar!"
Jimin juga ikut tertawa kecil. "Majjayo.. Hehehe~"
"Kudengar dari Wendy ganhosa, kita seumuran. Kau kelahiran 1995 juga?" tanya Taehyung.
Jimin menganggukan kepalanya. "Kau juga?"
"Ne.." sahut Taehyung sambil menganggukan kepalanya.
"Kalau begitu, kita bisa berbincang-bincang selayaknya sahabat?" tanya Jimin.
"Oke, call!" sahut Taehyung.
"Dahengiya, hyeong.. Chukkae, kau mendapat sahabat baru~" sahut Jungkook.
Taehyung mulai merapikan pakaiannya di lemari yang ada disamping kasurnya, lalu menata beberapa barang miliknya di laci meja.
"Ngomong-ngomong, kau sendirian? Mana keluarga yang mengantarmu?" tanya Jimin sambil melihat ke arah Taehyung.
"Eobseo." sahut Taehyung sambil terus merapikan barang-barangnya.
"Mwoya? Kau sendirian kesini?" tanya Jimin.
Taehyung menganggukan kepalanya. "Mmm.."
"Bagaimana bisa?" tanya Jungkook. "Apa mereka tak mau mengantarmu?"
"Mereka tidak tahu." sahut Taehyung dengan nada datar dan terdengar santai.
"Mwoya?" Jimin dan Jungkook terbelalak.
Taehyung menatap ke arah mereka berdua. "Keluargaku tidak ada yang tahu penyakitku. Jadi, tidak akan ada yang datang menjengukku kesini."
Taehyung meletakkan handuk di pundaknya. "Aku akan mandi dulu."
Setelah Taehyung masuk ke kamar mandi, Jimin berbisik kepada Jungkook. "Apa ia gila? Ia bahkan tidak memberitahukan keluarganya?"
"Ia... Pasti akan merasa sangat kesepian di sisa akhir hidupnya..." gumam Jungkook sambil menatap lirih ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu.
.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top