CHAPTER 12 : LAST STORY

Title: LAST LOVE IN JEJU HOSPICE - VRene SeulMin FF 

Cast: All Bangtan & Red Velvet Members

Lenght: Mini Chapter Part

Rating: 15+

Author: Tae-V [Twitter KTH_V95]

CHAPTER 12 : LAST STORY

.

AUTHOR POV - DESEMBER 2017

Sebelum sempat Jimin memarahi Jungkook karena bolos seminggu, tiba-tiba saja Hoseok berlari masuk ke dalam kamar itu.

Ekspresi sedih tergambar jelas di wajahnya.

"Jimin hwanja..." sahut Hoseok.

"Ada apa, ssaem?" Perasaan Jimin jadi tidak enak seketika itu juga.

"Seulgi hwanja... Baru saja menghembuskan nafas terakhirnya lima menit yang lalu..." sahut Hoseok dengan nada lirih.

DEG!

Kedua bola mata kecil Jimin membulat dengan sempurna.

Detik itu juga, Jimin merasa, secara sempurna dunianya telah terenggut darinya.

Jimin lupa, masih ada Jungkook, adik kandungnya yang sangat menyayanginya.

Jimin lupa, masih ada Taehyung, sahabat terbaiknya yang selalu siap menemaninya.

Jimin lupa, masih ada para dokter dan perawat di hospice itu yang akan selalu siap menghibur dan menguatkannya.

Jimin lupa akan segalanya.

Hanya satu yang Jimin ingat. Yaitu bahwa Seulgi, dunianya, sudah terenggut oleh maut.

Jimin, tanpa bicara sepatah katapun, langsung berjalan turun dari kasurnya dan berlari menuju kamar Seulgi.

Jungkook dan Taehyung serta Hoseok ikut berlari menyusul Jimin.

"Jangan berlari, Jimin hwanja! Keseimbanganmu sudah tidak normal lagi!" teriak Hoseok.

Mungkin, karena kekuatan cinta, atau apalah itu, Jimin bisa berlari dengan sangat baik, tanpa terjatuh, hingga sampai ke depan kamar Seulgi.

Para dokter dan perawat sudah berkumpul di kamar itu.

"Ah.. Jimin hwanja..." sahut Jin lirih ketika melihat Jimin berdiri di depan pintu kamar itu.

Yoongi berjalan mendekat ke arah Jimin.

"Masuklah.." sahut Yoongi. "Peluk tubuhnya untuk terakhir kalinya sebelum kami mengadakan pemakaman.."

Jimin melangkah perlahan, air mata belum terlihat di wajahnya.

Dengan tatapan kosong ia berjalan mendekat ke tubuh Seulgi.

Semua pandangan tertuju ke arah Jimin.

"Mengapa ia tidak menangis?" bisik Soobin kepada Namjoon.

Namjoon menggelengkan kepalanya. "Molla nado.."

Setelah Jimin berdiri persis dihadapan tubuh Seulgi yang terbaring tak bernyawa itu, air mata Jimin langsung membanjiri wajahnya.

Tangisnya pecah saat itu juga.

"SEULGI NOONAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!" teriaknya dalam tangisnya.

Spontan, suasana menjadi hening.

Hanya teriakan dan tangis Jimin yang terdengar memenuhi seisi ruangan itu.

"Mengapa kau pergi tanpa mengijinkanku mengucapkan salam perpisahan terakhir? Mengapa kau pergi begitu saja tanpa memberikanku salam perpisahan? Wae, noona? WAE? WAEYO? WAE!" teriak Jimin sambil terus memeluk tubuh Seulgi yang sudah tak memiliki detak jantung itu.

Jungkook ikut menangis melihat kondisi hyeongnya yang begitu terpuruk di depan sana.

Taehyung menepuk-nepuk pelan punggung Jungkook, berusaha menenangkan Jungkook.

Namun, dalam hatinya, Taehyung juga merasa sedih melihat Jimin yang terlihat sangat terpuruk seperti itu.

Tiba-tiba, ingatan Taehyung akan hari dimana Irene meninggal kembali terlintas di benaknya.

Di kamar yang sama. Irene meninggalkan Taehyung untuk selamanya satu bulan yang lalu.

Dan hari ini, Seulgi yang meninggalkan Jimin untuk selamanya.

Taehyung tanpa sadar meneteskan air matanya.

"Inikah... Akhir kisah cinta kami? Last love in Jeju Hospice?" gumam Taehyung.

Sementara Jimin masih terus menangis dan berteriak memanggil nama Seulgi.

Dan setelah lelah menangis, kondisi Jimin menjadi sangat lemah.

Jimin langsung tak sadarkan diri dan jatuh pingsan.

.

.

.

TAEHYUNG POV - DESEMBER 2017

Sudah empat jam Jimin belum juga sadarkan diri.

Ia masih terbaring tak sadarkan diri di atas kasurnya, sementara Jungkook masih terus menangis disamping Jimin, mencemaskan kondisi hyeongnya itu.

Aigoo... Setidaknya, masih ada Jungkook yang menemani Jimin setelah kepergian Seulgi noona. Sementara aku? Setelah kepergian Irene noona, aku merasa sedikit hampa.

Walau Jimin, Jungkook, para dokter, dan perawat disini memperlakukanku dengan sangat baik, tetap saja aku merasa ada sesuatu yang kurang...

Tiba-tiba saja, sebuah pikiran terlintas di benakku.

Dan keberanian yang selama ini tidak pernah ada pun akhirnya muncul juga.

Aku langsung mengambil handphoneku, dan tanpa ragu aku segera menghubungi eomma.

Aku menceritakan semua kejadian yang menimpaku selama ini. Dari pertama kali dokter memvonisku, hingga seluruh kejadian yang kualami selama ini di Jeju Hospice.

Benar dugaanku.

Eomma berteriak di ujung sana.

Eomma menangis sambil mengoperkan handphonenya kepada appa.

Appa juga menangis sambil menanyakan dimana alamat Jeju Hospice ini.

Dan jujur saja, inilah yang kutakutkan selama ini.

Aku merasa terluka, ketika mendengar tangisan eomma dan appa...

.

.

.

AUTHOR POV - DESEMBER 2017

"Apa Jimin hwanja akan baik-baik saja?" tanya Wendy setelah acara pemakaman Seulgi berakhir.

"Aku ingin menangis ketika melihat reaksi Jimin hwanja tadi..." sahut Jin. "Aku... Seolah bisa merasakan apa yang dirasakannya..."

"Ini persis seperti ketika kelinci peliharaanku mati ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar." sahut Yoongi.

"Yaish! Mana bisa kau membandingkan manusia dengan hewan!" gerutu Namjoon.

"Serius. Sejak kecil, eomma dan appa sibuk bekerja. Hanya kelinci itu satu-satunya temanku di rumah. Dan ketika kelinci itu mati, aku merasa kehilangan segalanya. Seolah aku kehilangan duniaku..." sahut Yoongi.

"Sejak itukah.. Kau jadi pencinta hewan, hyeong?" tanya Hoseok.

"Kurasa iya..." sahut Yoongi.

"Aigoo... Masa kecilmu cukup menyedihkan rupanya, ssaem..." sahut Soobin.

"Apa Jimin hwanja akan baik-baik saja?" sahut Yoongi.

"Bukankah itu pertanyaanku tadi?" tanya Wendy. "Mengapa kau mengulangnya, ssaem?"

"Ia akan baik-baik saja, ya kan?" sahut Yoongi.

"Molla... Sepertinya kondisi Jimin hwanja juga semakin melemah..." sahut Namjoon.

"Majja... Kondisinya kesehatan Jimin hwanja banyak mengalami penurunan..." sahut Hoseok.

.

.

.

Sore itu orang tua Taehyung akhirnya tiba di Jeju Hospice dan berpapasan dengan Yoongi di lobi.

"Ssaem... Pasien Kim Taehyung ada di kamar nomor berapa?" tanya ayah Taehyung dengan wajah panik, sementara wajah ibu Taehyung sudah merah akibat menangis sepanjang perjalanan.

"Maaf, kalian siapa?" tanya Yoongi.

"Kami orang tuanya." sahut ayah Taehyung.

"Bagaimana... Kalian bisa tahu kondisinya?" tanya Yoongi, orang tua Taehyung mengetahui kondisi anaknya.

"Taehyung menelpon kami siang tadi..." sahut ibu Taehyung sambil menahan tangisnya.

"Ah, jinjja? Ia akhirnya memberitahu kalian? Jinjja dahengiya!" sahut Yoongi. "Ayo ikut aku..."

Mereka pun berjalan menuju kamar Taehyung.

Dan ibu Taehyung langsung memeluk tubuh Taehyung sambil menangis tersedu-sedu.

"Mengapa baru sekarang kau memberitahu kami, anak nakal! Mengapa?" sahut ibu Taehyung sambil terus memeluk erat tubuh Taehyung.

Sementara air mata Taehyung juga mulai membasahi wajahnya. Sedih karena melihat tangisan kedua orang tuanya, namun juga lega karena akhirnya ia berani memberitahukan kepada orang tuanya sebelum terlambat.

.

.

.

Ayah Taehyung diajak Yoongi menemui Jin di ruangan Jin agar Jin bisa menjelaskan lebih detail mengenai kondisi Taehyung.

Walaupun pria, namun mendengar kondisi anaknya yang sudah tak bisa terselamatkan lagi itu, air mata akhirnya membasahi wajah ayah Taehyung.

"Kami sangat bersyukur karena akhirnya Taehyung hwanja bersedia memberitahu kalian sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya." sahut Jin. "Jujur saja, Yoongi ssaem ini yang tak pernah lelah menceramahi Taehyung hwanja agar ia memberitahu kedua orang tuanya selagi ia masih bernafas di dunia ini.."

"Gumawo, ssaem.. Jinjja gumawo karena sudah berhasil membujuk anak saya.." sahut ayah Taehyung sambil memegang erat kedua telapak tangan Yoongi.

Yoongi jadi merasa agak canggung. Ini pertama kalinya ada orang tua pasien yang berterimakasih padanya.

"Uh? Ah... Itu tugas kami sebagai dokter disini..." sahut Yoongi dengan salah tingkah.

Jin tersenyum melihat ekspresi yang terbentuk di wajah Yoongi itu.

.

.

.

HOSEOK POV - DESEMBER 2017

Malam itu, Jungkook-sshi berlari ke arahku.

"Ssaem! Ssaem!" teriaknya sambil berlari ke arahku.

"Ada apa, Jungkook-sshi?" tanyaku.

Wajah Jungkook-sshi terlihat sangat pucat.

"Ssaem! Mengapa sejak tadi pagi, Jimin hyeong belum sadarkan diri juga? Ia sama sekali tidak terbangun! Ada apa dengannya?" tanya Jungkook-sshi dengan nada sangat panik.

"Sejak ia pingsan pagi tadi di kamar 331 itu, ia belum bangun juga hingga sekarang?" tanyaku.

"Tadi siang ia sempat bangun sejenak, memintaku mengambilkan segelas air untuknya karena ia bilang ia merasa sangat haus.. Setelah meminum air itu ia tertidur lagi dan belum bangun juga sampai sekarang, ssaem.." sahut Jungkook.

"Araseo. Kau tunggu dulu di kamar Jimin hwanja. Aku akan segera menyusul dengan membawa beberapa peralatan." sahutku.

Perasaanku mulai tidak enak.

Untuk pasien tumor otak, kehilangan kesadaran seperti ini membuktikan bahwa tekanan darahnya semakin menurun.

Aku segera menuju ke ruangan Jin hyeong untuk mengajaknya, lalu kami segera membawa beberapa peralatan ke kamar 412.

.

.

.

AUTHOR POV - DESEMBER 2017

Ibu Taehyung tengah berusaha menenangkan Jungkook yang tengah panik karena Jimin tidak sadarkan diri sejak siang tadi.

"Pihak hospice akan melakukan yang terbaik untuk hyeongmu, nak.. Bersabarlah.." sahut ibu Taehyung.

Taehyung yang tengah duduk di atas kasurnya menatap Jimin dengan sedih. "Apa ini... Sudah waktunya bagi Jimin juga?" gumamnya pelan.

Tak lama kemudian, Hoseok dan Jin berjalan masuk ke kamar itu, lalu dengan sigap memasangkan beberapa benda di tubuh Jimin yang terhubung dengan mesin pembaca tekanan darah dan detak jantung.

Benar dugaan Hoseok, tekanan darah Jimin sangat rendah, makanya kesadarannya hilang.

"Tekanan darah Jimin hwanja semakin menurun, Jungkook-sshi..." sahut Hoseok.

"Bersiaplah untuk segala kemungkinan terburuk..." sahut Jin, berusaha menguatkan Jungkook.

"Andwe! Tidak bisakah kalian memberinya obat atau sesuatu yang bisa memperpanjang umurnya? Aku belum siap, ssaem. Aku belum siap!" sahut Jungkook.

"Mian, Jungkook-sshi... Ini semua di luar kendali kami.." sahut Hoseok.

"Hyeong! Bangun, Jimin hyeong! Buka matamu jebal!" teriak Jungkook sambil menggoncang-goncangkan tubuh Jimin.

Dan tak lama kemudian, bunti itupun terdengar.

Bunyi yang menandakan bahwa detak jantung Jimin telah berhenti berdetak untuk selamanya.

"Pukul 10.13 PM. Park Jimin hwanja meninggal." sahut Jin lirih.

"ANDWEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!" Tangisan dan teriakan Jungkook langsung memenuhi ruangan itu.

Air mata Taehyung juga ikut menetes. Ia kini telah kehilangan sahabat terbaiknya juga.

"Selamat jalan, Park Jimin... Aku akan menyusulmu kelak.. Tunggu aku..." bisik Taehyung sambil menundukkan kepalanya.

Malam itu juga, pemakaman Jimin langsung diadakan.

.

.

.

TAEHYUNG POV - JANUARI 2018

Kurasa, memberitahu kedua orang tuaku akan kondisiku bukanlah hal yang buruk.

Setelah Irene noona dan Jimin meninggalkanku, setidaknya masih ada kedua orang tuaku yang menemaniku di hospice ini.

Aku merasa sangat berterimakasih kepada Yoongi ssaem. Kalau bukan karena sikap tegasnya, mungkin kelak aku akan menyesal.

Setelah Jimin pergi selamanya malam itu, aku jadi sering merenung setiap orang tuaku sedang tidak ada hospice.

Aku sering berjalan-jalan sendirian di taman hospice, dan semua kenangan itu seolah terputar di benakku.

Semua kenanganku yang sangat indah bersama cinta terakhirku.. Irene noona..

Dan semua kenangan yang menyenangkan antara aku dan Jimin.

Aku selalu menatap ke langit setiap kenangan-kenangan itu terputar di benakku.

Dan aku selalu bergumam dalam hatiku, bertanya, apakah mereka sudah bahagia di alam sana?

Dan... Pertanyaan itu akan kembali terlintas di benakku.

"Lalu, kapan waktuku akan tiba?"

Seperti saat ini.

Aku tengah duduk sendirian di kursi panjang itu. Mengingat ciuman lembut yang pernah kuberikan kepada Irene noona ketika kami berkencan sore itu di taman ini.

Kelembutan bibir Irene noona masih melekat di bibirku.

Dan juga aku kembali mengingat saat-saat dimana aku dan Jimin sering duduk untuk berbincang-bincang disini.

Suara tawa Jimin masih terdengar dengan sangat jelas di telingaku.

Air mataku pun menetes.

Aku... Merindukan mereka...

Tiba-tiba saja Jin ssaem duduk di sebelahku sambil mengusap pelan kepalaku.

"Himnae, Taehyung hwanja..." sahutnya lembut.

Aku menghapus air mataku dan menatapnya.

"Gumawo, ssaem..." sahutku.

"Pasti berat rasanya ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat berharga untukmu kan?" tanya Jin ssaem.

Aku menganggukan kepalaku. "Majjayo.."

"Itulah yang akan dirasakan kedua orang tuamu nanti.. Ketika waktumu telah tiba." sahut Jin ssaem.

DEG!

Majjayo... Inilah yang akan dirasakan eomma dan appa kelak.. Setelah aku tidak ada lagi di dunia ini..

"Karena itu, selama kau masih hidup, sering-seringlah menghabiskan banyak waktumu dengan mereka.. Setidaknya, akan lebih banyak tawamu yang diingat oleh mereka ketimbang rasa sakit yang kau derita..." sahut Jin ssaem.

"Majjayo... Aku tidak ingin mereka mengingatku yang menderita seperti ini..." sahutku. Air mataku kembali menetes. "Setidaknya, aku ingin mereka mengingatku sebagai anak mereka yang penuh tawa dan penuh semangat..."

Jin ssaem mengusap pelan kepalaku. "Aku yakin, kau mengerti apa yang terbaik untuk kedua orang tuamu kan?"

Aku menganggukan pelan kepalaku.

"Inilah yang kubenci ketika memutuskan menjadi dokter disini..." sahutnya. "Aku benci saat-saat dimana perpisahan harus terjadi..."

.

.

.

AUTHOR POV - FEBRUARI 2018

Kondisi Taehyung semakin memburuk.

Sudah seminggu belakangan ini, ia tidak bisa turun dari kasurnya karena rasa nyeri di hati dan paru-parunya.

Kanker rektum yang diderita Taehyung sudah menyebar dan menyerang hati serta paru-parunya.

Taehyung sering menemukan darah setiap ia buang air besar maupun kecil. Ia juga sering muntah-muntah, dan seringkali terdapat darah di muntahannya tersebut.

Berat badan Taehyung semakin menurun hingga wajahnya terlihat sangat kurus dan tirus. Ia bahkan jadi lebih sering pingsan.

Kedua orang tuanya semakin sering menangis setiap Taehyung tertidur, namun mereka berusaha tidak menunjukkan kesedihan mereka ketika Taehyung sadar.

Taehyung juga selalu berusaha tertawa dan tidak mau menunjukkan semua sakit yang dideritanya setiap ia sedang menghabiskan waktunya bersama kedua orang tuanya.

Bagi mereka, hanya kenangan indah yang harus terjalin di sisa akhir hidup Taehyung.

.

.

.

"Eomma... Kalau aku sudah tidak ada nanti.. Eomma jangan terlalu banyak bersedih ya! Aku akan selalu ada bersama eomma kok... Disini..." sahut Taehyung sambil menunjuk dada ibunya. "Di hati eomma dan appa.."

Malam itu udara sangat dingin.

Salju masih turun pada malam pertengahan bulan Februari itu.

Taehyung mengenakan kaos yang sangat tebal di luar pakaian pasiennya, lalu dilapis lagi dengan jaket yang tebal.

Karena tubuhnya semakin kurus, ia jadi lebih merasa kedingingan ketimbang oprnag yang memiliki kondisi kesehatan normal.

"Araseo, imma. Kau tahu kan? Eomma ini wanita kuat! Appa juga pria yang kuat. Kami berjanji tidak akan sering menangisimu agar kau tidak terbeban.. Tapi, kalau sesekali kami merindukanmu, kami boleh menangis sesekali kan?" sahut ibu Taehyung.

"Ne! Tentu saja." sahut Taehyung sambil tersenyum.

Ibu Taehyung terus berusaha agar air matanya tidak menetes di hadapan Taehyung.

"Eomma.. Bisa kau buka laci lemari paling bawah itu?" tanya Taehyung.

Ibu Taehyung membuka laci yang ditunjuk Taehyung.

"Ambil kotak berwarna biru muda itu, eomma.." sahut Taehyung.

Ibu Taehyung mengambil kotak itu.

"Apa isinya?" tanya ibu Taehyung.

"Silakan eomma buka." sahut Taehyung sambil tersenyum.

Ibu Taehyung membuka kotak itu dan menemukan banyak sekali foto di dalamnya.

"Itu semua... Foto yang kuambil selama aku berada disini. Aku ingin, eomma menyimpan itu semua... Agar eomma bisa merasakan keberadaanku setiap eomma rindu padaku.." sahut Taehyung.

Ibu Taehyung melihat foto-foto itu satu per satu.

Sesosok wanita berambut panjang hitam tengah tersenyum sangat cantik di foto itu.

"Itu Irene noona.. Yang kuceritakan padamu, eomma..." sahut Taehyung.

"Yeppuda..." sahut ibu Taehyung. "Jinjja yeppuda..."

"Ia kekasih anakmu yang tampan ini, hehehe.." sahut Taehyung.

Ibu Taehyung menemukan sebuah foto dimana Taehyung dan Irene tengah tersenyum sambil berangkulan di foto itu. Waktu itu, Taehyung meminta Wendy memfoto mereka.

"Kalian... Terlihat sangat serasi..." sahut ibu Taehyung.

Kali ini air mata tak lagi bisa dibendungnya.

Air mata itu langsung menetes begitu saja dari kedua bola mata ibu Taehyung.

"Uljima, eomma..." sahut Taehyung sambil menggenggam erat tangan ibunya. "Saranghae, eomma..."

Tak lama kemudian, ayah Taehyung masuk ke dalam kamar itu sambil membawa sebungkus bakpau hangat.

"Mengapa ibumu menangis?" tanya ayah Taehyung.

"Ia terlalu bahagia melihat anak tampannya ini memiliki kekasih secantik bidadari, appa..." sahut Taehyung sambil tersenyum.

"Mana? Appa juga ingin lihat!" sahut ayah Taehyung, berusaha terdengar ceria.

Mereka bertiga pun menghabiskan waktu semalaman sambil menceritakan banyak hal sambil memakan bakpau hangat itu.

Tanpa mereka tahu, bakpau hangat itu adalah makanan yang menjadi makanan terakhir Taehyung.

.

.

.

Keesokan harinya, hingga pukul 11.17 AM, Taehyung belum juga terbangun.

Ibu Taehyung segera meminta bantuan Yoongi yang sedang berada di meja perawat.

Yoongi segera memanggil Jin yang sedang lewat tak jauh dari sana dan mereka segera berlari masuk ke kamar Taehyung dan memeriksa kondisi Taehyung.

Detak jantung Taehyung semakin melemah.

Yoongi dan Jin segera memasangkan alat pengecek tekanan darah dan detak jantung itu untuk memantau kondisi Taehyung.

Tekanan darah Taehyung terus saja menurun dengan cepat.

Dan tak lama kemudian, suara itupun akhirnya terdengar juga.

Suara yang menandakan jantung Taehyung sudah tak berdetak lagi.

Suara yang menandakan, bahwa ajal sudah menjemput Taehyung.

Jin dan Yoongi langsung menundukkan kepala mereka, sementara tangis ayah dan ibu Taehyung terdengar memenuhi seisi ruangan.

.

.

.

Pemakaman Taehyung telah selesai diadakan.

Para dokter dan perawat itu masih berkumpul di ruangan duka.

"Kedua pasangan yang memperjuangkan cinta terakhir mereka di Jeju Hospice kini sudah tidak akan terlihat lagi disini..." sahut Wendy sambil meneteskan air matanya.

"Aku sangat salut melihat perjuangan mereka akan cinta mereka di sisa hidup mereka... Jinjja..." sahut Soobin sambil meneteskan air matanya juga.

"Aku benar-benar merasa sangat kehilangan..." sahut Hoseok dengan lirih.

"Nado, Hoseok ah..." sahut Namjoon dengan nada tak kalah lirihnya.

"Setidaknya, mereka bisa menemukan cinta terakhir mereka yang begitu berharga sebelum menghembuskan nafas terakhir mereka.." sahut Jin sambil menghapus sisa air mata di wajahnya.

"Last love in Jeju Hospice..." sahut Yoongi. "Ini terdengar sangat indah.. Namun juga menyedihkan..."

Suasana ruangan itu pun menjadi hening seketika.

"Bagi mereka, perjuangannya telah berakhir.. Namun kita disini masih harus terus berjuang demi melanjutkan hidup kita..." sahut Jin dengan bijaksana. "Ayo semua, semangat!"

.

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top