6
Lima menit sebelumnya.
"Aduh! Apa Pak Ketua baik-baik saja, ya? Dia menyuruhku menunggu di sini, tapi aku tak bisa tenang! Satu, dua..."
"King!" Seseorang memanggil.
Pemilik nama berhenti bolak-balik layaknya setrika, menoleh ke si pemanggil. "Violet?! Astaga! Kami kalang kabut mencarimu! Dari mana saja kamu? Pak Ketua sangat khawatir padamu!"
Violet cengengesan. "Kenapa kalian begitu khawatir? Aku kan tidak melakukan apa pun. Di mana si tukang muram itu? Kalian berpisah?"
"Katanya mau bertemu dengan pamannya..." King menatap Violet curiga. Kenapa gadis itu bisa ada di hotel SO? Ada yang aneh di sini. "Crown."
"Hmm? Kenapa?"
"Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan?" King memicingkan mata. Gelagat Violet sangat mencurigakan.
"Astaga, Ki. Teganya kamu mencurigai pacarmu sendiri. Ki jahat!"
"Tidak, bukan begitu. Aku khawatir padamu karena mendadak pergi. Kupikir terjadi sesuatu padamu. Pokoknya jangan lakukan hal berbahaya lagi! Pak Ketua sudah sangat kesal tadi."
Violet tersenyum. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
Sudah King duga, ada yang aneh. Reaksi Violet seperti dipaksakan. Jangan bilang kalau dia bertemu dengan wanita itu?!
"Crown, sebentar--"
Wush! Prangg!!! Sebuah tubuh wanita terhempas dari gedung hotel ke kaligrafi fisik berhuruf 'SO'. Bunyi patahan tulang terdengar keras. Darah mencoret ke tanah, memercik ke wajah King. Seragam sekolahnya disiram darah.
Tangan King gemetar mengusap cairan lengket di pipinya. Matanya terbelalak melihat percikan darah di bajunya. Adrenalin terpacu, memberanikan diri melihat wajah korban yang jatuh di depannya. Setetes air mata lolos.
Korbannya adalah wanita itu. Sosok yang melecehkan King di dulu hari.
Bruk! Kedua kaki King lemas, tak kuat terus berdiri. Dia memandang tak percaya. Kenapa... bisa jadi begini? Walau King sangat membencinya, dia tak pernah mengharapkan ini terjadi.
Selagi warga setempat dan staf hotel mengerubungi TKP, memanggil ambulans dan polisi, Watson menerobos khayalak. Menatap lurus ke arah Violet yang kebetulan menoleh padanya.
"Apa... yang sudah kamu lakukan, Vi?"
-
Di bus kota, perjalanan pulang.
Watson mengusap wajah frustasi. Dia masih ingat jelas pembelaan Violet. Gadis itu bersikeras bilang bukan dia pelakunya. Memang mereka sempat bertemu di rubanah, namun mereka berpisah setelah Violet mengancam wanita itu agar menjauh dari King.
Nama korban adalah Mitalete Clarista, 33 tahun. Dia adalah tersangka utama dari penjualan anak-anak di rumah Kinderen, Berlin. Sebuah insiden pemerkosaan massal 11 tahun yang lalu. Harusnya dia sudah dipenjara, namun entah kenapa dia bisa bebas bersyarat.
Violet merekam isi pembicaraan mereka, yang mana Mita ingin bicara pada King. Dia keliling dunia demi bisa bertemu dengan King. Sudah tidak waras, ya? Dia mau bertemu dengan korban lecehnya?
"Kenapa bisa rumit begini? Ugh..."
Narkolepsi. Sudah lama itu tidak kambuh. Berapa persen Watson memakai energi otaknya? Dia merasa terlalu banyak berpikir hari ini. Meresahkan.
"Kalau minum sebanyak itu, kakak bisa overdosis lho!" celetuk seseorang.
Watson menoleh ke belakang. Seorang perempuan muda berusia sekitar 10 tahun, memakai gaun tidur dan bersurai biru sepunggung, tersenyum padanya.
"Apa pikiran kakak sedang kacau?"
Apa dia seorang pelipur lara? Kenapa dia sendirian di bus? Watson mengangguk. Iyain deh biar dia senang.
"Aku punya tips untuk menenangkan pikiran tanpa mengonsumsi obat." Anak aneh itu memberikan headset-nya yang berkepala ikan paus. "Silakan didengar. Aku juga tak memerlukannya lagi."
Watson menerimanya dengan bingung.
"Kalau kakak mendengarnya, niscaya kakak akan melihatnya secara langsung."
Dia ngoceh apaan sih?
"Ah, aku berhenti di sini. Kalau begitu semoga pikiran kakak kembali normal! Selamat tinggal!" serunya melompat riang meninggalkan bangkunya.
"Anu, tunggu! Aku tidak butuh--"
Seorang remaja laki-laki berambut biru yang sama dengan anak aneh itu menyambut kepulangannya di halte.
"Kamu tidak membuat masalah, kan?"
"Nei! Nei! Nei!"
Watson menelengkan kepala. Dia teramat bingung saat ini. Apa-apaan itu barusan? Apa mereka ayah-anak? Bagaimana bisa seseorang semuda itu sudah punya anak kecil? Mengherankan.
Ditatapnya headset biru berkepala paus di tangan, sherlock pemurung itu mendengus. Siapa juga yang terganggu karena pikirannya sedang kacau? Dia sudah terbiasa begitu.
"Ada-ada saja, ck."
-
"Jadi maksudmu, King korban pelecehan dan tersangkanya mati bunuh diri di hotel tempat paman Dan bekerja? Kenapa bisa begitu? Wah, tragisnya."
"Tidak ada yang tahu bagaimana cara roda takdir berputar, Aiden. Semuanya berjalan begitu saja."
"Judul sinetron kali ini: wanita yang memperkosaku, meninggal kena azab di depanku. Bukankah itu ironis?"
Hellen melotot. "Bukan waktunya bercanda, Jer! Kamu selalu saja begitu."
Jeremy cengengesan konyol.
Besoknya mereka berkumpul di taman belakang sekolah. King sendiri yang membicarakan kejadian kemarin siang pada Aiden, Hellen, dan Jeremy. Tanpa diwakilkan oleh Watson atau Violet. Rasanya tidak adil jika mereka bertiga tak diberitahu kecelakaan di SO.
"Dan, kamu baik-baik saja? Apa tidurmu nyenyak tadi malam?" tanya Aiden khawatir karena cowok itu terlihat hendak pingsan. Pasti belum sarapan.
"Aku terlalu banyak meminum obat." Watson sontak menutup mulut, mual.
"Ini! Minum ini! Aku membawa teh herbal. Buat perutmu hangat." Yang sakit Watson, yang pontang-panting panikan Aiden. Indahnya pemandangan.
"Terima kasih, Aiden."
"Sekarang bagaimana?" tanya Jeremy setelah melihat keadaan Watson perlahan memulih. "King sudah membantuku saat kasus kakakku. Ini giliranku menolongnya. Apalagi yang hilang itu kembaranmu. Kata orang, ikatan saudara kembar lebih erat dibanding saudara biasa."
Masalahnya, tidak seperti Jerena, kembaran King bernama Paul itu sudah menghilang sejak kecil. 11 tahun lalu. Tidak akan mudah mencarinya apalagi tak ada petunjuk apa pun.
"Haruskah kita ke Jerman?"
Aiden menoleh ke Watson.
"Tidak, kurasa tidak usah. Aku tidak mau membuang waktu seperti kasus Snowdown. Sudah repot-repot ke Korea, akhirnya kembali ke sini. Aku yakin modus operandinya juga sama."
"Tahu dari mana? Bukankah Pockleland itu ada di New York?"
"Ah, benar. King juga korban dari insiden pengeboman Pockleland. Wah! Bukankah ini namanya takdir? Kalian berdua pernah berada di tempat sama."
Hening beberapa saat.
Watson menatap novel 'Please Find My Brother' di sebelah King. Membicarakan itu, kenapa King membuat kode minta tolong berupa novel? Kalau begitu mana ada orang yang tahu? Apa King benar-benar niat mencari Paul?
"Wah, lihat siapa ini. Bukankah mereka personil dari klub detektif?"
Sial! Si Stareisia!
"Apa yang kalian lakukan di sini? Berkumpul seperti nyamuk... Klub detektif Madoka punya banyak waktu senggang, ya. Tidak seperti New York. Tiap hari selalu terjadi kriminal."
"Tatap wajahku." King berkata serius.
Horstar mengernyit.
"Apa aku terlihat peduli?"
"PFFT!" Jeremy habis-habisan mengunci bibir agar tidak kelepasan tertawa. Kan bisa tambah runyam keadaan.
"Sungguh mengecewakan. Kupikir kalian detektif, rupanya hanya sekumpulan badut tak berkemampuan. Ah, apa ketuanya adalah Watson Dan? Kudengar dia selalu di bawah Kak Jamos, heh?"
Atmosfer di sana seketika memberat begitu nama Jam disebut.
"Kamu, masalahmu apa sih? Kenapa kayak benci banget sama Dan? Apa kamu merasa dirimu orang penting, huh?" Aiden menatap Horstar tak suka.
"Kenapa? Bukankah itu fakta? Kalian telah memilih pemimpin yang salah."
Aiden dan Jeremy sudah memasang wajah 'ingin menonjok', namun mereka tahan karena tak mau terjadi keributan.
Lagi-lagi Jamos. Dia lagi, dia lagi. Watson bahkan sudah hampir dua tahun tidak melihat batang hidungnya, kenapa nama cowok itu selalu disebut dan dibanding-bandingkan olehnya?
Pikiran Watson berkecamuk. Dia tidak peduli dihina atau dihardik. Tapi tolong, jangan pernah membawa-bawa Jam dan menyandingkannya dengan Watson.
Karena Watson sadar diri. Jam memang selalu ada di atasnya.
Watson menatap headset pemberian anak aneh di bus semalam. Dia memberinya langsung dengan pemutar musiknya—hanya ada satu lagu di sana. Dia pun menyumbat kedua telinganya, menekan tombol play, membiarkan Horstar adu mulut dengan Aiden.
"Antara Watson dan Jam aku pilih siapa? Tentu saja Jam. Mustahil Watson bisa mengalahkan seorang Jam."
"Apa yang kamu katakan? Tanpa menonton lombanya, sudah pasti Jam dong yang menang. Itu kodratnya."
Selalu dibandingkan. Selalu diremehkan.
Watson muak dengan celotehan mereka. Watson muak dengan mereka yang selalu dan selalu menyangkut pautkan namanya dengan Jam yang agung.
Lantunan suara paus berkumandang. Watson tersenyum tipis. Pemberian anak aneh semalam lumayan efektif. Sherlock pemurung itu tidak lagi mendengar ocehan di sekitarnya. Dia seperti tenggelam di lautan nirmala, ditemani oleh aungan paus merdu yang berbisik 'semua akan baik-baik saja'.
Betapa nyamannya... []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top