18
"DAN!" Aiden menyelonong masuk.
"Astaga!" Pemilik nama buru-buru memakai baju dengan asal. Dasar si Aiden, main masuk tanpa ketuk. Padahal Watson sedang ganti pakaian.
Violet datang menghambat rute Aiden yang ingin melompat memeluk Watson. Jari telunjuknya menggeleng. "Belum boleh, Nona Muda Aiden. Tubuhnya masih dalam tahap pemulihan. Kalau kamu memeluknya sekarang, tulangnya bisa patah. Kamu tahu kan anak ini lemah."
"Yah!" Aiden mendesah kecewa.
Dia masih menyebut Watson lemah setelah apa yang sherlock pemurung itu lakukan? Sialan. Watson mendengus, tidak mengerti definisi 'pria kuat'. Apa badannya yang kekar dan perutnya berkotak-kotak? Bukankah itu terlihat menjijikan? Ada roti di perutnya, hiy.
Ng? Tatapan Watson lurus ke arah payung yang ditenteng King. Kenapa dia bawa payung di musim panas?
King menyembunyikan payung tersebut ke balik punggung seolah mengerti tatapan ingin tahu cowok itu. "C-cuaca hari ini kelewat panas, Pak Ketua. Aku bisa pingsan. Ngomong-ngomong syukurlah kalau Pak Ketua sudah sehat. Aku kagum dengan pemulihan tubuhmu."
Watson diam. Dia belum mau berpikir.
"Masalah ini telah meluber, Watson," bisik Jeremy. "Tak kusangka Snowdown ikut terlibat. Bagaimana menurutmu?"
"Aku tahu apa yang mau kamu katakan. Tapi itu sudah berlalu. Snowdown sudah tamat sekarang. Jadi kita hanya perlu membersihkan jejak yang mereka tinggalkan, salah satunya ini."
"Kami menggali kuburan Pasha seperti perintahmu. Dugaanmu benar. Tidak ada apa-apa di dalam sana. Hanya peti kosong dengan bunga yang sudah layu."
"Ya, aku tahu itu akan terjadi."
Jeremy menelengkan kepala. Kenapa sherlock pemuram itu bawaannya tenang sekali? Apa dia tidak kaget atau semacam itu? Kan dia yang suruh.
"Kenapa reaksimu datar banget?"
"Karena jasad orangtuaku juga menghilang. Nadirat yang mengurusnya sudah meninggal dunia. Makanya aku yakin, ini sebuah teka-teki baru."
"Apa rencanamu?"
Entahlah. Dia masih perlu beristirahat di rumah sakit sampai lusa depan. Apa ada yang bisa dia lakukan di ranjang nan mangkar? Sial, dia mau pulang. Tapi tubuhnya masih terasa sakit. Belum lagi pusing yang kerap menyerang.
"Ng? Ini dokumen apa, Dan?" Aiden mengambil berkas di meja.
"Ah, itu tidak ada isinya. Buang saja."
Karena isinya sudah Watson pindahkan ke tempat lain begitu mendengar King (dan yang lain) akan datang. Dia tidak mau membawa amplopnya karena ribet.
Kita mundur latar waktunya ke hari kemarin ketika Watson dan Violet berbincang soal kasus Kinderen.
"Tapi ya, mereka benar-benar mirip. Sepupumu juga kembar, tapi mereka tak identik. King dan Paul adalah perwujudan saudara kembar sejati!"
"Yah. Wajah boleh jadi sama, namun karakteristik mereka jauh berbeda..."
"Wow!" Violet berseru pelan. Ternyata ada gambar kedua berdempetan dengan gambar di atasnya. Terekat karena dasar film foto. "Tampaknya yang memberikan berkas ini seorang informan intel atau malaikat penolong."
"Malaikat?" Watson mengernyit.
"Iya! Mungkin dia kasihan melihatmu babak belur makanya meninggalkan petunjuk. Rajin-rajinlah berdoa, Wat, agar kamu selalu diberkahi Dewi Fortuna! Kamu mungkin tidak tahu, tapi tingkat keberuntunganmu lumayan lho."
Bisa begitu? Ah, sudahlah. Watson melepaskan foto kedua yang menempel. Itu masih foto King dan Paul, namun diambil dari sudut pandang berlawanan.
"Eh, posisi mereka berubah?" Violet mengelus dagu. Di foto kedua tampak King berdiri di sebelah kiri. "Dia yang ini, kan? Yang pakai topi?"
"Aku ragu deh..."
Jika iya begitu, tidak mungkin informan tak diketahui memasukkan dua foto yang memiliki arti sama. Pasti ada perbedaan dari kedua benda itu.
Inilah sulitnya membedakan anak kembar. Bahkan kini Watson berpikir panjang mencari yang mana King Krakal. Apalagi King dan Paul tidak punya tanda lahir atau sesuatu yang khas.
"Bagaimana? King yang mana? Kamu kan genius. Tadi langsung tahu."
"Lihat deh, Vi. Di gambar pertama cuacanya masih agak gelap. Di gambar kedua, cuacanya mulai panas. Agaknya mereka di Pockleland dari pagi sampai siang. Kamu tahu maksudnya, kan?"
Violet menepuk tangan. Paul menderita Xeroderma Pigmentosum, jadi dia akan menjauh dari tempat yang ada mataharinya. Atau memakai sesuatu nan bisa menutup tubuhnya dari panas.
"Mereka bukan bertukar tempat. Krakal meminjamkan topinya ke Paul."
"Tapi kenapa informan itu memberikan gambar ini pada kita? Kenapa dia memberi petunjuk setengah-setengah?"
Kembali ke waktu sekarang.
Watson mengepalkan tangan. Keputusannya sudah bulat. Dia akan mengatakannya sekarang juga mumpung semuanya sudah berkumpul.
"Krakal," katanya.
"Kenapa Pak Ketua?" King menoleh.
"Aku rasa Paul kembaranmu memang sudah meninggal," lanjut Watson.
Deg! Aiden, Hellen, Jeremy, King, tak terkecuali Violet, serempak menatap detektif muram itu. Tatapan kaget. Raut wajahnya tidak berubah. Berarti kalimatnya tidak main-main. Kenapa dia berkesimpulan begitu? Tidak mungkin.
"A-apa yang kamu katakan, Pak Ketua? Bukankah kamu sendiri bilang Paul ada kemungkinan masih hidup?"
"Kita tak bisa berpegangan pada kata kemungkinan, Krakal. 11 tahun dia menghilang pasca ledakan. Orang normal pun pasti mengira dia sudah mati."
"Kenapa kamu tiba-tiba membuat kesimpulan seperti itu, Watson?" Hellen tidak mengerti. Cowok itu tak seperti biasanya. Mana pernah Watson membuat determinasi berdasarkan firasat.
"Karena..." Sial, ini kan baru dugaan. Masa Watson langsung bilang tanpa konfirmasi dahulu? Tidak, tidak. Dia tak boleh asal menuduh sampai ada bukti.
"Karena apa, Watson?"
"Sebelum itu, apa kamu pernah berkonsultasi dengan Reed Radley selama 2 tahun di Inggris, heh?" Akhirnya pertanyaan ini kesampaian juga. Jika ingin bukti, Watson harus mengorek informasi dulu.
Reed Radley? Bukannya itu dokter pribadi Watson? Demikian ekspresi wajah Aiden, Hellen dan Jeremy.
King menelan ludah gelisah. "I-ingatanku agak kacau setelah insiden ledakan itu, makanya ayahku menyarankanku berlatih mengingat dengan beliau."
"Kamu yakin?" tukas Watson menunjukkan novel favorit King. "Lalu, apa maksudnya kamu menutup judul asli dari novel ini? Ini rencana pembunuhan, Krakal! Aku tak bisa menolong orang yang berniat melakukan tindak kriminal!"
Yang lain terdiam, menatap horor.
'Please Kill My Brother'.
"Apa... Bagaimana bisa jadi seperti itu... Aku tidak tahu kenapa judulnya..."
Kamu lah yang mati.
"Ugh!" King memegang kepalanya yang berdenyut sakit, melangkah mundur. Ingatannya yang selama ini dia jaga baik-baik, sekarang kembali mengacau.
Watson menahan Violet atau Aiden yang berniat membantu King, menggelengkan kepala. Biarkan dia.
Memori King berhenti pada kenangan di tebing, ketika dia ingin melompat ke laut saat keluarga Procyon tidak mengharapkan kehadirannya. Bahkan ibu kandungnya membuang dirinya.
Ah, benar. Aku ini kan pengecut.
Ketika dia memandang datar samudera biru yang membentang luas di hadapannya, terlihat tenang, cantik, sekaligus mematikan dan menakutkan.
"Kalau itu yang mereka inginkan."
Akan tetapi, beberapa detik sebelum menjatuhkan diri, pikiran King berubah. Dia terlalu takut meloncat. Air laut terlihat dingin. Bagaimana kalau 'mati' itu ternyata sakitnya sangat luar biasa? King tidak bisa. Dia penakut.
"Kenapa kamu ragu membunuh dirimu tapi tidak ragu membunuh diriku?"
Deg! King menoleh.
Sosok itu mendorongnya. Tubuhnya pun limbung. Pijakannya pada tebing raib. Gravitasi segera menariknya ke bawah. Dia menyeringai puas.
"Dorong saja dirimu seperti yang kamu lakukan padaku waktu itu."
"Tolong.... Tolong aku..."
King menoleh ke saudara kembarnya yang tertatih mengikuti langkahnya. Kakinya mengucurkan darah, sepertinya terluka karena reruntuhan. Juga, tampak dadanya mengeluarkan darah.
Kamu lah yang mati.
King mendekatinya, bermaksud memapah tubuh kembarannya itu agar mereka secepat mungkin keluar dari wilayah taman bermain. Ekspresinya kosong.
"Terima kasih saudaraku—"
Push! King pun mendorongnya ke kobaran api yang menyala terang, tersenyum senang. Seluruh beban di punggungnya seketika terangkat.
"Matilah untukku, ya?"
"AAAARRGHHHHH!!!!" Tak kuat menahan rasa sakit yang mendera kepalanya, King bisa membentur lantai jika Jeremy tak cekatan menangkap tubuhnya.
Aiden berbinar-binar. "Apa yang..."
"Vi, panggilkan dokter." (*)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top