16

"King, sebentar! Kamu mau ke mana?"

"Ke rumah sakit Aslenora."

Sudah cukup Watson yang mengemban sebagian masalah mereka. Lagi pula ini kasus King. Sudah seharusnya dia ikut andil membuat keputusan.

"Kalau begitu kami ikut denganmu," kata Aiden di luar perkiraan. "Bukan hanya kamu yang merasa frustasi. Kami juga sangat mau membantu Dan. Karena itu, kita ke sana bersama-sama."

Jeremy dan Hellen mengangguk.

"Violet, bagaimana denganmu?" Aiden mengintip ke dalam kamar.

Gadis itu menggeleng lemas. "Kalian duluan saja. Aku akan segera menyusul setelah Watson siuman."

"Kalau begitu..." Aiden menoleh ke Dextra yang berdiri kayak anak ayam. Sebenarnya dia tak mau melibatkan adik kelasnya itu lagi, tapi Aiden tak punya banyak pilihan. Mereka butuh hacker yang bisa memanipulasi CCTV.

"Dextra, maukah kamu ikut menemani kami? Ini boleh jadi berbahaya. Jika kamu tidak mau, kamu boleh menolak-"

"Tidak. Aku mau pergi. Aku mau membantu Kak Aiden dan kakak-kakak klub detektif," potong Dextra tegas.

Bagaimana bisa Dextra mengatakan tidak setelah melihat Watson melakukan sesuatu yang luar biasa? Dia juga mau menunjukkan kegunaannya.

"Kita langsung pergi saja. Sebentar, biar kutelepon Pak Dolok--"

"Tidak usah, Aiden. Ama sudah menunggu di lobi. Aku menghubunginya ketika kita pergi ke rumah sakit."

"Tumben inisiatif," ledek Hellen.

"Memangnya kamu yang heboh sama Aiden mendengar Watson kecelakaan. Dengar ya Hellen, kamu harus memperbaiki sifatmu yang mudah panik."

"Bukannya itu kamu?"

"Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Kita tak boleh membuang waktu." Aiden sekali lagi menoleh ke kamar Watson, mengepalkan tangan. "Istirahatlah, Dan. Sisanya serahkan pada kami. Ayo!"

-

Jeremy tertawa tak percaya. "Ya ampun, Aiden. Ternyata kemampuanmu dalam mengutil barang belum hilang. Apa kamu masih suka mencuri--"

Slap! Hellen menjitak kepalanya. "Bisa tidak sih jangan bercanda sekali saja? Perhatikan suasananya dong!"

"Kita butuh suasana komedi ketika berada di lingkungan horor, Hellen! Kenapa kamu tidak mengerti juga?!"

"Katakan saja kalau kamu sedang takut sekarang. Berada di rumah sakit telantar pada malam hari. Tanpa punya kemampuan indigo, orang normal pun bisa merasakan hawa penghuninya."

"K-kak Hellen ternyata diam-diam punya jiwa humor ya..." kekeh Dextra.

Kenapa tidak? Hellen menunjuk Jeremy dan King yang sudah berdiri tegang bahkan mereka belum masuk ke dalam.

"Kamu tidak takut, Dex?" Maksud pertanyaan Hellen adalah, jika Dextra juga takut pada 'makhluk halus' maka sukses ketiga cowok di rombongan itu bermental kerupuk semua.

"Untuk sekarang masih belum."

Jadi ada kemungkinan dia takut, ya? Aiden mendesah kasar. Andai ada Watson, pasti dia yang memimpin rombongan. Sherlock pemurung itu sama sekali tak percaya pada mistis.

Semoga dia lekas membaik. Kata dokter, lukanya tidak terlalu serius. Dasar si Watson itu. Suka bekerja sendirian.

Pintu kaca yang sudah berlumut itu akhirnya terbuka. Kriet! Bunyi decitnya terdengar menyeramkan. Hanya orang bernyali tinggi mendatangi rumah sakit tua pada pukul 10 malam.

"K-kamu jalan duluan, Buk Aiden!"

Jeremy mengangguk setuju.

Mimik wajah Aiden dan Hellen sudah tak tertolong. Mereka ingin melempar Jeremy dan King ke sungai Musi. Bisa-bisanya duo penakut itu menyuruh perempuan mengomando jalan. Di mana harga diri mereka sebagai laki-laki.

"Kak Aiden! Kak Hellen! Sepertinya sudah ada orang lain di sini," bisik Dextra menyorot senter ke lantai. Ada sebuah jejak telapak kaki di sana.

King membungkuk. "Terlihat masih baru."

Kalau begitu, mereka tidak boleh berpencar. Lebih baik bersama daripada berpisah, itu akan menguntungkan sosok misterius yang entah siapa.

"Hati-hati, Kak Aiden."

"Oke, oke." Aiden gelagapan nyaris terjatuh. Karena lantai rumah sakit angker itu sudah berlumut, mudah membuat seseorang tergelincir. Untung saja Dextra cekatan memeganginya.

"Kenapa, Hellen?" celetuk Jeremy.

"Entah kenapa aku tidak suka lihat mereka berdua. Aduh, bagaimana bilangnya ya? Tak nyaman mungkin?"

"Kamu memikirkan apa sih..."

Jejak kaki itu berhenti di gudang data. Mereka berlima saling tatap, mengangguk. Lupakan masalah horor karena ada yang lebih genting di sini.

Jeremy memutar gerendel pintu, sementara itu Aiden mengarahkan senter ke depan. Mereka terkesiap. Juga sosok yang ada di dalam ruangan.

"Inspektur Angra?!"

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Itu yang mau kami tanyakan."

Angra mengacak rambutnya. "Kenapa kalian selalu menghalangiku? Pulanglah. Tempat ini bukan wahana untuk kalian bermain detektif-detektifan."

"Seharusnya itu kalimat kami."

Angra mungkin mengira klub detektif Madoka belum atau tidak tahu kalau dia meninggalkan jejak kasus 4 tahun lalu di rumah sakit itu. Kenapa dia ada di sana? Apa dia datang setelah tahu mereka akan ke situ? Jangan bilang Angra berniat membuang bukti?

"Aish, anak-anak ini sangat mengganggu. Kalau begini jadinya, apa boleh buat." Angra berdecak sebal, mengeluarkan bolpoin yang diberikan Watson. "Teman kalian yang sinting itu menabrakkan dirinya ke mobil dengan sengaja untuk merekam wajah rekan dalang yang membunuh Mita. Setelah kuperiksa..."

Mereka menonton file tersebut, setengah kaget mendengar alasan Watson tertabrak. Si detektif muram itu benar-benar tidak kenal kata takut.

King mematung seketika.

Angra menatap King, menyunggingkan seringaian puas. "Aku rasa kamu tahu."

"Kamu kenal mereka, King?"

Bagaimana King tidak tahu? Mereka berdua juga terlibat dalam insiden Rumah Kinderen. Jika Mita berperan sebagai pengumpul anak-anak, maka mereka adalah orang yang menyiapkan ruangan untuk para VIP. Melampiaskan hasrat nafsu pada anak kecil. Biadab.

Tapi entah kenapa, King tidak merasa jijik atau mual. Mendengar kenekatan Watson telah memberinya keberanian. King bisa mengatasi rasa traumanya.

"Apa mereka berhubungan dengan kasus yang anda kerjakan bersama Inspektur Pasha di rumah sakit ini?" tanya Hellen.

"Ya. Karena mereka meninggal di sini."

"Apa? Itu artinya...!"

"Kurasa kalian sudah mencari tahu. Ya, benar. Mayat yang hilang di Aslenora adalah jasad mereka berdua. Aku mencurigai kru rumah sakit menggunakan tubuh mereka untuk kepentingan pribadi."

"Tapi...! Bagaimana mungkin mereka masih hidup?! Astaga, apa yang salah di sini?!!

Angra berdeham. "Kurasa mereka berdua memalsukan kematiannya dan menggunakan mayat lain."

Aiden berpikir keras. Sebenarnya kenapa para dokter di Aslenora menyembunyikan sebuat mayat? Tidak hanya satu melainkan dua atau mungkin lebih dari dua. Apa tujuan mereka? Mengambil organ lantas menjualnya?

Kalau Watson ada di sana, kira-kira apa yang akan dia suruh?

-

Violet tidak salah lihat. Watson sudah mulai bernapas sendiri. Dia tidak butuh ventilator lagi. Pemulihan sherlock pemurung itu tak bisa dianggap remeh.

"Tunggu sebentar, Watson. Aku akan memanggil dokter!" seru Violet senang, terburu-buru keluar dari kamar.

Tak lama kemudian, masalah terjadi.

Tidak ada yang sadar seorang perawat palsu menyelinap masuk ke kamar inap Watson. Dia mendorong troli obat-obatan, berakting menjadi suster padahal tangannya tengah menyiapkan suntikan berisi cairan asing.

Dia menatap Watson datar. "Aku tidak punya dendam denganmu. Tapi jika kubiarkan, kamu menjadi penghalang untukku. Tidurlah lebih lama."

Sebelum dia menyuntikkan cairan berbahaya itu ke selang infus Watson, seseorang bersandar di pintu masuk.

"Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya, Anak Muda. Kamu pikir berbekal masker dan jas putih itu bisa menutupi identitasmu, hmm?"

Dia tersentak, menoleh kaget. Sosok wanita bersurai putih panjang tersenyum lebar di ambang pintu, melambai santai ke arahnya. Sial! Padahal dia yakin sekali tidak ada orang yang akan datang menjenguk.

"Ini tidak ada urusannya denganmu, Nona Berambut Putih. Menyingkirlah selagi aku bicara baik-baik."

"Jika aku menolak, kamu mau apa? Mengiris leherku seperti yang kamu lakukan pada gadis malang itu? Ckckck. Anak muda zaman sekarang ringan tangan membunuh seseorang, ya."

Apa-apaan gaya bicara wanita itu? Kenapa dia berkata seolah dia sudah sangat tua? Padahal dia sendiri juga perempuan muda, kan? Ada yang salah. Firasatnya juga tidak tenang seakan menyuruhnya segera pergi dari wanita berambut putih yang misterius.

"Bagaimana? Apa kamu mau membunuhku juga, hmm? Aku akan senang hati memberikan leherku."

Aura intimidasi yang sangat menusuk.

"Brengsek!" Waktu habis. Dia bergegas keluar dari sana setelah mengumpati wanita tak jelas itu. Sial, rencananya lagi-lagi gagal. Kenapa bisa begini?! Semua salahnya! Detektif sialan itu merusak segalanya! Sial, sial, sial!

Hening sejenak.

Wanita Berambut Putih itu menatap alat EKG di samping ranjang. "Hmm, kondisi vitalnya baik-baik saja. Sepertinya aku datang tepat waktu. Dia belum melakukan apa pun. Syukurlah."

Dia mengeluarkan sebuah berkas, meletakkan benda tersebut ke meja nakas, beralih menatap wajah Watson.

Tangannya terulur mengusap kepala Watson, berbisik lembut, "Maaf... Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu." Dia mengecup kening Watson, tersenyum.

"Cepat sembuh." (*)




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top