3
Sepulang dari kantin, karena tidak ada surat permohonan kasus, Watson memutuskan tidur. Dia semalam begadang melanjutkan kajian "bahasa isyarat". Tahu lah, sherlock pemurung itu mana mau jadi beban terutama dalam percakapan. Maka dari itu dia belajar otodidak.
"Dan! Bangun! Aduh, ini masih jam delapan pagi, kamu sudah molor. Kamu mau jadi kebo? Jangan jadi pemalas dong. Ayo bangun! Kita harus mencari mayat yang hilang."
Watson membelakangi Aiden, mendengkur halus. Tidur nyenyak di sofa. Gerimis salju tengah berlangsung di luar sana, membuat permukaan tanah penuh dengan tumpukan serbuk putih.
"Mungkin karena udara dingin membuatnya jadi malas, Aiden. Sudahlah jangan ganggu dia. Biarkan saja Watson tidur."
"Tapi mayatnya—"
Jeremy menoleh ke Dinda. "Bagaimana, kamu dapat sesuatu? Sekecil apa pun itu yang bisa dijadikan penyebab menghilangnya mayat."
Dinda menyerah. "Aku sudah mencarinya selama dua jam terakhir, namun cctv klub dan kamera sekolah tidak berfungsi. Rusak oleh jammer. Aku rasa ada yang sengaja melakukannya. Tidak mungkin ada gelombang statis di sekolah."
"Sengaja? Maksudmu ada yang menyembunyikan mayatnya?" seloroh King. Anak itu selonjoran seperti Watson namun telinganya tegak mendengarkan. King benar-benar penasaran soal mayat hilang.
"Kemungkinan besarnya begitu."
Aiden kembali menggoyang-goyangkan tubuh Watson. Mereka buntu kalau Watson tak turut andil. "Nah, kamu dengar kan Dan? Mayat itu betulan ada di klub! Seseorang telah menyembunyikan jasad korban. Bangunlah! Kita harus cari dan mengungkap kebenaran dari kematiannya."
Kekesalan Watson akhirnya sampai di puncak. Dia bangun, menatap gemas Aiden seakan hendak menerkamnya. Kalau saja suaranya tidak hilang, kalau saja dia tidak cedera, mungkin saat ini dia sudah mencak-mencak. Watson paling tidak suka diganggu ketika tidur terutama didesak.
"K-kata Dinda ada kemungkinan mayat—"
Watson menulis di buku secara kasar. Menyebalkan tak bisa ngomong. 'Terus apa? Kalian mau menjadikan kemungkinan sebagai tindakan destruktif terhadap reputasi klub detektif? Sudah cukup kaliber klub menurun karena kasus Stern. Kalau terus begini, Dewan Guru bisa menutup kegiatan kita. Aku tidak mau klub kakakmu berakhir bubar, Aiden. Dan jangan coba-coba menyuap pakai koneksi, King. Aku memperhatikanmu.'
King menggaruk kepalanya. Tidak buka suara, tidak ngapain-ngapain, kena juga.
"Tapi Dan—"
'Kalian sudah menghancurkan liburan musim panasku, mengacaukan ketentraman musim gugurku, sekarang kalian mau mengganggu musim dinginku?' Begitulah sisa tulisan Watson sebelum dia melambaikan tangan, melompat ke sofa untuk melanjutkan tidur. Dingin-dingin begini memang enak tiduran.
Jeremy bersungut-sungut, mendengus. "Padahal kamu yang disuap novel. Kenapa jadi kami yang salah? Dasar tak mau disalahkan."
Watson menatapnya sinis. Dia langsung bersenandung tak tahu.
Ng? Watson mengernyit melihat seragamnya lembap tanpa sebab. Dari mana asalnya? Menyentuh bantal sofa, dia tersentak. Bantal-bantal itu basah. Tatapannya kini tertuju ke gorden jendela. Kain itu juga lepek setengah.
Sherlock pemurung itu melangkah malas ke tempat Dinda, seenak jidat mengambil alih laptopnya, menonton rekaman. Aiden dan yang lain saling tatap, sama-sama mengedikkan bahu. Mereka tidak tahu apa yang sedang Watson lakukan.
Rekaman menampilkan Aiden piket membersihkan ruang klub, sama sekali tidak menyentuh sofa. Hanya menyapu lantai.
Lantas kenapa. Watson menarik tubuh. Kenapa posisi sofa berubah dari ingatannya? Watson ingat sekali sofa itu agak maju ke depan, namun sekarang berdiri vertikal. Padahal dirinya tenang saat tidur. Apa karena Aiden tadi menggoyangkan tubuhnya sampai sofanya tergeser?
Tahu ah. Watson lagi malas berpikir.
"Ngomong-ngomong Jeri," bisik Dinda menepi bersama Jeremy. "Kakakmu terakhir kali terlacak di Jerman, Berlin."
"Berlin? Astaga, kenapa dia bisa sampai di sana?! Tidak mungkin menaiki pesawat. Mungkinkah lewat penyelundupan manusia?"
"Oi, kenapa kalian berdua bisik-bisik?" Aiden bersedekap, menatap mereka bergantian. Aiden pikir hubungan klub detektif istimewa, ternyata ada rahasia di antara kita~
"Ada yang bilang Berlin?!" seru King semangat. Cengar-cengir. "Itu negara kelahiranku. Ah, tidak juga sih sebenarnya."
"Tidak ada yang menanyaimu!"
Selagi mereka asyik sendiri, Watson diam-diam memperhatikan petak bingkai jendela. Seberusaha apa dia untuk mengabaikan, tetap saja otak sialannya tidak mau membiarkan Watson istirahat.
Mayat yang hilang, huh? Hal itu lumrah terjadi di dunia detektif. Komik-komik, film, manga, anime, ataupun drama yang bergenre kriminal tak luput dari masalah 'kehilangan tubuh korban'. Pelaku menyembunyikan dengan maksud tertentu atau sekadar mempermainkan polisi.
Watson mendesah kasar. Dia tidak berselera melakukan apa-apa. Rasanya malas beranalisis tanpa adanya Hellen. Ditambah suaranya yang hilang. Makin malas dong.
Kabar Stern 'gimana, ya? Apa dia sudah membaik? Kuharap dia lekas kembali. Watson menghela napas panjang, menutup tirai kaca.
Penguntit Monokrom adalah Hellen sendiri.
Watson membuka mata yang dia pejam, mengangkat kepala. Kenapa dia tiba-tiba teringat kasus yang sudah berlalu? Sepertinya ada yang rusak di antara tali syarat pada otaknya. Atau sebutan umumnya: gagal move on.
Watson menoleh ke sofa, kepikiran perkataan teman-temannya soal mayat wanita yang hilang. Tidak mungkin tubuhnya menghilang begitu saja, terlebih bagaimana?
Kriing! Bel punya berdering.
King menyeringai. "Aku akan ke Game Center hari ini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan meneleponku!" ucapnya bergegas keluar dari klub. Anak pecandu game.
"Aku akan mengajak Dinda ke rumahku. Mama pasti merindukanmu, Din." Giliran Jeremy yang pamit. "Kita lanjutkan besok pencariannya, Aiden."
"Kami permisi." Dinda membungkuk sopan.
Tersisa Aiden dan Watson.
Aiden menoleh ke Watson yang mematung di depan jendela, mengernyit. "Dan, kenapa melamun? Kamu tidak pulang?"
Watson menulis di kertas. 'Duluan saja.'
Aiden ber-oke pendek, berlalu dari sana. Mungkin Watson malas pulang atau menunggu Tantenya menjemput. Dia kan suka sendirian.
Baiklah. Sekarang apa? Jangan tanya lagi. Tentu saja memakai ingatan fotografis! Salah satu kemampuan Watson yang jarang dia gunakan karena dia sudah terlalu pintar mengingat hal-hal kecil.
Watson menatap lemari. Empat handuk (punyanya, Aiden, Hellen, dan Jeremy) hanya tinggal tiga buah. Beralih memeriksa "dapur kecil" khusus untuk Hellen. Ada piring kumuh di wastafel. Sementara di rekaman cctv, Aiden mencuci semua piring kotor tadi malam. Lalu kenapa masih tersisa satu?
Ini akan mudah jika dia bersuara.
Watson mengambil syalnya yang tergantung, mendongak ke kamera di sudut kanopi, mengernyit ada semacam stigma tertempel. Apa itu kamera baru? Tampaknya ada yang mengacak-acak ruang klub. Ya ampun, ini merepotkan.
Watson memakai sebuah aplikasi yang memungkinkan ketikan menjadi bersuara. Maniknya terarah ke lantai di belakang sofa.
[Aku tahu kalian di sana. Keluarlah sebelum aku yang mengeluarkan kalian. Ini bukan peringatan, tapi ancaman.]
Sunyi. Tidak ada tanggapan.
Akan tetapi, lamat-lamat telinga Watson mendengar suara desing dari atap loteng. Dia mendesah pendek. Sekarang drone? Dia menyalakan drone untuk mengalihkan perhatikanku? Hah, aku sudah melakukan banyak hal di New York.
Tanpa aba-aba, Watson menyeret sofa, segenap tenaga mengangkat petak lantai yang dicurigai. Dia tahu lantai klub memiliki ruangan di bawahnya. Toh, bukan terbuat dari keramik. Jadi mudah dipereteli.
Kejutan.
Seorang gadis remaja terkesiap melihat sosok Watson. Dia tidak sendiri. Dia bersama "mayat" wanita yang disebut-sebut oleh Aiden, Jeremy, dan King. Tangannya menekan pendarahan di perut wanita tersebut.
Watson mencatat percakapan. 'Haruskah kita mulai menginvestigasi?' Demikian yang dia tulis di buku komunikasi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top