Twenty Sixth Cage
Kazuhiko mengetuk pintu ruangan atasannya beberapa kali. Tangan kirinya menjinjing begitu banyak berkas yang sudah lama menumpuk di meja kerja dan hingga kini belum diserahkan. Tanpa pikir panjang ia segera melangkah masuk ketika terdengar sahutan dari dalam, kemudian lelaki itu membungkuk hormat.
"Kazuhiko, ada apa kau kemari?" Inspektur Kiyomizu mengalihkan perhatian dari dokumen yang sedang ia tandatangani. Pria itu memijat keningnya begitu melihat banyaknya benda yang dibawa polisi muda itu. Dalam hati, dia sudah bisa menebak pekerjaan apa yang sedang menantinya.
"Ini semua data mengenai para korban yang saya dapat dari hasil pemeriksaan forensik, juga kesaksian tersangka. Saya sudah memberikan salinannya pada Asami-senpai," jelas Kazuhiko. Inspekstur Kiyomizu hanya mangut-mangut mendengarnya kemudian menopang dagu.
Dahi Kazuhiko yang melihat raut wajah pria parah baya itu terlipat. "Apa Anda baik-baik saja, Komandan? Jika Anda tidak bisa memeriksa semuanya hari ini, saya rasa tidak masalah. Anda terlihat lelah sekali. Mungkin Anda juga perlu istirahat sesekali," laki-laki itu mencoba menyarankan.
Inspektur Kiyomizu menggeleng samar kemudian mencoba tersenyum. Akan tetapi, rasa khawatir di benak Kazuhiko semakin bertambah tatkala ia tidak melihat kerutan di sekitar mata atasannya ketika tersenyum. Karena meskipun baru beberapa tahun bekerja sebagai polisi, ia sudah banyak belajar tentang bahasa tubuh dan semacamnya.
"Saya tahu kamu khawatir. Kamu pasti merasa saya ini juga perlu mengambil cuti beberapa hari. Saya tahu, putri saya Kanna mungkin memang butuh waktu. Tapi, ini sudah tanggung jawab, Kazuhiko. Saya sendiri yang memilih pekerjaan ini. Dan itu artinya mau tak mau harus menanggung segala resikonya." Penjelasan singkat itu sukses membuat niat Kazuhiko menyusut.
"Lagi pula ...." Inspektur Kiyomizu menautkan jemari sehingga mulutnya tidak terlihat oleh Kazuhiko. Mendengar kata tersebut, polisi yang dikenal sebagai shinigami jadi-jadian itu sedikit tertarik. "... aku tidak ingin membuat kesalahan lagi. Anak itu ... sudah cukup menjadi korban atas keteledoranku. Andai saja dia bisa hidup kembali, aku pasti tidak akan seperti ini."
Sunyi kembali tercipta ketika Inspektur Polisi itu menghentikan ucapannya. Penyesalan yang seolah telah menghilang layaknya asap kembali lagi dan membuat dada sesak. Rasa berdosa seharusnya bisa menjadi motivasi agar kesalahan yang sama tidak terulang. Akan tetapi, untuk kali ini tidak. Semakin lama pria itu seolah semakin terkungkung dalam kepedihan.
Sementara itu, Kazuhiko sama sekali tidak berani berkata apa-apa. Terlebih ketika Inspektur Kiyomizu mengubah kata ganti 'saya' yang lebih formal dan biasa dia gunakan saat bekerja dengan 'aku'. Laki-laki itu menyesal karena niat baiknya justru berujung mengungkit kembali luka masa lalu yang ingin dilenyapkan oleh pimpinannya.
"Oh ya. Kamu sepertinya ingin mengatakan sesuatu sejak masuk ke ruangan ini. Apa ada perkembangan dari penyelidikan ini?" Pria itu dengan cepat berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Sementara Kazuhiko yang sudah terlalu lama terperangkap dalam sunyi terlihat terkejut, bahkan hampir lupa pada apa yang ingin dikatakannya.
"A-ano ... kami baru saja mendapat informasi mengenai tersangka baru dalam kasus ini." Inspektur Kiyomizu memasang wajah penuh minat, meskipun pada kenyataannya sama sekali tidak begitu. Ia bahkan sudah sejak lama berkata kepada bawahannya mengenai keinginannya untuk mundur dari jabatan yang dipegangnya selama bertahun-tahun.
"Fujita Mai, wanita muda yang tinggal tidak jauh dari TKP. Dia tinggal sendirian di rumah itu sambil menjaga toko warisan kedua orangtuanya. Kami akan segera memintai keterangan darinya," terang polisi muda itu singkat. Dalam hati dia benar-benar berharap sang komandan akan segera bangkit dari luka masa lalunya dan kembali bersemangat melakukan investigasi karena penjelasannya tadi.
"Baiklah, laporanmu kuterima. Kuserahkan pada kalian berdua. Segera lakukan sesuai prosedur," titah Inspektur Kiyomizu. Meski dia masih tidak mengerti mengapa sang pimpinan mendelegasikan tugas itu kepadanya dan Asami, dia hanya bisa menyahut dengan satu kalimat.
"Dimengerti."
------x---x------
"Hwaaa!" pekik Honoka begitu teman kecilnya menjejerkan buku pengayaan serta catatan yang kebanyakan dipenuhi oleh angka dan simbol matematika. Dia benar-benar tidak menyangka yang perlu ia pelajari akan sebanyak itu. Sekarang gadis itu mulai menyadari betapa matematika tidak bisa dianggap remeh.
Seira yang tadinya sibuk memeriksa lembaran dalam buku catatannya yang tercecer mengangkat sebelah alis. "Mengapa kau berteriak? Kau sendiri kan yang minta diajari olehku," kata gadis itu tanpa intonasi. Yang meminta bantuan sebelumnya hanya bisa tertawa kecil.
"Yah, maksudku ... aku hanya ingin mau mengajariku tentang soal yang keluar di ulangan harian. Kenapa malah sebanyak ini?" dalih gadis berambut bob itu. Dia mencoba memahami maksud dari catatan tersebut sambil memajukan bibir bawah. Mau tidak mau, ia harus menuruti apa pun kata tetangganya meskipun sedikit dongkol.
"Semua ini berkaitan tentang materi itu," tegas Seira. Sukses membuat Honoka seketika terdiam dan hanya bisa mengembuskan napas kesal seraya mendengar ceramah dari temannya. Ketika penjelasan mengenai pelajaran mulai sampai ke tahap yang lebih mendetail, dia tetap berusaha keras untuk terjaga meskipun matanya semakin terasa berat.
Dalam hati dia mulai berpikir, bagaimana jika seandainya yang mengajarinya saat ini adalah Kaito. Dia pasti tidak perlu mengantuk saat berhadapan dengan penjelasan yang ibaratnya seperti rumus volume balok, panjang kali lebar kali tinggi. Tentu saja ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuang kesempatan berharga tersebut.
Akan tetapi, otaknya kembali berpikir sekali lagi, kemudian menggeleng kuat-kuat. Jika benar-benar lelaki itu yang mengajarinya saat ini, belum tentu semua akan lebih baik. Gadis itu bisa jadi lebih terfokus pada wajah sang pengajar ketimbang apa yang dijelaskan. Lagi pula, dia tidak akan tahan berlama-lama digoda oleh kedua kakak temannya itu jika itu benar-benar terjadi.
"Ada apa?" tanya Seira yang penjelasannya terpotong akibat reaksi spontan itu. Honoka mengulangi gerakan itu sembari tertawa kecil.
"Tidak, bukan apa-apa," elaknya sambil menyeringai.
------x---x------
Sementara itu di jalan menuju sekolah, Kaito dan Ichiro masih sempat beradu argumen. Salah satu dari mereka belum memiliki niat untuk berhenti. Kedua lelaki itu sudah sepatutnya bersyukur karena orang di sekeliling mereka tidak ada yang terlalu peduli. Jika tidak, misi investigasi ini bisa kacau sejak awal.
"Kau bilang apa tadi?" Nyali Ichiro untuk membuat temannya terdiam seribu bahasa seketika menciut saat berhadapan dengan tatapan tajam dari manik cokelat kemerahan itu.
Dia meneguk ludah sambil menatap ke arah lain. "Yah, aku bilang pelaku memutuskan untuk memilih korban secara acak. Itu saja. Apakah salah?" katanya sedikit ragu-ragu.
"Jika kau sebut itu mengerikan, dengan kata lain kau yakin jika pelakunya adalah orang di sekitar kita kan?" ujar Kaito. Ichiro sedikit tersentak. "Jika kau berpikir sebaliknya, maka kau tidak akan berpikir kemungkinan itu mengerikan. Memangnya siapa yang curigai selama ini?" tanyanya.
"Aku sebenarnya tidak yakin. Tapi sepertinya ... Seira cukup mencurigakan," gumamnya sambil menggaruk leher belakang. "Memangnya kau mencurigai siapa?" tanya laki-laki itu.
Kaito menghela napas panjang. "Jika kuberitahu ... aku khawatir kau akan membenciku," sahut Kaito sambil berbalik kemudian berjalan menjauh. Ichiro yang tidak mengerti maksud dari laki-laki itu segera berlari menyusul kemudian mendesaknya agar mau menjawab. Akan tetapi, Kaito tetap teguh pada pendiriannya.
------x---x------
"Ah, begitu rupanya. Aku mengerti sekarang. Pantas saja aku mendapat nilai seburuk itu," ujar Honoka puas setelah berhasil memecahkan satu soal yang menjadi misteri yang mengganggu pikirannya hampir seharian. Karena hal itu, ia menjadi bersemangat untuk menyelesaikan soal-soal berikutnya.
"Honoka, kita sudah mempelajari itu dari SMP," gumam Seira. Gadis berambut bob itu tertawa malu sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
Seira terdiam cukup lama. Otaknya diganggu oleh begitu banyak pertanyaan. Entah darimana keinginan itu berasal, gadis itu memandangi seluruh sisi rumahnya seperti tamu yang pertama kali datang ke tempat itu. Hingga tatapannya seketika terhenti pada sebuah altar kecil di salah satu sudut dengan dua dupa yang berdiri tegak di sana. Di tempat itu juga, terdapat foto orang yang telah pergi mendahului dirinya.
"Seira-chan?" tanya Honoka ketika melihat raut wajah teman kecilnya menjadi sendu. Yang ditanya cepat-cepat memaksa ujung bibir untuk tersenyum, kemudian mengalihkan perhatian gadis itu dengan menanyakan apakah ada yang masih tidak dimengerti.
Okaa-san, Otou-san, maafkan aku, batin Seira sambil menatap altar itu sekali lagi.
*
30 Agustus 2020, 21:22 WITA
Update lagi. Maaf agak malem. Baru habis nyari materi buat tugas makalah //google lagi ngajak ribut 😑
Sedikit info, di sini ada petunjuk yang lumayan besar, tapi Ichi tutupin pake banyak banget jebakan. Jadi, bagi kalian yang mulai ketularan MC dari cerita ini, silakan melatih kepekaan kalian 😁.
BTW, mulai Senin besok, Ichi harus mulai siap-siap buat tiga ratus hari ke depan update WWSTST versi remake seminggu sekali. Semoga masih ada waktu buat lanjutin cerita ini 🙂.
Oke, jangan lupa tinggalkan vote dan comment seperti biasa 😄.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top