Twenty Second Cage
Untuk pertama kalinya, ada yang mematahkan rekor yang selama ini dipegang oleh Kaito. Persis seperti makna dari karakter pada nama depan laki-laki itu, dia menjadi orang yang tiba pertama di kelas 2-2. Ia tetap tampak tenang duduk di bangkunya meskipun di sekeliling hanya ada kesunyian yang menyeruak.
Namun, lama kelamaan keheningan itu mulai memudar oleh suara dengungan dari mulutnya yang lebih mirip nyanyian lirih. Justru itu adalah hal bagusnya. Orang lain di sekolah itu tidak perlu merasakan penderitaan seperti yang dialami orang yang tinggal di sekitar kediaman keluarga Fujita.
Jika siswa lain yang dicap teladan umumnya membaca buku catatan, lain halnya dengan anggota klub kendo itu. Jemarinya justru digunakan untuk membuka halaman demi halaman novel yang seharusnya sudah diserahkan kepada sang pemilik asli. Akan tetapi, rasa penasaran akan akhir dari cerita membuat ia enggan mengembalikannya.
Ibu jari dan telunjuknya kembali membuka lembar selanjutnya dengan mata yang bergerak cepat membaca huruf demi huruf. Dia memang tidak begitu suka dengan genre horor semacam itu jika dibandingkan dengan fiksi sejarah. Namun, dia berubah pikiran karena Mai yang memiliki selera tinggi terhadap bacaan saja berhasil menamatkannya.
"Oshiete oshiete yo sono shikumi wo. Boku no naka ni dare ga iru no?" mulutnya kembali berkomat-kamit menyanyikan lagu yang tadi malam membuat kepalanya disapa pedang kayu. Sampai-sampai ia tidak menyadari suara langkah yang perlahan mendekat ke arahnya.
"Hei, apa kau kerasukan lagi?" Ichiro sedikit tersentak. Dia segera memicingkan mata ke arah seseorang yang tiba-tiba menepuk bahunya dengan kalimat yang terdengar seperti sindiran.
"Harusnya aku yang bertanya begitu. Kamu kerasukan apa sampai datang terlambat begini?" lelaki itu bertanya balik. Akan tetapi yang ditanyai justru mengabaikan. Dengan santai dia berjalan melintasi teman sekelasnya tanpa sepatah kata pun dengan wajah datar lalu mengaduk-aduk isi tas.
"Ini belum terlambat," sahut Kaito tanpa intonasi. Ia bahkan tidak menoleh meski hanya untuk sekadar menatap lawan bicaranya. "Arti nyanyianmu, 'siapakah yang ada dalam diriku?' Itu alasan mengapa aku mengiramu kerasukan lagi," jelasnya sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas yang merupakan bagian dari dokumen yang dia bawa ke rumah Ichiro.
"Oi, itu kan hanya lagu. Lagi pula, aku tidak pernah kerasukan apa pun," protes lelaki itu sambil menutup buku yang dibaca sepuluh menit terakhir. Dia menatap tajam ke arah Kaito. Baginya, sama sekali bukan masalah menyanyikan lagu dengan makna seperti itu. Lagi pula, baginya itu hanya keisengan sambil menunggu yang lain.
"Lagu bisa merepresentasikan kata hati seseorang. Jadi, sebaiknya hati-hati dengan apa yang kaunyanyikan." Kaito meletakkan dokumen itu di atas meja kemudian mengeluarkan buku catatan yang selama ini hanya berisi tulisannya yang hampir tidak bisa dibaca orang paling cerdas sekalipun.
"Selain itu, aku belum pernah melihatmu membaca novel. Itu juga alasan kenapa aku mengira kau dirasuki jiwa yang sudah lama sekali menginginkan kehidupan," ucap Kaito seraya membawa benda yang diambilnya kemudian mengambil tempat di bangku tepat di depan Ichiro.
"Apa itu? Apa kau sudah menemukan petunjuk?" tanya lelaki itu antusias. Kaito langsung menunjukkan seringai khas. Ia segera mempersilakan orang di depannya untuk menebak pentunjuk apa yang dia dapat. Dalam hati, ia berseru puas karena usaha menahan kantuk sampai tengah malam tidak sia-sia.
Ichiro mendekatkan wajah, memaksa matanya membaca huruf-huruf di buku catatan yang ditunjukkan oleh Kaito. Beberapa tampak seperti coret-coretan acak yang tidak mirip kanji apa pun. Entah itu memang memiliki arti, atau hanya goresan pulpen biasa yang tidak bermakna.
"Sudahlah, Kaito. Aku menyerah. Tulisanmu itu terlalu estetik," sindir Ichiro sambil mengusap wajah yang semakin lama terasa kebas.
"Aku menemukan beberapa fakta tentang korban. Ueda Kenzo, dia adalah ketua OSIS dari SMA Minamida. Ookiya Yui, guru SD yang belum lama ini menerima penghargaan sebagai guru terbaik di tempatnya bekerja. Kogawa Hibiki, mahasiswa dengan nilai hampir sempurna di setiap mata kuliah.
"Lalu, jangan lupa Kimura Nobu seringkali diincar oleh komplotan penjahat yang membenci keberadaannya. Dan Nishimura Tadashi yang naik jabatan belum lama ini. Intinya, aku bisa menyimpulkan jika lima orang korban yang tewas beberapa minggu terakhir ini ada kemungkinan diincar oleh seseorang dengan motif dendam pribadi," jelas Kaito panjang lebar sambil memasukkan buku catatan kecil itu ke dalam saku.
Ichiro mengangguk-angguk paham. Sekarang, semuanya bisa terhubung dengan penjelasan Emi waktu itu. ia sekarang mengerti kenapa Kaito justru menanyakan soal bagaimana suara nyanyian 'Kagome Kagome' itu terdengar. "Jadi, kau berpikir jika semua ini bukan pembunuhan berantai. Tetapi hanya beberapa orang yang memang berniat membunuh sasaran mereka dengan memanfaatkan urban legend itu?"
"Entahlah, aku belum mencari tahu soal korban-korban lain. Terutama Sasaki Ayumi. Aku hampir tidak menemukan informasi apa pun tentang wanita itu. Lagi pula, kurasa sedikit mustahil mencari informasi tentang korban sebanyak ini. Walaupun begitu, bukan tidak mungkin dugaanmu waktu itu benar." Kaito memegangi dagu, berpikir keras.
Ichiro kembali melenggut. Lalu memerhatikan data-data yang didapatkan Kaito dari kepolisian dengan strategi licik. Memang benar apa yang dikatakan laki-laki itu. Hampir tidak mungkin mencari informasi tentang semua korban yang tewas di Akai Michi lalu mencari pembunuh mereka satu persatu. Jika kesimpulannya memang seperti itu, cara terbaik adalah berhenti melakukan investigasi.
"Kalian ini kenapa?" Mereka berdua langsung terlonjak kaget mendengar suara nyaring di telinga. Keempat mata itu langsung tertuju pada gadis berambut bob yang kali ini diikuti tetangganya sampai ke kelas. "Ini ... bukannya data tentang korban yang Kaito bawa tadi malam?" gumam Honoka.
"Yah, memang benar," ujar Kaito sambil merapikan kertas-kertas yang dia bawa beserta coretan indahnya di atas kertas bekas. Honoka mengembungkan pipi. Apa yang dilakukan lelaki itu membuatnya merasa dilarang untuk mengetahui apa yang baru saja mereka bicarakan. Baginya, jika tak ada kerja sama dan terlalu banyak rahasia di antara mereka, tidak ada gunanya satu tim.
"Ngomong-ngomong, bisa kau jelaskan sedikit tentang novel yang kau baca itu?" Kaito dengan santai bertanya tanpa mengacuhkan ekspresi kesal musuh bebuyutannya. Ichiro melirik buku itu lalu menunjukkan judul yang sudah tampak samar di sampulnya.
"Yah, aku juga sebenarnya tidak terlalu mengerti alur cerita ini. Yang aku ingat pasti, ini tentang seseorang yang ingin menghidupkan kembali keluarganya yang tewas di peperangan dengan cara mengorbankan lima ratus nyawa orang lain menggunakan ritual sihir hitam," terangnya.
Honoka bergidik ngeri mendengar hal itu. Ia dengan cepat mengusap lengan kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Hingga matanya tiba-tiba terfokus pada sesuatu yang tercetak di daftar nama korban yang dibawa Kaito. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia menyentuh tulisan itu.
4.94
"Kode apa ini?" gadis itu berucap samar.
*
Yo, mina-san! Adakah yang kangen updatean sampe sekarang? 😃
Buat kalian yang tau sesuatu tentang kepercayaan orang Jepang, pasti familiar sama angka di atas ya, hehe .... 😅
Oke, jangan lupa tinggalkan jejak 😁.
Nb: cuma sekedar cast Honoka yang udah lama 😄.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top