Twenty Ninth Cage

Suara rintihan dari seseorang yang pergelangan tangannya terikat tali tambang terdengar kentara di antara keheningan. Gelap, sempurna tidak ada cahaya di tempat itu. Ventilasi udara pun tidak ada. Menambah pengap ruangan yang sejak awal memang sudah penuh sesak oleh baru amis darah dan juga cairan pengawet yang pekat.

Pintu tua yang engselnya sudah berkarat dengan gagang dengan noda hitam itu perlahan terbuka. Menimbulkan suara berderit yang membuat tulang terasa ngilu. Cahaya temaram dari luar menerabas masuk ke dalam ruangan, hingga gadis yang terikat itu bisa dengan jelas melihat organ-organ yang sudah tidak lagi utuh yang sebagian di antaranya mulai membusuk dan dikerumuni oleh lalat dan hewan-hewan lain.

Gadis itu menoleh ke sembarang arah. Yang ditemukannya tetap sama, organ tubuh yang sudah terpisah. Rasa takut menjalar ke seluruh raga membayangkan dirinya yang akan bernasib sama seperti mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Isi perutnya seketika mendesak keluar. Namun, dorongan itu masih dapat ia tahan ketika pupilnya menangkap siluet orang misterius yang hampir membantainya di Akai Michi beberapa jam yang lalu.

"Apa kau bermimpi indah, Sayang?" tanya sosok itu sinis sembari berjalan mendekat. Kata terakhir yang diucapkan membuat gadis itu bergidik dan semakin panik, tapi tidak tahu harus berbuat apa dengan kedua tangan dan kaki yang terikat erat. Bahkan, tali yang digunakan itu mulai menyebabkan luka pada pergelangan tangannya.

"S-siapa kau? Di mana ini?!" Yang ditanyai malah balik bertanya dengan nada tinggi sembari bergerak kalap hendak melepaskan diri. Sosok itu menyeringai dingin melihat mangsanya yang takut setengah mati. Lebih tepatnya, takut menyadari dirinya yang berada di depan ambang kematian.

"Kalau tidak salah, namamu OkanoHaruki, kan? Jangan khawatir. Kau akan segera tiba di tempat dimana tidak akan ada lagi penderitaan atau rasa sakit." Mata gadis itu membelalak ketika orang yang telah memberinya obat tidur terus mendekat sambil memainkan kapak yang setiap hari selalu diasah dan dibersihkan, sehingga mampu memenggal kepala seseorang dengan sekali tebasan. Terlebih ketika sadar jika orang itu mengetahui secara tepat nama lengkapnya.

"Kenapa ... kau melakukan ini padaku?! Memangnya apa yang sudah kulakukan? Aku hanya ingin sampai di rumah lebih cepat lewat jalan itu. Aku tidak punya urusan, bahkan tidak mengenalmu sama sekali!" seru gadis bernama Haruki itu tanpa ragu. Sorot matanya yang menampakkan rasa gentar mulai bercampur dengan kilat kemarahan.

Sosok itu memicingkan mata. Melempar kapak yang digenggamnya ke arah Haruki. Dia sangat terkejut, hingga tidak bisa mengelak. Hanya bisa menatap nanar benda yang pada akhirnya menancap sempurna dua milimeter di sebelah kanan kepalanya, memotong beberapa helai anak rambut gadis itu.

Ia ternganga melihat ujung kapak yang sempurna menancap di dinding dengan perasaan ngeri sekaligus sedikit lega. Dia tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika benda itu melibas kepalanya. Wajahnya bisa menjadi terlihat lebih mengerikan dibanding tumpukan organ tubuh yang hampir membusuk sekalipun.

"Kau ini berisik sekali, ya," kata orang itu sinis sambil berjalan mendekat hingga tangannya bisa leluasa mengangkat wajah Haruki sampai mereka dapat bertukar pandang. "Kau bertanya kenapa aku melakukannya?" Haruki hanya bisa meringis menahan sakit akibat luka di pergelangan tangan serta dagunya yang diangkat terlalu tinggi.

Orang misterius yang menyekap Haruki menyeringai sinis kemudian berkata, "Karena kau adalah kunci selanjutnya untuk membebaskan burung ... yang ada di dalam sangkar."

------x---x------

Honoka mengempaskan tubuh di atas tempat tidur, sebal. Biasanya di hari libur seperti ini, dia menghabiskan waktu dengan membaca light novel atau sekadar memainkan game puzzle di ponsel. Akan tetapi, lembar terakhir dalam novel yang dibelinya baru-baru ini sudah habis dia baca sampai larut malam.

Kini dia hanya bisa mendengkus sebal sambil memandang langit-langit kamar. Merutuki keputusan pendek itu. Dia menyesal karena rela bergadang sampai pukul satu dini hari hanya karena penasaran dengan akhir dari novel. Pada akhirnya dia tidak terlalu menikmati hasil usaha dari si penulis yang sudah susah payah menyusun adegan akhir karena matanya sudah terlalu berat.

Jika saja dia menyisakan bab terakhir untuk dibaca hari ini, beberapa keuntungan akan didapatkan. Pertama, dia bisa lebih menghayati adegan pada epilog. Dan yang kedua tentu saja dia tidak akan merasa bosan karena semua novelnya sudah habis dibaca. Untuk membeli yang baru tentu saja dia harus menyisihkan uang belanja selama sebulan.

Sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalanya. Seperti sebuah komet yang cahayanya berpendar di tengah malam. Dia segera meraih ponsel kemudian mencari nama seseorang di daftar kontak, lalu menghubungi nomor itu dengan wajah bersemangat. Waktu berlalu cukup lama hingga akhirnya telepon itu pun tersambung.

"Halo Seira-chan!" Honoka menyapa dengan kedua mata yang berbinar. Padahal secara logika, dia bisa saja langsung mendatangi rumah gadis itu jika malas tidak menghampiri.

"Ah, Honoka. Untuk apa kau menelponku malam-malam begini?" Terdengar sahutan dari seberang sana -- lebih tepatnya dari seberang rumah -- yang terdengar seperti suara seseorang yang baru bangun tidur.

Gadis berambut bob itu sambil menunjuk ke arah jam dinding, padahal tentu saja lawan bicaranya tidak akan dapat melihat kemana arah jari telunjuk tersebut. "Malam? Ini sudah pukul sepuluh pagi."

"Terserahlah, Honoka. Cepat katakan apa maumu. Aku ingin tidur lagi," kata Seira dengan nada malas, lalu menguap lebar di akhir ucapannya, sembari mengucek mata yang perih dan mengusap cairan lengket di pipinya.

"Tadinya aku ingin meminjam beberapa bukumu. Tapi ya sudahlah, lanjutkan saja tidurmu. Lain kali jangan begadang lagi ya," saran Honoka, meski dirinya sendiri melakukan hal yang sama. Gadis yang masih mengenakan piyama tidur itu hanya bisa mengangguk lemah.

Tiba-tiba, suara aneh dari sambungan telepon mengejutkan gadis berambut bob itu. Kedengarannya seperti benda yang jatuh di lantai bawah rumah tetangganya. Karena penasaran bercampur khawatir, ia memutuskan untuk bertanya. "Hei, kau dengar suara itu? Seperti ada yang jatuh."

"Aah ... lupakan saja. Mungkin itu hanya kucing yang menyenggol panci di dapur," balas Seira sambil membenamkan separuh wajah di balik bantal, tidak berniat memeriksa suara aneh itu sama sekali. "Sudah? Aku tidur lagi ya. Daah."

Sambungan telepon segera terputus setelahnya. Menyisakan tatapan bingung Honoka yang masih memandang layar ponsel selama beberapa saat. Bingung dengan beberapa hal yang menganggu pikirannya.

Pertama, Seira tidak suka begadang. Ia selalu tidur lebih awal seperti yang diajarkan kedua orang tuanya dulu. Kalaupun ada tugas sekolah, dia akan berusaha menyelesaikannya sebelum malam hari sehingga tidak ada alasan untuk tidur terlambat walaupun hanya lima menit.

Yang kedua, Seira alergi terhadap bulu kucing, nyaris tidak mungkin dia tiba-tiba memeliharanya. Di sekitar perumahan tersebut juga hampir tidak ada yang memelihara makhluk itu. Jadi, apa yang sebenarnya menyebabkan suara aneh tadi?

Honoka mengedikkan bahu. "Mungkin Seira hanya lupa karena meletakkan pancinya di tempat yang kurang stabil, dan dia terlalu lelah untuk sekadar mengecek penyebab dari suara aneh itu," pikirnya sambil mematikan layar.

*

13 September 2020, 21:06 WITA

Akhirnya, bisa update walaupun harus nulis di dalem mobil. Jujur aja sih, Ichi juga ngerasa bagian ini kurang panjang. Tapi ya udahlah,ini udah lebih 1000 kata 😁.


Makasih buat kalian yang udah mau baca sampe sini. Jangan lupa vote dan comment.

See you soon 😄.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top