Twenty Fourth Cage

Kaito menyandarkan tubuh ke dinding, melipat kedua lengan di depan dada. Membiarkan rambutnya digerak-gerakkan oleh aliran udara. Ia bahkan rela meminta izin untuk tidak ikut kegiatan klub hanya untuk menghabiskan waktu sesaat setelah pulang sekolah di tempat yang sangat jarang dikunjungi siswa lain.

Sementara itu, Honoka memilih untuk berdiri menghadap arah sebaliknya hingga dia tepat berhadapan dengan si ketua klub karate. Akan tetapi, kedua mata gadis itu tertuju pada kertas yang ada di tangan kanannya. Otaknya berpikir keras, mencoba mencerna maksud dari kode yang tidak sengaja ia temukan pagi tadi, dan juga deretan angka lain yang tak kalah membingungkan.

Dengan sedikit keras, Honoka membuang gas karbon dioksida yang tertampung di rongga dadanya. "Nee, Kaito-kun." Yang dipanggil hanya membuka mata yang semula terpejam dengan tenang. Raut wajah datar yang nampak jelas merepresentasikan dirinya yang sedang tidak ada minat.

"Aku menyerah," ucapnya pasrah sambil memberikan beberapa lembar kertas yang dia pinjam. Kaito menerima benda itu lalu membacanya meski bentuknya sudah sedikit lecek. Sampai-sampai lelaki itu sudah hafal betul tulisan dalam kertas tersebut saking seringnya dia baca. Namun, sampai sekarang kesimpulan tentang kode itu belum juga ditemukan.

"Bagaimana?" Ichiro baru saja sampai di atap sekolah setelah kembali dari ruangan milik klub kendo. Kali ini ia memilih untuk meminta izin daripada membolos seperti kemarin. Tentu saja, ia merasa lebih baik diceramahi Takehiko -- ketua klub itu -- daripada memberi siswa lain hiburan gratis dari perdebatan dirinya dengan Seijiro.

"Apanya yang bagaimana?" balas Honoka sedikit kesal sambil ikut-ikutan menyandarkan tubuh di dinding. Ia merasakan kepalanya yang memiliki kapasitas yang tidak sebanding dengan Kaito hampir meledak. Terlebih lagi, gadis itu baru saja melihat namanya berada dalam daftar nama siswa yang harus melakukan ulangan perbaikan matematika.

"Kenapa kau malah marah begitu?" Ichiro mengernyit bingung. Tanpa pikir panjang, ia duduk kemudian bersandar pada dinding, bersisian dengan Kaito. Lelaki itu menyeka keringat yang mengalir dari pelipis dengan napas sedikit terengah. Kakinya terasa pegal setelah berjalan bolak-balik ruangan di SMA Shirotsuki yang begitu luas.

Dia segera membuka tutup botol minuman yang baru saja dia beli ketika hendak pergi ke tempat itu. Pemuda itu meneguk isinya hingga tersisa setengah. "Jangan bilang itu karena kau dapat nilai empat puluh saat ujian," ujarnya santai setelah berusaha keras mengatur pernapasan.

Honoka mendelik, menatap Ichiro seperti seekor singa yang baru saja terganggu dari mimpi indah. Gadis itu mengembungkan pipi sebal. Terlebih lagi ketika melihat seringai tak bersalah tersebut, keinginan untuk melemparnya dari atap semakin menggebu-gebu.

"Hei, apa kau lupa. Nilaimu tiga puluh lima, lebih jelek daripada Honoka," timpal Kaito sembari menurunkan sedikit dokumen yang dibacanya. Baru saja tinju gadis berambut bob itu hampir melayang, suara berat dari sampingnya seolah menahan keinginan itu. Semua kekesalannya pada Ichiro seolah tidak pernah ada. "Lucu sekali seandainya kau mengejek orang yang nilainya bahkan lebih baik darimu," lanjutnya dengan nada sinis.

Meskipun terdengar masih tidak ada semangat di dalamnya, kalimat itu berhasil membuat Honoka tercengung. Menurut gadis itu, tanggapan sinis itu secara tidak langsung menunjukkan jika orang yang mengucapkannya berpihak kepadanya. Walau sangat sederhana, hal itu cukup sudah cukup untuk membuat pipi gadis berambut bob itu bersemu merah. Ia tersenyum tipis. "Kaito ... kau ...," lirihnya.

"Kau juga. Jangan mentang-mentang kau dapat nilai sempurna, kau lupa akan janjimu sepulang sekolah nanti," sahut Ichiro lalu meneguk sisa minumannya sampai tandas. Sebelumnya, dia memang sudah meminta temannya itu untuk menjelaskan materi yang tidak ia mengerti untuk ulangan perbaikan. Kaito hanya mengiyakan tanpa menoleh.

"Ini untuk kalian. Semoga karena kebaikanku ini, Tuhan mengabulkan doaku untuk mendapat nilai sempurna saat ulangan perbaikan nanti," kata Ichiro sambil menyodorkan dua botol minuman yang sama dari dalam tasnya kemudian memasang pose seperti orang yang sedang memohon.

"Kalau tidak belajar, percuma saja berapa kalipun kau berdoa, hasilnya tidak akan memuaskan," cibir Honoka sambil membuka minuman itu. Namun, Ichiro tidak peduli. Seolah kata-kata bijak dari gadis itu tak sampai ke telinganya. Hal tersebut membuat kemarahan yang sempat mereda, kembali memuncak.

"Jadi, kau menemukan sesuatu?" tanya Ichiro seraya mengambil posisi tepat di samping Kaito. Laki-laki bermanik coklat kemerahan itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya berulang kali. "Kau tahu maksud kode itu apa? Apa yang kau simpulkan?" tanyanya lagi.

Kaito menghela napas panjang. "Yah, semoga kau bisa puas dengan apa yang kupikirkan," katanya sambil menurunkan kertas yang sejak sepuluh menit yang lalu menjadi arah fokus dari matanya. Keduanya hanya mengangguk antusias. Bagaimanapun, kemajuan sedikit selalu lebih baik daripada investigasi yang stagnan, tanpa perkembangan apa pun.

Kaito menunjuk ke arah kode angka yang tertulis sebelum identitas dan data lain milik korban. Mereka berdua hanya terdiam sembari mengikuti kemana arah telunjuk Kaito bergerak.

4.94. Kogawa Hibiki, 20, Mahasiswa Kedokteran.
4.93. Ookiya Yui, 27, Guru SD.
4.92. Ueda Kenzo, 18, Siswa SMA.
4.91. Kimura Nobu, 45, Jaksa.
4.90. Nishimura Tadashi, 34, Akuntan.
4.89. Kitagawa Wataru, 40, Pengacara.
4.88. Sasaki Ayumi, 42, Ibu rumah tangga.

"Kalian lihat kan bagaimana pola dari kode ini?" tanya Kaito usai menunjukkan semua bilangan yang dia maksud. Honoka hanya mengangguk, begitu juga dengan Ichiro. "Jadi menurutku, ini hanya cara si penyusun data dalam mengurutkan nama korban berdasarkan waktu kematiannya."

"Angka yang pertama kemungkinan menunjukkan bilangan ratusan, sedangkan dua angka yang mengikutinya adalah puluhan dan satuan. Sesederhana itu. Mengenai kode yang tersusun dari angka empat dan sembilan yang tertera sebelum nama Kogawa Hibiki, kurasa itu hanya kebetulan. Yah, itu sebenarnya karena aku tidak terlalu percaya pada mitos angka empat dan sembilan," terang Kaito kemudian disusul dengan helaan napas panjang.

"Jadi, dia adalah korban yang ke empat ratus sembilan puluh empat?" tanya Honoka. Dia langsung mengusap bulu-bulu di lengannya yang serempak berdiri tegak setelah melihat anggukan Kaito yang menjadi konfirmasi. "Sebanyak itu?" tanyanya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lirih.

"Karena itulah, aku juga mulai berpikir bahwa semua korban ini tidak dibunuh oleh orang yang sama. Mungkin, ini hanya perbuatan dari orang-orang yang memanfaatkan rumor demi memuaskan kepentingan pribadi. Dan kurasa di tempat ini tidak ada psikopat yang rela menghabiskan waktu untuk membantai ratusan orang kemudian mengumpulkan organ tubuhnya," sambung Kaito.

"Tidak, itu bukan hal yang mustahil," sanggah Ichiro. "Dari novel yang kubaca, sang penulis menjelaskan jika semua itu -- ritual sihir hitam untuk membangkitkan kembali jiwa orang yang sudah meninggal -- ada di dunia nyata. Meskipun sang penulis mengarang fakta tersebut untuk membuat orang-orang penasaran, tidak menutup kemungkinan jika ada salah satu pembacanya yang percaya akan hal tersebut, kemudian ingin mencobanya," jelas Ichiro panjang lebar.

"Kurasa kau pasti tahu jika bacaan seringkali memengaruhi cara berpikir pembacanya." Ichiro mengambil beberapa lembar kertas yang masih dipegang Kaito. Namun, angin entah dari mana berembus kencang. Membawa pergi informasi yang susah payah didapatkan.

Mereka bertiga termenung melihat benda putih tipis yang melayang-layang bebas kemudian menyangkut di salah satu ranting pohon sakura yang sedang tidak berbunga. Tiga detik berlalu, mereka segera tersadar akan masalah yang akan menimpa jika data tersebut jatuh ke tangan orang lain.

Tanpa pikir panjang, Kaito segera berbalik kemudian berlari cepat menuruni tangga. Tidak peduli walaupun dalam sekali langkah, tiga anak tangga bisa terlompati. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak mengacuhkan apa pun. Prioritas utamanya saat ini hanyalah mengambil kembali kertas itu.

"Sudah kuduga. Atap sekolah bukan tempat yang bagus, Baka-ito!" Honoka yang berlari tepat di belakang lelaki itu berteriak kencang.

"Kau tidak pernah bilang begitu!" balas Kaito dengan nada yang sama. Mereka berdua sama sekali tidak mengindahkan peraturan yang cukup sering dilanggar siswa lain.

Salah seorang guru yang nyaris bertabrakan dengan mereka mendelik. "Jangan lari di koridor!" teriaknya.

"Maaf, Mito-sensei!" seru Honoka sambil berusaha menyamai langkah cepat pemuda di depannya. Sementara Kaito tidak terlalu memerhatikan hingga ia sampai tepat di bawah pohon sakura depan sekolah.

Kaito mendongak mencari letak dokumen yang tersangkut di sana. Akan tetapi, hasilnya nihil. Dia berlari ke sisi lainnya dengan napas terengah-engah. Namun, hasilnya sama saja. Ia semakin cemas. Berbagai spekulasi negatif terus menyerang pikirannya. Bagaimana jika kertas itu diterbangkan angin ke suatu tempat lalu ditemukan orang yang tidak bertanggung jawab? batinnya.

"Oi!" Suara keras memanggil mereka membuat keduanya serempak menoleh ke sisi pohon sakura yang satunya. Kaito memicingkan mata yang memang sudah sipit, lalu berlari ke arah sumber suara. Seketika, bibir mereka terbuka saat melihat apa yang ada di tempat itu.

"Lihatlah apa yang aku dapat," ujar Ichiro sambil memamerkan benda di tangannya dengan seringai puas. Kaito menghela napas lega, begitu pun dengan Honoka. Mereka benar-benar bersyukur dokumen tersebut masih bisa terselamatkan sebelum angin membawanya lebih jauh. Namun, sebuah pertanyaan seketika muncul di benak mereka.

"Bagaimana ... kau bisa sampai di bawah secepat ... itu kemudian mengambilnya?" Honoka bertanya sambil berusaha mengatur aliran udara yang masuk dan keluar dari rongga dadanya.

Ichiro tersenyum miring, menyerahkan benda yang menunjukkan keberhasilannya hari ini kepada Kaito. "Yah, kurasa kalian bisa menebak," sahutnya sambil mendongak ke arah atap sekolah. Tanpa disuruh, kedua temannya ikut melakukan hal serupa.

"Jangan bilang kau melompat dari sana lalu memanjat pohon ini." Ketua klub karate itu mengalihkan pandangan kepada lawan bicaranya.

"Yah, kau hampir benar." Ichiro hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Seakan tidak tahu jika hal tersebut bisa membuat seluruh tulangnya remuk, bahkan kehilangan nyawa.

"Melompat dari lantai empat itu sangat mustahil. Lagi pula, sangat berbahaya melakukannya tanpa pengaman!" seru Honoka. Akan tetapi, lagi-lagi nasihatnya dianggap sama seperti angin yang menerbangkan data-data korban yang tewas di Akai Michi.

"Sudah kubilang, 'Kau hampir benar.' Artinya, itu tidak sepenuhnya tepat." Lelaki itu tidak mau kalah. "Selain itu, harusnya kau bersyukur aku berhasil mengambilnya sebelum terlambat," dalihnya. Membuat Honoka semakin kesal dan ingin memukulnya.

Tak terlalu jauh dari tempat itu, sepasang mata tengah mengawasi mereka. Orang itu hanya berdecih kesal setelah gagal mendapatkan dokumen tersebut karena Ichiro mengambilnya dengan tangan sendiri setelah memanjat pohon sakura itu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun, bukannya pergi, ia malah tetap diam di tempat itu. Menatap mereka bertiga dengan sorot mata tajam.

*

[1] Sama seperti angka sembilan, empat juga dipercaya membawa kesialan karena empat 「四」dalam bahasa Jepang adalah 'yon' atau 'shi'. Sedangkan 'shi' jika ditulis dengan kanji yang berbeda 「死」 juga memiliki arti 'kematian'.

[2] Sensei: guru.

Oh ya, Ichi juga mau bilang sesuatu sih soal work sebelah yang nggak tamat-tamat. Mulai bulan depan, naskah itu Ichi ikutkan di 300 days challenge. Dimana setiap peserta wajib update minimal satu chapter setiap minggu. Doakan naskah Ichi itu sukses seperti "kakak-kakaknya" ya 😄.

Oke, mungkin sampe sini aja dulu. Jangan lupa tinggalkan jejak 😁.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top