Twenty First Cage

Sang surya telah kembali ke balik cakrawala. Sisa-sisa sinar kemerahannya pun telah melebur bersama kegelapan. Taburan bintang mengiringi bulan bagai barisan rapi prajurit di belakang sang panglima. Berdiri tegap meski deruan angin tak kenal menyerah berusaha mencapai posisinya yang begitu tinggi.

Malam yang begitu nyaman dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang membawa serta dedaunan kering dari. Ketenangan terasa di setiap penjuru kota. Kecuali di sekitar rumah dengan karakter 'wisteria' dan 'sawah' yang terpampang jelas di gerbang depan.

https://youtu.be/Fve_lHIPa-I

"Dareka ga egaita sekai no naka de. Anata wo kizutsuketaku wa nai yo. Oboeteite boku no koto wo."

Kedamaian di sekitar rumah itu hancur berkeping-keping karena suara nyanyian -- yang sebenarnya lebih mirip teriakan tidak jelas -- dari sebuah kamar di lantai dua. Beberapa penghuni rumah di sekitarnya yang belum terbiasa lekas menyetel musik yang lebih manusiawi dengan volume tinggi. Sementara sisanya tidak acuh dan menganggapnya seolah suara kokokan ayam yang baru saja bertelur.

Pemuda itu menaikkan volume lagu dari ponsel ketika sampai di bagian reff kemudian ikut bernyanyi dengan suara yang tidak mendukung hobinya. Akan tetapi, dia tetap percaya diri melakukannya sambil melakukan gerakan-gerakan aneh layaknya seorang penyanyi rock hingga usaha sang nenek untuk merapikan tempat itu sama sekali menjadi tak terlihat lagi.

Lagu itu otomatis diulang ketika sudah mencapai bagian akhir. Dia memang sengaja menyalakan repeat pada lagu yang tidak pernah membuatnya bosan walaupun diulang ribuan kali. Karena tenggelam dalam nada-nada dari headphone yang dipakai, ia sama sekali tidak peduli dengan seruan marah tetangga, ocehan sang adik yang tidak bisa fokus belajar, serta suara bel pintu dari tamu yang datang.

"Mugen ni hirogaru kodoku ga karamaru. Mujaki ni waratta kioku ga sasatte. Ugokenai ugokenai ugokenai ugokenai ugokenai ugokenai yo. Unravelling the world!"

Tak!

Laki-laki itu meringis memegangi kepalanya yang sakit setelah terbentur sebuah benda keras. Ia segera melepas headphone lalu berbalik. "Kamu .... Apa kamu pikir kepalaku tidak sakit?" ujarnya sambil menggosok bagian yang sakit dengan rambut.

"Dan kau pikir telinga tetangga tidak sakit karena nyanyianmu?" balas sang adik yang baru saja memukul kepala Ichiro dengan pedang kayu yang biasa mereka gunakan untuk berlatih kendo di halaman belakang rumah nan sempit. Ia sangat kesal karena tugas sekolah yang dikerjakannya sama sekali tidak ada kemajuan sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Panggil saja aku baik-baik. Tidak perlu memukul," dengkusnya sambil mematikan aplikasi music player di handphone. Mencabut benda yang ada di telinganya sejak tadi lalu melemparnya sembarangan ke atas tempat tidur.

"Aku sudah berkali-kali memanggil, 'Ichi nii-san'. Tapi suaramu yang lebih mirip suara burung gagak itu membuat siapa pun tidak mendengarkan aku. Jadi, daripada suaraku ikut serak, lebih baik kugunakan saja pedang yang sudah lama menganggur ini. Dan sebaiknya, Onii-san bersyukur karena aku tidak perlu menggunakan pedang asli untuk menyadarkanmu." Ichiro menggerutu dalam hati mendengar perkataan adiknya yang penuh dengan sarkasme.

"Hei, suaraku tidak sama sekali mirip burung gagak. Selain itu, tentu saja aku tidak akan menyahut jika kau memanggilku 'satu dua tiga'. Aku kan sudah bilang, berhenti memanggilku dengan nama penulis cerita ini," balas Ichiro tidak mau kalah sambil menatap tajam Seijiro yang sedikit beruntung karena dikaruniai suara lebih indah dari miliknya.

"Terserah apa katamu. Yang jelas, hentikan teriakan -- yang lebih terdengar seperti orang kerasukan itu -- sebelum Obaa-san terbangun. Dan asal kau tahu saja. Kaito-senpai dan yang lain menunggumu di bawah," ujarnya lalu segera kembali bersama dengan pedang kayu yang hampir membuat kepala sang kakak benjol.

Lelaki itu semakin kesal. Akan tetapi, ia merasa jika ucapan Seijiro ada benarnya. Daripada terus mengomel dalam hati, lebih baik ia segera turun untuk menanyakan alasan ketua klub karate itu datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Dan mungkin saja teman sekelas yang kurang peka itu mendapatkan sesuatu yang penting untuk penyelidikan mereka.

Sesampainya di lantai bawah, pemuda itu menemukan jika ucapan adiknya bukanlah kebohongan. Di sana sudah ada Kaito bersama Honoka sekaligus Seira. "Ah, Seijiro-kun. Apa hantu yang merasuki Ichiro sudah keluar?" tanya lelaki itu seolah tidak tahu jika orang yang ditanyai bukan Seijiro. Atau yang lebih tepat, benar-benar tidak tahu.

Kemarahan yang sempat mereda kembali memuncak. Tanpa pikir panjang, ia berjalan mendekat lalu mencengkeram kerah kemeja Kaito. "Baka-ito! Ini aku, Ichiro. Dan siapa yang bilang kalau aku kerasukan?!" serunya.

Kaito hanya memandang datar. "Maaf, tapi kau mirip sekali dengan adikmu," jawabnya ringan sambil berusaha melepaskan kerah bajunya dari cengkeraman partner-nya itu. "Selain itu, dia juga yang mengatakan jika kau mungkin sedang dirasuki makhluk tak kasat mata," lanjutnya.

Ichiro memicingkan mata, mengepalkan kedua tangan. "Seijiro ... awas kau," gumam lelaki itu. Seketika, tubuhnya seolah mengeluarkan aura hitam layaknya dalam film. Membuat Honoka sedikit bergidik ngeri.

"Hei, sudahlah. Tidak usah membuat kami semakin takut!" seru gadis berambut bob itu. Sepanjang perjalanan ke tempat itu, ia benar-benar dibuat merasa gemetar oleh kisah seram yang diceritakan oleh Kaito untuk mengusir kebosanan. Namun, Honoka malah tak henti-henti mengusap bulu kuduk yang meremang akibat temannya yang tidak bisa membaca keadaan.

Ichiro segera berhenti melakukannya. Ia mencoba tersenyum lebar mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. "Jadi, kenapa kalian datang malam-malam ke rumahku?" tanya laki-laki itu sambil membawa empat cangkir teh dari dapur.

Salah satu sudut bibir Kaito tertarik ke atas membentuk senyuman miring. Dia mengeluarkan setumpuk kertas yang dijepit menggunakan klip. "Aku sudah dapat data-data korban yang tewas di Akai Michi. Ini semua diurutkan dari yang terbaru. Karena terlalu banyak, aku tidak sempat membaca semuanya. Jadi, aku berikan saja salinannya untukmu. Siapa tahu kau mendapat petunjuk lebih cepat daripada aku," jelas pemuda itu.

Ichiro yang baru menelan seteguk teh segera meletakkan cangkir lalu mengalihkan perhatian pada tumpukan kertas itu. "Dari mana kau dapat semua ini?" tanyanya.

"Yah, tidak sulit mendapatkan ini jika kau kenal baik dengan salah satu anggota kepolisian." Laki-laki bermanik coklat kemerahan itu mengedikkan bahu. Tentu saja yang dia maksud adalah Kazuhiko. Polisi muda itu bisa dengan mudah dimintai informasi oleh Kaito hanya dengan mengancam akan melaporkan aksinya pada Keiko.

Ichiro kembali mengamati dan mencoba mencerna data-data korban yang meliputi nama, pekerjaan, usia, dan informasi lainnya. Tentu saja semua ini sudah lebih dari cukup untuk membantu penyelidikan. Dengan mencari kesamaan di antara pada korban, seseorang bisa menebak motif dari seorang pembunuh berantai.

Kogawa Hibiki, 20, Mahasiswa kedokteran.

Ookiya Yui, 27, Guru SD.

Ueda Kenzo, 18, Siswa SMA.

Kimura Nobu, 45, Jaksa.

Nishimura Tadashi, 34, Akuntan.

Kitagawa Wataru, 40, Pengacara.

Sasaki Ayumi, 42, Ibu rumah tangga.

Ichiro memijat pelipis begitu selesai membaca halaman pertama. Kepalanya terasa pening memikirkan persamaan di antara mereka yang hampir tidak ada sama sekali. Ternyata menebak motif pelaku tidak semudah itu. Akan tetapi, berkata bahwa dirinya menyerah setelah mengajak Kaito melakukan investigasi seolah menjadi pilihan terakhir setelah tidak ada jalan lain.

"Bagaimana?" tanya Kaito setelah menyesap teh yang disuguhkan untuk mereka. Sementara kedua gadis di dekatnya hanya bisa mengamati dengan ekspresi masing-masing. Honoka memandang kedua lelaki itu bergantian, menanti jawaban. Berbeda dengan Seira yang sama sekali tidak mengubah wajah dinginnya semenjak menginjakkan kaki di rumah itu.

"Entahlah, aku juga belum bisa menemukan apa pun di lembar pertama. Tapi, mungkin nanti aku bisa menemukan hal yang jauh lebih besar," dalihnya. Kaito hanya merespons dengan anggukan.

"Baiklah, kalau begitu. Kami pulang dulu. Semoga berhasil," ujarnya lalu beranjak keluar. Ichiro melambaikan tangan dari depan pintu, yang kemudian hanya dibalas oleh Seira dengan mengangkat tangan kanannya, masih dengan ekspresi dingin.

Ichiro tidak peduli. Ia segera melangkah masuk membawa salinan data itu ke dalam kamar kemudian meletakkannya di atas meja. Tanpa menunggu lebih lama, dia memasang kembali headphone lalu bernyanyi dengan suara yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya.

------x---x-----

Sementara itu, Kaito serta dua orang gadis lainnya berjalan pulang dalam diam. Oh, ralat. Hanya mereka berdua yang membisu. Sementara Honoka terus mengomeli temannya yang tidak tahu waktu menceritakan kisah seram. Sedangkan yang satu lagi tidak terlalu peduli.

Seira terus memandang ke arah kegelapan di samping kanan. Dia tidak mengacuhkan keberadaan dua orang teman sekelasnya. Seolah ada sesuatu yang gadis itu perhatikan di antara cahaya yang sangat minim. "Maaf, Honoka-chan, Ishida-san. Kalian sebaiknya pulang berdua saja. Aku harus pergi," pamitnya lalu meninggalkan mereka berdua dengan sejuta tanda tanya.

"Dasar Seira!" gumam Honoka setelah bayangan gadis berambut panjang itu menghilang entah kemana dari pandangan mereka. Berbeda dengan Kaito yang seketika tenggelam dalam pemikiran liarnya sendiri.

"Kenapa aku merasa ada yang aneh?" batinnya.

*

[1] pengucapan "Ichi nii-san" terdengar mirip dengan angka dalam bahasa Jepang yaitu 'ichi' yang berarti satu, 'ni' adalah dua, dan 'san' yang artinya tiga.

Update dulu, mumpung nggak ada tugas 😅.

Yah, Ichiro. Nggak papa sih kalo nama kita cuma beda satu karakter. Soalnya, Ichi juga emang sengaja 😂.

Ini udah 25K kata. Tapi masih aja belum jelas. Keliatan banget kalo cerita ini pace-nya lambat 😆.

OK, jangan lupa tinggalkan jejak 😁.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top