Twenty Fifth Cage

Orang misterius itu cukup lama berdiri di salah satu sisi gerbang. Mengamati kedua pemuda yang sedang bertransformasi menjadi detektif amatir, meskipun satu di antaranya melakukan hal tersebut demi tujuan lain. Ia tetap bergeming di tempat itu. Padahal kenyataannya, tidak ada sepatah katapun yang berhasil ia dengar.

Kedua pupilnya seolah sudah tidak bisa bergerak ke arah lain. Orang itu mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk mengawasi keduanya. Meskipun itu sia-sia, ia tidak peduli. Janji kepada sosok gadis di dalam mimpi membuat semangat untuk melancarkan misinya semakin membara. Sampai-sampai dia tidak sadar akan seseorang yang justru memandangi dengan sejuta tanda tanya.

"Seira-chan?" Honoka memiringkan kepala enam puluh derajat. Heran dengan kelakuan teman kecilnya yang biasa tampak kalem -- atau lebih tepatnya dingin -- dan tidak pernah berminat melakukan hal tidak berguna tiba-tiba berlagak seperti seorang agen rahasia yang sedang mengawasi musuh dalam film aksi. Ia benar-benar tak menyangka jika gadis itu juga masih bisa melakukan hal aneh di balik sikap cool-nya selama ini.

Yang namanya dipanggil langsung menoleh dengan mata terbelalak. Gadis itu sontak tersedak liur sendiri. Jantungnya seolah hendak copot. Bahkan, dirinya hampir berteriak histeria karena mengira Honoka adalah salah satu guru atau kakak kelas yang curiga demgan sikapnya. "Etto ... Honoka-chan." Seira menggaruk tengkuk yang tidak gatal, mencoba menghindari sorot mata penasaran temannya.

"Ano ... sedang apa kau di sini? Aku pikir ... kau sudah pulang lebih dulu ... dengan Kaito. Y-yah, seperti biasa," tanya Seira terbata-bata. Ia menyeringai seperti kuda. Dalam hati, dia menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa bertingkah biasa usai dipergoki gadis berambut bob itu. Tertawa hambar saat Honoka berusaha keras melakukan kontak mata. Namun, usaha itu sama persis seperti mendekatkan magnet dengan kutub sama. Tidak pernah bertemu.

"Harusnya aku yang bertanya begitu, Seira-chan," balas Honoka tidak mengerti sambil menyisipkan poni ke belakang telinga. "Lagi pula, tidak mungkin aku pulang lebih dulu dengan Kaito, sementara kau lihat sendiri. Anak itu sepertinya mau menjadi penjaga sekolah malam ini." Dia mengembungkan pipi, menunjuk laki-laki yang dia maksud dengan dagu.

Seira tertegun menyadari hal itu. Ia kembali menggaruk tengkuk seraya tertawa kecil. "Y-yah, kau ... benar juga ya," sahutnya. "Maaf, aku sedikit aneh hari ini," ungkapnya sambil sedikit membungkukkan badan. Honoka tersenyum kecil seraya menggeleng. Namun beberapa saat kemudian, lekukan itu berubah menjadi raut wajah sendu.

Seira mengernyit bingung. Gadis itu berpikir, apa yang sebenarnya dia pikirkan sampai-sampai ekspresinya berubah secepat itu. Apakah itu karena Honoka tidak suka dengan sikapnya atau apa. Masalahnya, dia baru saja mengangguk sambil tersenyum ketika Seira meminta maaf.

Seolah bisa membaca pikiran sahabat kecilnya yang kebingungan, Honoka segera menanyakan hal yang mengganggu pikirannya. "Kamu melakukan itu ...." Ucapan gadis bermabut bob itu lebih terdengar seperti sebuah gumaman. "... bukan karena kau juga diam-diam menyukai Kaito, kan?" tanyanya lirih.

"Hee?!" Seira kembali tersentak kaget. Reaksinya kali ini bahkan mengalahkan yang sebelumnya. Dia menggeleng kuat-kuat sambil melambaikan kedua tangannya. "Ti-tidak ... tidak mungkin! Kenapa aku harus tertarik pada laki-laki sok tahu dan tidak peka seperti dia. Memangnya kau pikir stok lelaki tampan di dunia ini sudah habis?!" dia berseru marah, tetapi tidak bisa menyembunyikan rona pipinya.

Honoka tertawa kecil. "Oh, iya. Kau benar juga. Mana mungkin kau tertarik pada orang yang tidak peka seperti Kaito," sahutnya ringan. Meskipun di sudut hati terdalam, ia merasa kesal karena harus menyimpan perasaan kepada orang yang tidak pernah mengerti walau sudah dijelaskan berkali-kali.

Kenapa juga ... aku harus menyukai dia? batin Honoka seraya mengarahkan pandangan ke ujung sepatu. Walau sebenarnya ia tidak benar-benar fokus melihat benda itu. Seira yang semakin tidak mengerti dengan ekspresi temannya yang cepat sekali berubah memtuskan untuk bertanya. Akan tetapi, lagi-lagi hanya dibalas dengan senyuman kecil.

"Sudahlah, ayo kita pulang. Kau sudah berjanji akan mengajariku, kan?" Dengan cepat, Honoka mengalihkan topik pembicaraan kemudian menyeret lengan Seira pergi menjauhi gerbang.

------x---x------

"Memangnya klub sastra sesibuk itu, ya?" Ichiro menautkan jari-jarinya kemudian menaruhnya di belakang leher. Dia mengatakan kalimat tersebut dengan cara bergumam sehingga ucapannya lebih mirip pertanyaan kepada diri sendiri. Ditambah lagi dengan tatapan yang justru terarah pada langit sore, membuat Kaito tidak merasa jika dirinyalah yang diajam bicara.

"Oi! Kau dengar aku atau tidak?!" serunya. Kaito hanya menoleh sedikit sembari mengangkat sebelah alis. "Seira setiap hari berdalih ada kegiatan klub sebelum pergi entah kemana meninggalkan Honoka. Apa menurutmu itu tidak mencurigakan?" lanjutnya sambil memegangi dagu dengan lengan satunya terlipat.

"Apa kau pikir itu penting?" Kaito bertanya balik. "Yah, sejujurnya ada atau tidak ada Seira dalam investigasi ini, tidak ada bedanya. Dia hampir tidak pernah membantu kita, walaupun hanya dengan mengutarakan pendapatnya. Jadi, apa peduliku soal sibuk tidaknya klub sastra?" balasnya seraya mengedikkan bahu.

"Baka-ito! Rupanya kau sama sekali tidak mengerti apa yang kubicarakan. Maksudku, jika dia terus-menerus seperti itu, bukankah itu menjadi sangat mencurigakan. Masalahnya, aku sering menemukan anggota klub sastra lain di depan gerbang, atau tempat selain ruang klubnya, ketika Seira beralasan ada kegiatan. Dan itu adalah fakta yang benar-benar menggangguku," papar Ichiro panjang lebar.

"Justru jika dia benar-benar pelakunya, itu sama sekali tidak masuk akal," sanggah Kaito.

"Eh?" Pernyataan itu sukses membuat dahi Ichiro terlipat. "Kau ini bicara apa?"

"Aku memang sempat curiga. Tetapi setelah kupikir-pikir lagi, itu terlalu aneh. Jika benar pelakunya ada Seira, kenapa dia justru menghindari kita. Padahal, jika dia setia mengikuti diskusi kita, dia bisa mendapat informasi penting yang tidak diketahui siapa pun di sekolah ini. Jadi dengan begitu, dia bisa saja mengubah rencananya lebih cepat dan mengelabui kita dengan memberi informasi keliru.

"Selain itu, jika anak itu memang pelakunya, mengapa dia membiarkan dirinya semakin dicurigai dengan cara itu? Mengapa dia tidak membuat kita percaya seratus persen padanya dengan, cara yang kusebutkan tadi? Walaupun aku tahu, 'Dia sering berusaha kabur,' bisa dijadikan bukti yang kuat untuk mencurigai seseorang. Tetapi menurutku itu hanya berlaku jika pada saat tersangka pergi, korban bertambah banyak," Kaito menjelaskan.

Ichiro terdiam cukup lama, mecoba mencerna penjelasan yang panjangnya tiga kali lipat dari argumennya. Beberapa saat kemudian, helaan napas panjang mengakhiri renungan panjangnya. "Yah, walaupun aku tak sepenuhnya mengerti maksudmu, aku tahu apa pun yang kau katakan ada benarnya. Walaupun terkadang masih salah," laki-laki itu berkata dengan kalimat terakhir yang digumamkan.

"Entahlah, aku juga bingung bagaimana cara menjelaskan ini agar kau bisa mengerti." Kaito memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu," ucapnya memecah keheningan yang berhasil tercipta selama beberapa menit.

"Hm?" Ichiro menoleh heran. Baginya itu benar-benar aneh. Kaito yang selalu mampu mematahkan argumen lawan bicaranya, kali ini tiba-tiba meminta pendapat dia yang berstatus sebagai orang yang ucapannya paling cepat dipatahkan.

"Menurutmu, apa skenario terburuk yang akan terjadi jika kita gagal menghentikan orang itu, sedangkan pembunuhan berantai ini memang dimaksudkan untuk ritual yang kau maksud?" tanya Kaito dengan raut wajah seriusnya yang sama sekali belum berubah.

"Hmm ... mungkin yang terburuk adalah kita akan menjadi orang selanjutnya yang menjadi bayaran atas ritual itu, sehingga tumbalnya genap lima ratus nyawa. Karena jika dugaanmu mengenai kode itu benar, artinya si pelaku membutuhkan paling sedikit enam korban lagi," jelasnya sembari mengusap bulu-bulu halus di lengannya yang tiba-tiba meremang.

"Apa menurutmu, masih ada taruhan yang lebih besar jika kita gagal? Ayolah Ichiro. Buat aku bersemangat dengan dugaan paling mengerikan yang kau punya." Pemuda itu tempaknya masih belum puas. Ia masih ingin mendengar kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa memicu semangatnya dalam menangkap si pelaku.

"Tidak ada," yang ditanya menyahut cepat. Masalahnya, dia benar-benar tidak mengerti mengapa ada orang yang membangkitkan semangat dengan cara mendengar spekulasi mengerikan. "Memangnya kau pikir yang sudah kukatakan tadi bukan hal buruk?" Ichiro balas bertanya.

Kaito hanya mengedikkan bahu tidak acuh. "Selama aku tidak pergi ke Akai Michi malam hari, aku tahu itu tidak akan terjadi," jawabnya ringan sambil mempercepat langkah hingga kauh berada di depan teman sekelasnya itu.

"Jadi kau pikir nyawa orang lain yang menjadi korban itu tidak berharga? Oke, skenario terburuknya, bagaimana jika si pelaku memutuskan untuk memilih secara acak orang di sekelilingnya sebagai korban?" Laki-laki itu masih belum mau kalah.

Kaito seketika tertegun. Ia menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga sepenuhnya menghadap Ichiro. "Kau bilang apa tadi?"

*

23 Agustus 2020

Yes, update lagi! Akhir-akhir ini kenapa Ichi malah mageran ya? Padahal ini udah mendekati ending.

Petunjuk udah kesebar. Masih belum peka? Masih belum sadar pelakunya siapa? 😅

Udahlah, semoga kalian cepet peka. Enggak kayak K**** yang terkenal karena ketidakpekaannya 🤣

Oke, lagi males nulis note panjang-panjang.

-----------------------------

Catatan revisi [23 Agustus 2021]:

Wah, enggak nyangka udah setahun sejak cerita ini di-publish. Dari sini aku bisa liat sejauh apa perkembanganku. 

Buat yang sudah membaca cerita ini, terima kasih banyak. 

Rencananya Inside The Cage akan aku ikutkan  wattys tahun ini. Doakan yang terbaik, ya.

-----------------------------

Jangan lupa tinggalkan vote dan comment, seperti biasa.

See you soon 😄.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top