Twenty Eighth Cage
Suara bel pintu di kediaman keluarga Ishida berhasil mengusik seluruh penghuninya yang tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Keiko yang lagi-lagi harus menuruti perintah Mitsuki untuk mengecilkan volume televisi, dengan terpaksa berjalan menuju pintu depan dan melihat siapa yang datang.
Namun, ekspresi jengkel itu seketika berubah saat melihat orang yang baru saja memencet bel. "Keiko-chan, sudah lama ya aku tidak berkunjung," ucap sang tamu yang ternyata seorang perempuan sambil tersenyum ramah.
"Ah, Erika nee-chan!" Keiko berseru heboh. Sampai-sampai Kaito yang sibuk membersihkan debu yang menempel di koleksi action figure di rak atas kamarnya hampir terjatuh dari kursi. Gadis bermata empat itu tertawa kecil. Dia sengaja melakukan itu agar kakaknya yang selalu sok sibuk dengan pekerjaan kantor berhenti sejenak.
Erika ikut tertawa melihat reaksi berlebihan itu. "Ada apa, Keiko? Kau ini seperti bertemu orang yang sudah menghilang bertahun-tahun saja. Padahal aku kan tetanggamu," katanya sambil menunjuk ke arah rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah tempatnya berdiri.
"Jangan dianggap serius, Erika nee-chan. Aku sengaja agar Onii-chan mau menghentikan pekerjaannya sebentar. Akhir-akhir ini dia mulai menjadi aneh. Mungkin bahasa Inggrisnya workaholic, ya?" Keiko pura-pura berbisik. Padahal tidak akan ada yang berniat menguping pembicaraan itu.
"Oh, kalau dia sibuk, jangan mengganggunya. Aku hanya ingin menitipkan ini," Erika cepat-cepat menyerahkan kantong kertas yang dibawanya. Dia menunduk sambil menyisipkan poni ke belakang telinga dengan tersipu malu.
"Onii-chan! Kau ini tega sekali. Kau pikir pekerjaanmu itu lebih penting? Erika nee-chan jauh lebih penting. Lihat, kau membuatnya menangis! Baiklah, kalau kau takut pada bosmu, aku siap membantingnya jika dia berani marah karena kau lebih mengutamakan Erika!" Keiko berseru panjang lebar ke dalam rumah. Seolah tidak tahu jika orang lain di sekitar sana terkejut, mengira ada badai petir.
Erika menurunkan kedua tangan yang ia gunakan untuk menutup telinga sembari memandang heran gadis berkacamata yang tertawa kecil setelah puas meneriaki sang kakak, tanpa rasa bersalah. Dari segi apa pun, baik volume suara maupun ancaman, itu pasti sangat mengganggu konsentrasi kakaknya.
Tidak sampai satu menit, orang yang dipanggil melangkah ke tempat itu dengan bersungut-sungut. "Awas kau, Keiko," gumam lelaki itu dengan tatapan tajam. Namun, Keiko tidak takut sama sekali. Dia malah mengangkat alis lalu menjulurkan lidah dengan kedua lengan terlipat di depan dada.
"Etto ... Mitsuki-kun, kau pasti lelah kan? Aku membuatkanmu kue kering. Dan ... semoga saja rasanya tidak aneh." Erika menyerahkan kantong kertas yang dibawanya sambil menutup sebagian wajahnya dengan syal bermotif kotak-kotak yang dia kenakan. Meski tubuhnya tepat menghadap si lawan bicara, matanya malah melirik ke arah lain.
"Ah, begitu ya. Terima kasih, Erika-chan," balas laki-laki itu sambil menerima pemberian teman kecilnya. Sementara tangan yang lain menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Sama seperti perempuan itu, Mitsuki juga ikut menoleh ke arah lain demi menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah.
Erika menggeleng samar. "Tidak apa-apa. Anggap saja itu ungkapan terima kasih kepada sang rembulan yang telah membuat bunga ini tak lagi sendiri," ungkapnya. Keiko mengernyit bingung melihat kakaknya yang cukup lemah di pelajaran sastra begitu cepat menangkap maksud dari kalimat puitis itu.
"Nee ... bukankah ini aneh." Ketiganya langsung menoleh pada Kaito yang ternyata sudah berada di belakang kakak perempuannya sejak setengah menit yang lalu. Pemuda itu memegangi dagu layaknya seorang detektif yang baru saja menemukan hal janggal dari hasil investigasi.
Diamnya Kaito membuat Mitsuki tidak bisa menahan rasa penasaran. "Apa yang aneh?"
"Kalian sudah saling mengenal hampir dua puluh lima tahun. Kalian juga berteman selama itu. Sebelumnya kalian tidak pernah segan untuk berbicara banyak hal. Tapi sekarang, kenapa kalian malah malu-malu kucing saat bertemu?" terang Kaito sambil pura-pura berpikir keras.
Keiko mengangguk-angguk setuju. "Benar juga. Kalian kan sudah bertunangan dua minggu yang lalu. Keluarga dari kedua belah pihak juga sudah merestui hubungan kalian. Dan sekarang, kenapa kalian malah menjadi seperti anak SMA yang sedang kasmaran?" gadis itu menambahkan.
"Justru itu masalahnya. Kalian tidak akan mengerti kalau belum mengalami!" protes Mitsuki.
Erika semakin salah tingkah mendengar tuturan dua orang tidak tahu situasi itu. Ia kembali menutupi wajah dengan syal. Namun tak urung pipinya semakin memerah. "M-maaf ..., aku harus segera pulang. Jangan lupa janji kita besok, Mitsuki-kun," pamitnya kemudian berlari kencang hingga tidak terlihat lagi oleh ketiga kakak beradik itu.
Mitsuki melambaikan tangan pelan dengan mulut sedikit terbuka. Lelaki itu sedikit heran pada perempuan yang biasanya langsung menyerah jika harus bertanding lari tercepat, kali ini bisa langsung lenyap dari pandangan dalam hitungan detik. Sampai-sampai, langkahnya hampir tidak terlihat oleh tiga orang di depan pintu.
Sementara Keiko yang mendengar potongan percakapan tadi memicingkan mata ke arah sang kakak. Kedua tangannya terlipat dengan ekspresi muka galak. "Onii-chan, janji apa yang kalian bicarakan? Seluruh keluarga sudah setuju. Kalian tidak perlu kawin lari," sentaknya.
"Memangnya siapa yang mau kawin lari?!" balas Mitsuki tidak terima. Perdebatan keduanya pun tidak terelakkan. Kaito yang sudah bisa menebak bahwa mendengar adu mulut itu akan sangat membosankan, memilih untuk balik kanan. Tidak mau terlibat lebih jauh dalam pertengkaran kedua kakaknya yang sedang menunjukkan sisi kekanakan.
Dia kembali meneruskan kegiatan bersih-bersih yang sempat terhenti. Laki-laki itu memandangi koleksi action figure-nya yang kebanyakan merupakan karakter dari anime satu persatu. Memperpendek jarak satu sama lain sehingga tersisa satu tempat kosong di tengah.
"Aku sudah mempersiapkan tempat untukmu. Tempat yang paling strategis," dia berbicara sendiri sambil tersenyum miring. "Tunggu aku. Aku akan segera mendapatkanmu," lanjutnya sambil membayangkan sosok karakter favoritnya.
------x---x------
Desauan angin malam menggoyangkan ranting-ranting pohon maple yang dipenuhi oleh warna merah. Menambah hawa dingin yang memang sudah ada di jalan kecil itu sejak rumor mengerikan menyebar. Akan tetapi, anehnya tetap saja ada yang -- meski sudah mengetahunya -- tetap nekat melewatinya pada malam hari.
Gadis dengan rambut sepunggung yang dibiarkan terurai ini bisa dijadikan contoh. Meskipun di hatinya masih terselip rasa takut, ia tidak mengurungkan niat untuk melewati Akai Michi. Alasan yang digunakan tentu itu adalah jalan terdekat untuk sampai ke rumah. Padahal faktanya, tempat itu merupakan jalan pintas menuju kematian.
Langkahnya semakin cepat ketika mendengar desah napas pelan di belakang. Gadis itu ketakutan. Penyesalan selalu datang terlambat. Matanya mulai mengeluarkan setetes air. "Kumohon, aku belum mau mati," ucapnya berulang-ulang. Namun, sosok itu tidak peduli dan terus mendekat dengan kapak yang sudah merenggut ratusan nyawa.
"Kagome kagome. Kago no naka no tori wa. Itsu itsu deyaru. Yoake no ban ni. Tsuru to kame ga subetta. Ushiro no shoumen daare."
Gadis itu menoleh ke belakang untuk memastikan jika itu bukan prank dari orang-orang iseng yang mencoba menakuti. Matanya seketika terbelalak melihat orang berpakaian hitam dengan wajah tertutup hoodie. Secara refleks, tubuhnya berkelit menghindari ayunan kapak yang diarahkan padanya.
Orang misterius berpakaian serba hitam itu berdecih pelan saat menyadari calon mangsanya kabur. Dia tidak bisa menuruti nafsu membunuh dengan mengejar anak itu sampai manapun karena itu bisa membuat identitasnya terungkap jika mengikuti ke tempat terang.
Sementara, gadis itu tidak peduli dengan apa yang terjadi di belakangnya. Ia terus berlari sekuat tenaga menjauhi tempat itu. Setelah cukup jauh, barulah ia mencoba menoleh. Akan tetapi, itulah yang membuatnya justru tidak melihat jalan dan menabrak seseorang yang berjalan ke arah yang berlawanan.
"Ada apa? Kau kelihatan panik sekali," tanya orang itu dengan nada khawatir. Gadis itu tergugup sehingga tidak bisa bicara. Ia hanya bisa memberi isyarat dengan menunjuk ke tempat dimana seseorang yang menganggap diri sebagai malaikat maut hampir menghilangkan nyawanya.
"Tenanglah, tidak ada apa-apa. Aku kebetulan akan lewat sana sekarang. Kau boleh ikut denganku. Oh ya, kau mau minum?" tawar orang itu sambil menyodorkan sebotol air mineral yang sepertinya baru dibeli dari toko terdekat. Gadis itu tanpa pikir panjang menerimanya kemudian mengucapkan terima kasih.
Tenggorokannya yang kering dengan cepat meneguk air dalam botol itu hingga tersisa setengah. Gadis itu menghela napas lega. Merasa lebih tenang sekarang. Baru saja ia ingin menanyakan nama dari orang yang baru saja menolong dirinya yang bahkan hampir tidak bisa bicara, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Kaki yang terlalu lemas untuk menahan berat tubuh akhirnya jatuh terhuyung.
Orang itu dengan sigap menangkap tubuh yang hampir terjatuh ke tanah sambil tersenyum tipis. "Tidurlah, sayang," bisiknya. Ia kemudian memandangi botol air mineral yang tersisa separuh, kemudian tersenyum sinis. "Sepertinya aku terlalu banyak menaruh obat bius."
*
6 September 2020, 15:40 WITA
Ada yang paham nggak masksudnya Erika yang sebenernya apa? 😁 Oke, kalo nggak ada Ichi jelasin.
[34] Mitsuki 「美月」 terdiri dari kanji Mi 「美」 dan Tsuki 「月」yang jika digabung memiliki arti "bulan yang indah." Sedangkan nama Erika「エリカ」 dalambil dari nama bunga. Dalam hanakotoba (bahasa bunga), bunga erika memiliki arti kesendirian.
Paham nggak?
Jangan lupa vote dan comment, and see you soon 😄.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top