Twentieth Cage
Ichiro mengamati isi di dalam paket yang baru saja ia terima dari sang ibu yang bekerja di luar negeri sembari mengernyit. Pasalnya, kali ini yang ia terima bukan hanya barang-barang keperluan neneknya. Melainkan ditambah dengan sebuah kotak dengan kertas yang tertempel di atasnya.
"Tolong berikan ini pada Mai. Ibu rasa itu terlalu kecil untuk dikirim secara terpisah dengan barang ini. Jadi, tolong ya. Ibu sayang padamu."
Surat itu diakhiri dengan lambang hati yang tampaknya diwarnai dengan spidol merah. Ichiro mengernyit sembari bertanya-tanya dalam hati. Sejak kapan ibunya yang sangat menghargai efisiensi waktu rela menggambar hati kemudian mewarnainya dengan spidol gambar?
Lelaki itu segera menggeleng kuat-kuat ketika membayangkan reaksi sang ibu jika dia tidak segera mengantarkan barang itu kepada kakak sepupunya. Tanpa pikir panjang, ia segera meninggalkan kotak tersebut dalam keadaan terbuka di depan pintu kamar. "Obaa-san, aku pergi dulu," ucapnya sambil buru-buru membawa kotak berukuran dua puluh sentimeter di setiap sisinya yang hampir tertinggal.
Ia mempercepat langkah ketika menyadari hari sudah semakin gelap. Dan dia harus pergi ke rumah yang paling dekat dengan Akai Michi. Ichiro mengusap kedua lengannya bergantian. Kedua fakta itu sudah cukup membuat bulu kuduknya meremang meskipun udara tidak terlalu dingin.
------x---x------
Tempat yang dituju Ichiro kebetulan sedang sepi. Mai duduk di depan meja kasir sembari memandangi foto bersama kedua sahabat lamanya. Kenangan masa kecil yang dulunya sangat menyenangkan untuk diingat tak ubahnya seperti bawang yang setiap kali dikupas akan membuat mata berair. Dan gadis itu tahu jika perumpamaan itu seratus persen tepat. Buktinya, sedari tadi ia berkali-kali mengusap matanya dengan tisu hingga memerah.
"Maafkan aku, Kagome, Keiko. Seandainya aku tidak sebodoh itu, mungkin kita bertiga masih dapat bersama," lirihnya sambil menyeka air yang terjatuh ke kaca pelindung foto tersebut. Ia berusaha keras untuk berhenti memikirkan hal itu. Namun, perasaan berdosa masih tak mau hilang dari pikirannya.
Bahkan karena terlalu tenggelam dalam kesedihan, dia tidak menyadari jika adik sepupunya sudah berada di sana entah sejak kapan. Tanpa merasa berdosa memerhatikannya yang menangis tersedu dengan wajah yang menyiratkan sejuta tanda tanya. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera mengusap air mata di pipinya kemudian memasukkan foto itu ke dalam laci meja kasir.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak permisi dulu baru masuk?" Suara Mai terdengar agak serak. Ichiro hanya menyeringai kecil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Gadis itu memandang datar. Dia memang tak pernah berubah sejak dulu, pikirnya.
"Waktu sampai di depan pintu, aku mendengar Onee-san menangis sesenggukan. Karena penasaran, jadi aku langsung masuk saja. Lagipula, menyela seseorang yang sedang menangis itu benar-benar tidak etis, kan?" dalih Ichiro. Mai hanya memandang datar. Benar-benar alasan yang tak masuk akal. Justru masuk rumah tanpa permisi lebih tidak sopan.
"Sebenarnya apa tujuanmu kemari?" tanya Mai dingin. Ia bangkit kemudian berbalik menghadap rak di dekatnya kemudian berpura-pura merapikan barang. Itu dia lakukan karena merasa sedikit malu jika adik sepupunya kembali membahas soal luapan emosinya.
Ichiro tertegun. Lelaki itu segera meletakkan kotak kecil yang dititipkan oleh sang ibu di atas meja kasir. "Ibu menitipkan ini untukmu," terangnya singkat. Mai kembali berbalik kemudian mengamati kotak tersebut dengan saksama.
"Ya sudah, terima kasih sudah mengantarkannya," ucap Mai tanpa intonasi berarti. Dia bahkan tidak menoleh. Akan tetapi, laki-laki itu tidak terlalu peduli. Dengan segera ia melangkah menuju pintu keluar, sebelum akhirnya Mai memanggil kembali.
"Kenapa kau pulang cepat sekali?" tanya gadis itu. "Memangnya kau tidak mau menghabiskan sedikit waktu bersama saudari sepupumu?" Mai menyilangkan kedua tangan di bawah dada seraya menatap tajam Ichiro yang sudah sampai tepat di depan pintu keluar toko.
"Aku tidak punya banyak waktu, Onee-san. Aku tidak berani pulang kalau hari semakin gelap," jelasnya. "Sudah ya, Onee-san. Aku pergi dulu," pamitnya. Baru saja ia hendak berjalan keluar, Mai kembali menghentikan.
"Kau ini anak laki-laki. Tidak mungkin kau takut gelap," ujar Mai curiga. Ichiro berdecak kemudian menepuk dahinya perlahan. Menurutnya, tidak mungkin gadis itu tidak tahu tentang larangan melintasi Akai Michi setelah matahari terbenam sedangkan dia tinggal paling dekat dengan tempat itu.
"Onee-san, tidak usah pura-pura tidak tahu. Kau pasti sudah tahu tentang rumor Akai Michi," pemuda itu mulai kesal. Dia mengacak-acak rambut yang dia sisir hampir selama lima belas menit. Bahkan, mungkin ia sudah lupa dengan waktu seperempat jam yang terbuang sia-sia karena aksinya itu.
Mai tidak langsung merespons. Ia memilih untuk memasukkan kotak yang diberikan adik sepupunya ke dalam laci yang berbeda dengan tempat menaruh foto masa kecilnya barusan. "Tidak usah takut, Ichiro. Kau tidak akan jadi korbannya," ucap Mai.
Ichiro mengernyit mendengar penuturan sang Kakak. Bagaimana mungkin dia bisa tahu. Bukankah pelaku yang kejam itu membunuh banyak orang yang melintas di Akai Michi pada malam hari tanpa memandang siapa mereka? Mengapa dia bisa begitu yakin bahwa adiknya tidak mungkin menjadi korban? Hal itulah yang membuat pemuda itu hanya bisa terdiam, selama beberapa saat.
"Dari mana ... Onee-san bisa tahu?" tanyanya ragu-ragu.
Mai memandangi lelaki itu lamat-lamat. Tak tampak ekspresi apa pun di wajahnya. Bahkan menyesali kalimat yang diucapkannya saja tidak. Seolah kalimat itu merupakan sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. "Tidak perlu tahu. Dan ... lupakan saja. Itu tidak penting," katanya sembari membongkar isi laci.
Pemuda itu semakin heran. Ia semakin tidak bisa menahan rasa penasaran akibat kalimat yang "tidak sengaja" dilontarkan sang kakak sepupu. Terlebih ketika mendengar elakan dari Mai yang justru menambah kecurigaan yang muncul entah karena apa. Walaupun memang, ungkapan itu tidak cukup membuat gadis itu menjadi tersangka utama.
Tidak ingin mencurigai Mai lebih jauh, Ichiro segera berbalik menuju pintu keluar toko. Hanya dalam hitungan detik, langkahnya kembali terhenti -- untuk yang ketiga kalinya -- karena Mai kembali memanggilnya. Ichiro menarik napas dalam-dalam, menahan kesal. "Apa lagi, Onee-san?"
"Tolong kembalikan ini pada Seijiro. Aku sudah lama sekali meminjamnya. Bahkan lupa kapan pastinya aku meminjam," jelas gadis beryukata itu sembari menyerahkan sebuah buku tebal yang sudah tampak lusuh dan berdebu. Ichiro mengamati sampul buku itu lamat-lamat. Membaca judulnya saja sesulit membaca tulisan tangan Kaito.
"Open Eyes."
Ichiro membolak-balik novel tersebut. Membaca dua paragraf blurb yang tercetak di bagian belakang. Lelaki itu kemudian mencoba untuk membaca halaman pertama setelah berhasil terpancing oleh gambaran singkat cerita. Bahkan ia sampai lupa akan niatnya untuk pulang cepat sebelum hari semakin gelap.
"Oi, kau ini jadi pulang atau tidak?" tanya Mai seraya menepuk bahu sepupunya yang mulai tenggelam dalam suasana tegang yang diciptakan sang penulis. Ichiro tersentak. Ia segera melihat ke arah jendela yang menampakkan pemandangan kota yang dihiasi lampu-lampu jalan.
"Oh, tidak!" serunya lalu berlari keluar toko, tanpa pamit. Benar-benar lupa jika beberapa menit yang lalu, dialah yang membicarakan tentang etika.
Tanpa menoleh sedikit pun, pemuda itu berlari sekencang mungkin menjauhi jalan angker di belakangnya menuju keramaian. Rasa takut yang menguasai dirinya bahkan membuat dia tiba-tiba memperoleh kekuatan misterius untuk melompati tembok setinggi dua meter.
Lelaki itu memegangi lutut dengan napas terengah-engah. Memandang sekeliling. Ia terpaku pada dua pasang mata yang memandangnya heran. Ichiro berdeham, menegakkan tubuh lalu pura-pura merapikan kerah baju kemudian pergi begitu saja. Berharap dua gadis berseragam SMA Shirotsuki itu tidak mengingat hal memalukan yang mereka lihat.
Laki-laki itu kembali membuka halaman novel yang dia bawa. Dengan penuh rasa penasaran, ia membuka halaman demi halaman. Lelaki itu memang harus bersyukur hari ini karena tidak ada satu pun pengguna jalan lain yang marah karena aksinya.
Ichiro dengan kasar menutup buku itu kemudian membawanya dengan satu tangan. Mengernyit bingung. "Okultisme? Sejak kapan Mai nee-san suka tema semacan itu?"
*
[1] Obaa-san: nenek.
Akhirnyaa!! Setelah beberapa hari nggak bisa buka cerita ini, Ichi kembali update 😄.
Hehehe ... apakah ada yang nungguin?
Kalo ada, tolong perbanyak stok kesabaran kalian ya. Karena sekarang harus mulai SFH lagi, Ichi nggak bisa daily update kayak kemarin. Maaf ya 🙂.
Tapi tenang, Ichi masih punya stok ide buat chapter berikutnya. Ichi juga udah punya outline kasar kok. Jadi, nggak usah takut Ichi hiatus sampe bertahun-tahun lamanya. Ichi usahain nggak bakalan sampe gitu 😅.
Oke, jangan lupa tinggalkan jejaknya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top