Twelfth Cage
Kazuhiko mencoba mengabaikan suara aneh di belakangnya dan tetap fokus ke arah sebuah area yang digaris polisi. Beberapa rekannya tampak sibuk di tempat itu. Ia mempercepat langkah. Sebenarnya, dia sudah tahu jika membawa Keiko ke TKP pembunuhan bukan pilihan tepat. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menemukan ide cara aman untuk menolak permintaan gadis itu.
Sesuai dugaan laki-laki itu, Keiko mulai tampak berkeringat dingin ketika sampai di tempat tujuan. Tangan serta kakinya gemetar. Secara spontan, gadis itu membenamkan wajah ke dada Kazuhiko. Dia berusha sekuat tenaga untuk tidak menjerit atau melakukan sesuatu yang membuat orang lain kerepotan.
"Kau ini ke mana saja, Kazuhiko. Cepat bekerja. Dan ... siapa gadis itu?" tanya seorang Kepala Polisi yang juga kebetulan ada di tempat itu. Kazuhiko menggigit bibir bawah. Bagaimana dia bisa bekerja sementara Keiko sepertinya tidak rela ditinggal sendirian di tempat itu walaupun hanya setengah menit.
"Maafkan saya, Komandan. Ceritanya panjang." Kazuhiko sedikit kewalahan saat hendak membungkukkkan badan karena kekasihnya yang masih belum mau melepaskan cengkeraman. Salah seorang petugas yang melihat hal itu berjalan mendekat. Kejadian ini beru pertama kali terjadi meskipun gadis berkacamata itu sudah seringkali mengekori kekasihnya.
"Uehara-kun, serahkan saja padaku," ucapnya. Kazuhiko berterima kasih, mengangguk lalu meyakinkan adik dari teman lamanya jika semua akan baik-baik saja. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja," kata polisi itu menenangkan. Keiko ragu-ragu menoleh hingga ia menemukan perempuan cantik dengan rambut pendek di sebelahnya.
"Oh ya, aku lupa. Namamu Keiko bukan? Kau bisa panggil aku Asami." Wanita muda itu mencoba akrab dengan meminta gadis berkcamata itu memanggilnya dengan nama depan. Tanpa ragu, ia mengajak Keiko untuk berjabat tangan lalu membawanya sedikit menjauh dari TKP.
Polisi bernama Asami itu mengelus punggung Keiko. Memberi sebotol air serta kertas tisu yang kebetulan dibawanya. "Keiko-san, kau ini punya fobia pada darah ya?" tanya perempuan itu. Keiko hanya mengangguk samar. Seandainya ia tidak keras kepala dengan memaksa lelaki itu mengizinkannya ikut, sudah pasti ia bisa melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan daripada ini.
Keiko meneguk air di dalam botol itu perlahan hingga tersisa setengah. "Asami-san, maaf membuatmu repot. Aku tidak apa-apa di sini. Kau bisa kembali bertugas." Gadis itu mencoba tersenyum walaupun wajahnya masih terlihat pucat. Yah, persis seperti mayat yang ditemukan tewas mengenaskan di tempat itu.
"Tidak apa-apa. Kapan pun kau butuh bantuanku," sahut Asami sambil tersenyum ramah. Ia mempererat posisi penutup botol itu, kemudian menoleh ke arah petugas lain yang masih sibuk memeriksa TKP. Wanita itu menghela napas panjang. "Ini ... sudah yang ke sekian kali," keluhnya.
"Hn?" Keiko yang sudah merasa jauh lebih baik tertegun. Asami menoleh. "Etto .... Maaf, Asami-san. Tapi, boleh aku tahu maksudmu apa?" tanyanya ragu-ragu. Polisi wanita itu kembali tersenyum.
"Di jalan ini .... Hampir setiap hari, selalu ada laporan dari orang-orang yang menemukan mayat. Kondisinya hampir selalu sama. Wajahnya hancur hingga sulit untuk diidentifikasi. Sampai sekarang ... kami bahkan belum menemukan petunjuk apa pun." Asami menghela napas panjang. "Aku tahu ini sulit. Tapi, jika kami tidak cepat ... akan lebih banyak korban berjatuhan," jelasnya.
Keiko tertegun. Ia sekarang mengerti kenapa Kazuhiko sering mambatalkan janji untuk bertemu. Ternyata itu penyebabnya. Apa yang dikatakan Asami memang benar. Jika kepolisian tidak cepat menangkap dalang di balik semua ini, maka itu sama saja dengan membiarkan orang tak bersalah menjadi korban.
Gadis berkacamata itu menghela napas berat, seolah-olah dia bisa ikut merasakan apa yang dirasakan Asami. Ia mencoba menoleh ke sekeliling. Memang masuk akal jika seseorang melakukan tindak kriminal di tempat yang cukup tersembunyi dari keramaian seperti ini. Dan cukup wajar jika kepolisian setempat kesulitan melacak pelaku.
Arah pandangan Keiko seketika terfokus pada salah satu pohon maple yang jaraknya agak jauh dari tempat itu. Perempuan berambut sepunggung itu memicingkan mata melihat seseorang yang menoleh kanan-kiri dari sana. Hingga dalam hitungan detik, kedua mata mereka berhasil bertemu. Orang itu segera melarikan diri sebelum Asami menyadari jika Keiko terus memandangi pohon maple itu.
"Sepertinya aku pernah melihat orang itu?" gumam Keiko.
"Siapa?" Keiko menggeleng cepat kemudian tertawa kecil. Asami terus menatapnya penuh selidik. Ia memang memiliki kemampuan lebih dalam menginterogasi saksi dibanding rekan kerjanya. Karena gadis di hadapannya tak kunjung mengaku, dia menunjuk matanya dengan telunjuk lalu mengarahkan pada lawan bicaranya yang memiliki arti, 'Aku mengawasimu.'
Keiko kembali tertawa kecil. Sejenak kemudian kembali menyadari keanehan dari orang yang mengintip dari balik pohon maple. "Kagome-chan, kaukah itu?"
------x---x------
Matahari terus bergerak hingga hampir berada tepat di atas kepala. Waktu berjalan tanpa terasa hingga akhirnya bel istirahat makan siang berbunyi. Tim detektif amatir yang "diketuai" oleh Honoka kali ini memutuskan untuk makan siang bersama di dalam kelas. Itu semua berkat usulan Ichiro yang ingin membahas berita yang ditemukannya kemarin.
Inilah yang membuat beberapa dari siswa kelas 2-2 merasa ada yang aneh tanpa perdebatan antara Kaito dan Honoka. Sebagian dari mereka memilih untuk duduk di sekitar mereka bertiga, sembari diam-diam menoleh sekaligus mencoba menguping, tetapi selalu gagal. Sedangkan sisanya tidak terlalu peduli dan bersyukur karena waktu makan siang mereka tidak terganggu.
"Jadi, kalian menemukan petunjuk dalam berita itu?" tanya Ichiro sembari melahap sepotong brokoli dalam kotak bekalnya. Kaito yang belum sempat menelan makanan hampir saja tersedak. Dia memang tidak terbiasa berbicara selama makan.
"Entahlah. Aku hanya merasa jika berita ini ada hubungannya dengan rumor Akai Michi," ucap pemuda itu. "Menurut informasi yang kudapat, rumor itu sudah menyebar kurang lebih sejak empat belas tahun yang lalu. Itu berdekatan dengan penemuan mayat anak perempuan bernama Kagome itu," paparnya.
Ichiro mengangguk. "Aku mengerti, Kaito. Sudah kuduga ini bukan kebetulan," sahut laki-laki itu seraya mengambil sepotong daging terakhir kemudian melahapnya. Honoka yang berada tepat di depan Kaito termenung. Ia merasa malu karena hanya bisa diam menyimak pembicaraan mereka.
"Jadi, aku menemukan tiga kemungkinan hubungan mengapa rumor mengenai Akai Michi bisa tersebar, bahkan hingga sekarang. Pertama, Kagome mungkin merupakan korban pertama. Maksudku, pembunuh Kagome dan para korban lain adalah orang yang sama," jelas Ichiro. Kaito hanya diam menyimak tanpa komentar.
"Yang kedua, kemungkinan banyak yang beranggapan arwah Kagome tidak tenang hingga meneror hingga membunuh siapa pun yang lewat di tempat di mana ia terbunuh setelah matahari terbenam. Sehingga mereka selalu menghubungkan korban yang terbunuh dengan arwah Kagome. Padahal bisa saja itu merupakan ulah seseorang yang ingin kejahatannya tertutupi oleh rumor itu," terang Ichiro lagi.
"Jadi, kau berpikir jika rumor Akai Michi selama ini bukan pembunuhan berantai?" tebak Kaito sembari menutup kota bekalnya yang sudah kosong. Ichiro mengangguk mantap.
"Jika kau perhatikan, Polisi bahkan sampai sekarang belum pernah menemukan kesamaan dari para korban. Jika ini pembunuhan berantai, setidaknya pasti ada satu atau beberapa kesamaan yang akan mengantarkan kita pada motif pelaku," papar laki-laki itu.
"Begitu ya? Aku juga sempat berpikir begitu," Kaito bergumam sambil menoleh ke arah jendela.
"Aku masih punya satu spekulasi lagi, Kaito," ujar laki-laki yang duduk tepat di sebelah Honoka. "Yang ketiga, ada kemungkinan jika orang di balik semua ini menjadikan kematian Kagome sebagai motif. Tapi ... entahlah. Aku juga tidak mengerti. Jika benar seperti itu, kenapa dia membunuh orang secara acak, dengan alasan balas dendam?" Kaito kembali melihat pemandangan dari jendela. Membiarkan temannya itu berpikir keras tanpa terganggu.
Sementara Honoka tidak bisa berkomentar apa pun. Ia hanya memandang kedua laki-laki di dekatnya bergantian. Dia merasa tidak enak untuk mengajak mereka berdua berbicara. Gadis itu menghela napas panjang. Menoleh ke arah bangku di sebelahnya dengan penuh tanda tanya. Ia bingung mengapa pemilik bangku tersebut tidak masuk tanpa alasan jelas.
Honoka menghela napas khawatir. "Seira, kau ada di mana?"
*
Maaf kalo banyak typo. Ini Ichi ngetiknya pake hp 😁.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top