Thirty Seventh Cage

Hujan turun semakin deras. Payung-payung mulai terbuka, melindungi pemiliknya dari serbuan tetesan dari langit. Mereka yang tak sempat membawanya hanya bisa berteduh di atap-atap bangunan. Menunggu sampai langit selesai menumpahkan seluruh air yang tertampung.

Tak terkecuali Seijiro. Laki-laki itu terlalu bersemangat setelah berhasil mengalahkan kakaknya, sampai lupa membawa benda yang akan sangat berharga di cuaca kurang bersahabat seperti ini. Tas belanja di yang terisi penuh dia peluk erat-erat supaya bisa terselamatka. Namun, tetap saja air dari pakaian yang basah kuyup merembes ke tas itu.

Air turut membuat rambutnya luruh hingga menutupi wajah. Seijiro menyeka kelopak matanya yang dibuat gatal oleh ujung rambut. Memandang sekeliling hingga bayangan sebuah rumah terlihat meski sedikit buram oleh lebatnya hujan. Tanpa pikir panjang, dia segera berlari menuju tempat itu.

Pemuda itu mengetuk pintu. Hanya untuk memastikan apakah ada orang di sana, dan akan meminta izin berteduh jika ada. Tidak peduli rumah siapa tempatnya berteduh saat itu. Ia menatap sekeliling. Halaman rumah itu mendadak membuatnya merasa familier. Apa daya. Tangannya tak mampu menjangkau kepingan memori itu. Terlalu samar.

Setelah beberapa menit menunggu, pintu tersebut akhirnya terbuka separuh. Dari sana tampak seorang gadis dengan wajah yang tidak tampak jelas oleh poni panjang yang dibiarkan menutup sampai bagian mata. "Ah, maaf. Apa aku boleh berteduh di sini sebentar?" tanya Seijiro tanpa merasa curiga akan penampilan aneh perempuan di hadapannya.

Sudut bibir perempuan itu tertekuk. "Tidak masalah," sahutnya ramah sambil memilin rambut hitam pekat yang panjangnya mencapai pinggang. "Mari masuk. Aku bisa buatkan teh hangat." Jantung Seijiro tiba-tiba berpacu lebih kencang. Entah mengapa dia tidak bisa menolak ucapan manisnya. Alhasil, dia hanya bisa menurut dengan berjalan masuk sebelum gadis itu.

Seijiro memandang sekeliling, seolah tenggelam dalam imajinasi sendiri. Namun, menurutnya itu tidak terlalu bermasalah selama dia bisa menemukan tempat hangat untuk menunggu hujan reda. "Ada banyak sekali payung di sini. Kau bisa meminjam, bahkan sekalipun kau tidak berniat mengembalikannya." Gadis itu mengambil salah satu payung yang menganggur di sudut ruangan.

"Y-yah, terima kasih ba–" Seijiro benar-benar kaget. Tubuhnya tiba-tiba membeku sehingga tidak bisa menghindar. Gagang payung tersebut sukses mengenai kepalanya dengan sangat keras hingga menimbulkan bekas memar yang cukup parah. Rasa sakit itu membuatnya meringis. Mata yang berkunang-kunang menangkap sebuah seringai dingin yang terproyeksi berbarengan saat perempuan itu terlihat mengelus-elus payung.

"I got you, Ichiro-kun."

------x---x------

Kaito membuang karbon dioksida yang tertampun dalam dada dengan kasar. Mungkin sudah lebih dari dua puluh kali ia melakukan hal tersebut dalam lima menit terakhir. Pikirannya terasa kacau hingga tak tahu harus berbuat apa selain berputar-putar di kursi belajarnya, berharap ada ide cemerlang muncul bagai komet Halley yang hanya terlihat sekali setiap tujuh puluh lima tahun.

Lelaki itu benar-benar tidak menyangka Honoka akan mengeluarkan kata-kata pedas untuk membalas kesalahan yang ia tidak sadari pernah berbuat. Memang keputusan yang bodoh membuat gadis itu pergi sendirian menemui seseorang, yang bahkan namanya tidak diketahui. Akan tetapi, percuma saja menasehati orang yang telanjur keras kepala.

Perempuan memang sulit sekali dimengerti. Ia kembali menggumamkan kalimat tersebut dalam hati berulang-ulang. Sejak dulu, itulah mengapa ia malas berurusan dengan para gadis. Mereka menginginkan perhatian, tetapi di saat yang bersamaan mereka menjadi sangat keras kepala. Seperti yang dilakukan Honoka. Sampai sekarang ia dibuat benar-benar tidak mengerti oleh hal itu.

Sebuah dering singkat dari ponsel yang seakan menunjukkan eksistensi pada sang pemilik membuat dahi Kaito berkerut. Pasalnya pesan singkat yang baru saja diterima berasal dari Mama Honoka yang menanyakan perihal keberadaan anaknya. "Kenapa aku yang harus ditanyai tentang gadis kepala batu itu?" kesalnya. Padahal, jelas sekali gadis itu pulang dengan deraian air mata setelah puas mengatai.

Pemuda itu hanya membalas pesan itu dengan kata "tidak tahu", kemudian kembali bersantai di kursi tersebut. Tak disangka, sebuah pesan kembali membuat benda pipih itu berdering. Dia malas-malasan membukanya. Terlebih ketika menyadari jika si pengirim pesan tersebut tidak terdaftar di kontak, serta isi pesan yang membuat kening kembali terlipat.

"Seekor burung putih, terbang bebas menuju angkasa. Bulu-bulu indahnya memikat semua mata. Bagai sekuntum bunga yang mekar di tengah taman dengan pemandangan penuh harmoni. Berbeda dengan sang burung dalam sangkar, yang juga ingin terbang bebas. Namun, tak ada yang peduli.

"Seekor burung putih, tak dapat lagi terbang dengan kedua sayap yang patah. Hanya bisa memandang segalanya yang berubah menjadi kelabu dari dalam sangkar. Kini, siapa yang peduli pada bunga yang hancur. Tak ada lagi harmoni. Maka, biarkanlah burung dalam sangkar terbang menggantikan sang burung putih."

Kaito kembali membuang napas kasar. Meletakkan handphone sembarang di atas tempat tidur. Kenapa dia harus memaksa diri memecahkan maksud tersembunyi dari permainan kata rumit tentang burung putih dan burung dalam sangkar. Sejak dulu dia kan memang tidak terlalu suka pelajaran sastra.

"Shiroi? Tori?" Sebuah ide bagai komet melintas membuatnya terlonjak dari kursi secara tiba-tiba. "Shiratori?!" ia dengan segera mengambil benda yang sempat dibuangnya untuk mengecek kembali pesan tersebut. Membacanya sampai dua bahkan tiga kali untuk memastikan dirinya tidak salah.

"Jangan bilang ...," ia bergumam sambil berjalan tanpa arah. Kaito memang sedikit kesal akan perlakuan gadis itu padanya. Akan tetapi, entah apa yang membuatnya merasa bertanggung jawab untuk menolong Honoka jika ada bahaya. Ia mencoba mencari petunjuk lain, hingga tanpa sadar kakinya menendang tumpukan dokumen yang merupakan data dari pada korban.

Kertas-kertas itu beterbangan ke berbagai arah. Namun, ia tidak lagi mencari lembar pertama. Melainkan bagian paling akhir yang secara kebetulan berada paling dekat dengan kakinya serta belum pernah dia baca. Laki-laki itu terperangah. Masih belum percaya jika kunci dari kasus tersebut ... ada di bagian akhir.

Bukan hanya kasus yang baru-baru ini terjadi. Melainkan juga yang pernah terjadi belasan tahun lalu. Tak terkecuali Katsuo Moriya, suami dari Emi. Tidak, bukan itu yang menjadi fokus lelaki itu adalah foto sosok gadis kecil yang pernah ia lihat sebelumnya, di suatu tempat.

"Kagome ...."

------x---x------

Sementara itu di tempat lain, Honoka mulai sadar setelah cukup lama tak sadarkan diri akibat pengaruh obat bius. Hal pertama yang dirasakannya adalah sakit yang teramat sangat menyerang kepala. Penglihatan yang perlahan membaik sama saja seperti tidak berfungsi karena minimnya cahaya di ruangan itu.

Aroma pekat yang mirip cairan pengawet yang sering ditemukan di laboratorium menyambut penciumannya yang perlahan membaik setelah bangun dari tidur. Dahi gadis itu mengernyit. Bau itu membuatnya semakin pusing tatkala bercampur dengan gas yang dihasilkan dari pembusukan.

Honoka mengerjap-ngerjap. Kelopak matanya terbuka lebar saat menyadari dirinya tengah berada di tengah-tengah ruangan yang begitu gelap karena hanya diterangi beberapa batang lilin. Dia duduk bersimpuh di dalam lingkaran yang terbuat dari tangan-tangan yang terpotong dari pemiliknya. Beberapa di antaranya tampak membusuk.

Salah satu tangan yang masih utuh karena perlindungan dari cairan pengawet mengarah kepadanya dengan jemari terbuka. Seolah meminta tolong untuk diselamatkan dari ruangan yang disulap menjadi lautan mayat. Atau mencoba menarik Honoka menuju ke tempat peristirahatan mereka dengan dendam yang masih membara.

"Kagome kagome. Kago no naka no tori wa. Itsu itsu deyaru. Yoake no ban ni. Tsuru to kame ga subetta. Ushiro no shoumen daare?"

Gadis berambut bob itu tertegun. Kepalanya refleks menghadap wajah sesorang yang tertutup topeng kitsune dengan beberapa sayatan serta bercak darah. Tidak peduli dengan pakaiannya yang kotor karena lumpur yang baunya tercium jelas, ia berusaha keras meloloskan diri dari tali yang mengikat kedua lengan.

Akan tetapi, percuma saja. Yang didapatkan hanyalah rasa sakit serta keringat yang membuatnya seperti orang kehujanan. Honoka mencoba mengatur napas. Kepanikan membuat semua usahanya tidak berhasil. Termasuk menebak siapa pemilik suara yang dia rasa sangat akrab di telinga itu. Sangat kenal.

"Dunia ini sangat kejam. Mereka dengan tega merenggut kebahagiaan dari orang-orang yang tinggal di atasnya," ujar orang bertopeng itu sambil mengeluarkan sebilah belati serta kapak yang tersembunyi di balik jubah hitamnya. Honoka membeliak kala pantulan cahaya dari kedua benda itu menyapa.

"Jadi, takkan masalah membuat sebuah permainan. Meski sudah sangat lama, kesenangan darinya takkan pernah berubah. Kau lihat kan? Tangan-tangan itu terlihat seperti bunga bakung putih yang sedang mekar. Cantik sekali," ungkap sosok itu lagi. Benda mengerikan bagi orang normal akan tampak indah di matanya. Tak terkecuali wajah panik Honoka.

Orang itu menoleh, kemudian berjalan mendekati gadis berambut pendek yang tak bisa berucap apa pun dengan lidah kelu. "Kau sudah pasti tahu siapa aku kan?" Honoka menelan ludah, menggeleng samar. Sosok berjubah itu pun terseyum licik dari balik topeng kitsune kemudian membukanya.

"K-kau ...."

*

11 Oktober 2020, 17:52 WITA.

[1] Shiroi 「白い」: putih. Tori「鳥」: burung. Nama belakang Honoka yaitu Shiratori merupakan gabungan dari dua kanji ini 「白鳥」

[2] Kitsune 「狐」: rubah.
Susah juga jelasin bentuk topeng Kitsune itu gimana. Mending kalian liat sendiri aja dah.

Ayo. Masa' belum peka juga? 🤭 Biasanya kalo udah chapter segini mulai banyak yang berspekulasi siapa pelakunya.

Hehe ... Ichi akui sih, cerita ini plotnya lebih rumit daripada yang lain. Tersangkanya juga lebih banyak. Makanya jadi susah kayak nebak siapa impostor di game Among Us 😆
//plak.

Waktu kalian nebak masih banyak. Tunggu aja sampe Ichi update lagi, hahahaha .... 🤣 #jahat //dilempar ke Mars.

Oke, jangan lupa vote dan comment 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top