Thirty Second Cage

"Jadi, bagaimana? Kau jadi beli? Aku bisa tunjukkan tempat yang bagus," ujar Erika, seolah-olah kehilangan ingatan tentang kejadian beberapa detik sebelumnya.

"Hee?!" Kaito spontan memekik. Tak disangka niat menakut-nakuti balik sang kakak malah berakhir ditanggapi serius. "T-tidak perlu. Aku hanya ingin mengerjai Mitsuki. Aku hanya bercanda, Erika nee-chan. Kalau aku benar-benar melakukannya, bisa-bisa dia malah pergi dari kota ini dan menikah dengan wanita lain," ujarnya kikuk seraya menggaruk kepala belakang yang tidak gatal.

"Begitu ya. Kenapa kau seperti itu, Mitsuki-kun? Apa hanya karena aku menuruti keinginan adikmu, kau jadi tidak sudi dengan melihatku lagi?" gumam gadis itu dengan wajah yang berubah sendu.

"Hee?!" Kaito kembali terperanjat mendengar reaksi itu. Leluconnya lagi-lagi dianggap sebagai suatu hal yang sungguhan. "B-bukan begitu maksudku, Erika nee-chan. Aku hanya bercanda. Oh, tolong jangan anggap serius," katanya seraya melambai-lambaikan kedua tangan.

Erika mengusap matanya yang berair dengan ujung syal. Seolah tidak mendengarkan kata-kata pemuda itu, dia terisak seperti seseorang yang benar-benar dicampakkan. Kaito menyadari kesalahan, dengan segera ia membungkuk dalam-dalam. "Aku benar-benar minta maaf. Ucapanku tadi tidak serius. Kumohon jangan menangis, atau Onii-chan akan menyuruhku tidur di luar mulai malam ini," sesalnya.

Isak tangis itu perlahan berubah menjadi tawa. Kaito kebingungan, tetapi belum juga berani mengangkat wajah. "Sudahlah, Kaito. Kau ini sama saja seperti kakakmu," ucapnya lalu tertawa lepas. "Yang tadi itu aku juga hanya bercanda. Tapi kau sendiri yang menganggapnya serius, seperti Mitsuki saja," lanjut Erika seraya memegangi perutnya yang terasa sakit.

Kaito memandang datar, merasa dirinya baru saja menjadi korban prank. "Sudahlah, ayo pulang," ajak pemuda itu dengan nada bicara yang juga sedatar wajahnya. Erika masih belum bisa berhenti terbahak. Sampai-sampai beberapa orang yang berpapasan dengan mereka mengernyit bingung.

Beberapa menit kemudian barulah ia bisa menghentikan tawa, setelah napasnya cukup tersengal. Ia kemudian berusaha menyamai langkah dengan adik tunangannya itu, lalu memerhatikan wajah yang terlihat masam. "Lihatlah Kaito. Kau terlihat lucu sekali kalau sedang marah," ungkapnya seraya mencubit gemas kedua pipi laki-laki bermanik cokelat kemerahan itu.

Meski diperlakukan layaknya bayi, dia tidak marah. Justru ikut tertawa melihat Erika yang kehilangan image gadis baik hati dan anggun yang selalu diperlihatkannya pada semua orang. Kaito mencoba membalas, tetapi tidak berhasil karena perempuan itu dengan lincah menghindar. Beberapa orang yang keheranan mungkin berpikir mereka adalah kakak beradik yang suka bercanda tidak tahu tempat.

"Hai, sudah lama kita tidak bertemu, Kaito-kun, Erika-chan." Keduanya serempak menghentikan aksi konyol mereka kemudian menoleh perlahan. "Ternyata kau sudah dewasa yang, Erika. Aku sampai tidak menandaimu. Tapi kalian tidak pernah berubah, masih sama seperti anak kecil," gurau wanita paruh baya itu.

"Ano, Moriya-san. Kalau tidak salah, kau yang dulu sering datang ke rumah Mitsuki, kan?" Meski sebagian ingatannya telah pudar, Erika masih mengingat sedikit tentang wanita yang berbicara dengan dialek Kansai yang khas dan sering berkunjung ke kediaman keluarga Ishida.

"Ya, rupanya kau masih mengingatku, Erika. Sudah kuduga, kemampuan memorimu sangat bagus," puji Emi. Erika hanya bisa tertawa malu sambil menggaruk tengkuk. Bisa-bisanya ia mendapat pujian atas sesuatu yang sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan.

Kaito memerhatikan wanita itu lekat-lekat. "Nee, Emi-san. Kau baru pulang dari pemakaman juga ya?" tebaknya.

"Ya, begitulah. Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi makam suamiku," Emi berucap dengan pandangan sendu yang terarah pada langit, alih-alih lawan bicaranya. "Kalian juga baru kembali dari sana ya?" Ia dengan cepat mengubah topik pembicaraan.

"Iya. Tadinya aku pergi dengan Mitsuki. Tapi dia pergi terlebih dahulu ke kantor karena mendadak ada telepon dari direkturnya. Dan kebetulan, yang datang untuk membawakan ponselnya adalah Kaito," terang Erika. "Lebih tepatnya, tiba-tiba menghilang setelah Kaito membahas anjing," gumamnya seraya melirik laki-laki yang berjalan santai tanpa beban di sebelah kiri.

"Ah, benarkah? Kalau begitu, ayo mampir ke rumah dulu. Kebetulan aku punya banyak waktu senggang hari ini. Mungkin tidak masalah jika kita mengobrol sebentar sambil menum teh," tawar Emi. Keduanya saling berpandangan, saling menunggu respons dari salah satu dari mereka. Namun, selama hampir setengah menit tidak ada yang berniat menjawab.

"Ayolah, tidak usah malu-malu. Rumahku tidak jauh dari sini," ajak wanita paruh baya itu kemudian menggenggam erat lengan Erika lalu berjalan cepat. Kaito yang diberi tugas oleh sang kakak hanya bisa mengikuti dari belakang jika tidak ingin tidur di luar seperti seekor kucing yang kabur dari rumah majikan.

Ucapan Emi bukanlah bagian dari bujuk rayu semata. Hanya dalam hitungan menit, mereka sudah sampai di sebuah rumah yang cukup besar untuk ditinggali seorang diri. Bangunannya masih tampak kokoh meski cat temboknya tampak mulai mengelupas dimakan waktu pada beberapa bagian. Meskipun memang, halaman rumah itu tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk meletakkan sebuah jemuran baju.

"Keren. Aku aku melihat rumah dengan desain seperti di film-film tahun delapan puluhan." Erika berdecak kagum sambil memandangi setiap sudut rumah tersebut. Mulutnya terbuka lebar seperti anak kecil yang pertama kali mengunjungi Disneyland Tokyo. Berbeda dengan Kaito yang mencoba sekuat tenaga menyembunyikan ekspresi takjub di balik tampang sok kalem.

Emi yang baru saja membuka pintu mempersilakan keduanya untuk masuk. "Panggil Emi saja ya, supaya lebih mudah akrab," katanya dengan senyum ramah.

Baru saja diberitahu, gadis itu seolah-olah langsung lupa. "Kau tinggal sendirian di sini, Mori- ... etto Emi-san?" Erika bertanya penasaran. Wajahnya masih menunjukkan rona kekaguman dengan kedua mata berbinar.

"Tidak, aku tinggal dengan suamiku." Keduanya tersentak kaget mendengar jawaban itu. Masih segar di ingatan saat Emi berkata baru selesai berziarah ke makam suaminya, artinya beliau sudah meninggal. Sekarang mereka mendengar sendiri jika dia mengaku tinggal dengan pria itu.

"T-tapi ... bukankah kau bilang suamimu sudah ...." Erika mengusap bulu-bulu halus di tengkuknya yang berdiri tegak. Dia sendiri bahkan tidak pernah membayangkan hidup satu rumah dengan orang yang sudah tak lagi bernyawa.

"Dia masih hidup," sambung Emi singkat. Keduanya kembali terkejut, sontak berseru heran. "Di sini." Wanita itu tersenyum tipis seraya menyentuh dadanya. Keduanya langsung terdiam. Barulah mereka mengerti apa yang dimaksud wanita itu.

"Cinta sejati tidak akan pernah terpisahkan, bahkan oleh kematian sekalipun," ungkap Emi sembari memejamkan mata. Erika termenung. Hatinya mencelus. Kisah cinta antara dua jiwa yang mulai rapuh seiring berjalannya waktu belum berakhir, bahkan setelah yang satu pergi. Begitu mengharukan. Dia sampai berpikir, akankah kisahnya juga seperti itu nanti?

Kaito seolah-olah tidak mengerti. Keduanya matanya menjelajahi seluruh interior ruang. Tidak terlalu banyak furnitur di ruang tamu itu. Hanya ada sebuah meja bundar dengan tiga buah kursi yang mengelilingi. Di sudut ruangan, terdapat sebuah guci yang tampak antik dengan warna serta ukirannya. Begitu pun pajangan dinding. Kebanyakan merupakan hasil karya seni klasik yang dibuat puluhan tahun sebelumnya.

Pemuda itu berjalan meninggalkan Erika yang sibuk berbincang hal-hal yang tidak dimengerti para lelaki. Kakinya perlahan menuntun Kaito yang penasaran mengamati ruangan lain. Yang ia temukan tak jauh berbeda. Terdapat sebuah altar kecil di sisi ruangan, persis seperti yang ada di rumah Seira. Yang membedakan hanya foto seorang pria berjas hitam yang diletakkan di atasnya.

Sisanya tidak jauh berbeda. Ruangan itu juga dihiasi oleh barang-barang lawas lain. Beberapa di antaranya terlihat merupakan barang mahal yang hanya rela dibeli oleh kolektor barang antik atau orang-orang berharta yang uangnya tak tahu harus digunakan untuk apa.

"Katsuo-kun. Dia memang suka mengoleksi barang-barang antik," ucap Emi yang tiba-tiba muncul di belakang Kaito. Erika yang masih belum puas dengan rasa penasarannya mengekor dari belakang. "Entah apa yang dia dapat dari hobinya. Tapi ... menyimpan barang-barang itu selalu membuatku merasa dia ada di sisiku," jelasnya.

"Emi, kau tahu dimana kesamaanmu dengan barang-barang ini?" Emi yang masih muda hanya bisa memandang bingung sang kekasih. "Setiap orang yang beranjak menua, pasti akan perlahan kehilangan wajah indahnya. Karena itu, banyak lelaki yang memilih meninggalkan wanita yang mereka cintai setelah kecantikannya luntur. Itu karena mereka mencintai karena fisik. Sehingga saat para wanita menua, mereka tak lagi dianggap berharga."

Emi tetap diam, masih tidak mengerti dengan ucapan pemuda yang tergila-gila pada barang-barang lama seperti orang tuanya dulu. "Sementara kau tidak begitu, Emi. Semakin usiamu bertambah, kau akan semakin berharga di hatiku," lanjut Katsuo sembari tersenyum hangat. Membuat pipi gadis itu kembali berwarna merah merona.

Kaito terdiam beberapa saat. Ia sadar, bertanya hal yang menyimpang dari pembicaraan pada wanita yang sedang bersedih adalah kurang sopan. Namun, rasa penasaran semakin tak bisa ia tahan. "Maaf jika aku sedikit lancang, Emi-san. Tapi ... bisa kau jelaskan sedikit tentang suamimu?" tanyanya ragu.

Emi mengusap setitik air di sudut mata. "Katsuo, suamiku ... meninggal pada tahun awal pernikahan kami. Dia dibunuh ...." Rahang wanita itu mengeras karena kalimat uang akan diucapkan selanjutnya. "... di Akai Michi."

Kaito tertegun. Fakta itu seketika membuat segala hipotesa yang tersimpan rapi dalam memori otaknya berubah menjadi sesuatu yang tidak masuk akal. "Jadi ... kau melakukan semua ini ...."

"Iya, karena itulah aku mencari segala hal yang mungkin membantu penyelidikan, kemudian membantumu. Aku tidak terima ..., kehilangan pria yang kucintai sama saja dengan merenggut seluruh semangat hidupku. Dia telah merenggut hal paling berharga yang kumiliki. Makhluk tak berperasaan seperti orang itu ... sudah sepantasnya mati saja!" serunya. Persis seperti seseorang yang telah lama menyimpan dendam.

"Maaf, aku terlalu emosional. Tapi kejadian itu memang membuatku terguncang," ujarnya seingkat sembari mengusap air yang kembali menggenang di pelupuk mata.

"Tidak, seharusnya aku yang minta maaf. Aku tidak seharusnya menanyakan hal sensitif seperti itu." Kaito membungkukkan badan, persis seperti yang ia lakukan pada Erika sebelumnya.

Emi memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Tidak masalah. Walaupun sangat disayangkan memang. Sejak dia melamarku, dia berangan-angan bisa menimang bayi suatu saat nanti. Tapi ...."

Baik Erika maupun Kaito merasa tidak enak berucap sepatah kata. Mereka tidak tahu harus memulai pembicaraan dengan apa. Tidak usah tanya soal Emi. Wanita itu hanya bisa terdiam selama beberapa saat tatkala memori tentang Katsuo kembali terbayang. Mereka bertiga tenggelam dalam kesunyian sebelum akhirnya dering dari dalam saku celana Kaito berbunyi secara tiba-tiba.

Tanpa pikir panjang, Kaito mengeluarkan benda yang menyebabkan getaran di saku celananya. Dia melihat nama kontak tanh tercantum, Okaa-san. Lelaki itu mengernyit. Cukup lama berpikir, tetapi tidak juga menerima panggilan.

Ia tiba-tiba teringat. Stoples kue kering yang diam-diam diambil dari dapur masih belun dikembalikan ke tempat semula. Sekarang ia berhadapan dengan bahaya. "Oh, tidak!" serunya panik kemudian berlari menuju pintu keluar yang terbuka lebar.

"Kaito, tunggu aku!" Erika memekik kemudian lekas mengejar laki-laki yang berlari layaknya kilat.

"Hei, kalian. Kita kan belum minum teh!" panggil Emi yang tidak kuat mengejar mereka berdua dari depan pintu.

Kaito yang sudah terlalu jauh tidak mengindahkan. Hanya Erika yang masih mendnegar seruan itu, kemudian menyahut. "Maaf, Emi-san. Lain kali saja."

*

24 September 2020, 11:25 WITA.

Akhirnya episode filler nan panjang ini tamat di chapter ke-32. Yabai, totemo nagai da yo 🤣.

Yey! Mulai chapter selanjutnya, kita bakalan balik lagi ke kasusnua, mulai lebih serius. Candaannya dikurangin dikit. Walaupun sifat karakter di sini terlalu kocak buat nggak dibawa bercanda 😂.

Oke, jangan lupa vote dan comment, Minna-san. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top