Thirty First Cage

Pintu tua dengan engsel berkarat itu kembali terbuka lebar di pagi yang baru. Suaranya seolah sudah membuat si pemilik kebal pada sensasi ngilu yang ditimbulkannya. Buktinya, entah berapa juta kali ia membuka dan menutup benda itu, hanya satu ekspresi yang terlihat di wajahnya, yaitu senyuman miring.

"Sampai kapan kita akan melakukan ini?" Pertanyaan dari seorang gadis yang berdiri di belakang orang misterius itu menghentikan renungan pendeknya.

"Sampai aku bisa melepaskan satu burung yang tidak pantas berada dalam sangkar," sahut orang itu, kalimat yang selalu sama tidak peduli berapa juta kalipun gadis itu bertanya. "Walaupun yah, gudang tak terjamah ini akan menjadi sangkar baru bagi mereka."

"Kau selalu mengatakan itu. Kau pikir aku mengerti?" protesnya dengan suara yang dibuat pelan. Jika tidak, mungkin dia bisa saja menjadi korban kegilaan monster di hadapannya.

"Aku memang sengaja membuatmu tidak mengerti ...." Orang itu menutup pintu ruang rahasia setelah cukup puas melihat hasil jerih payahnya selama ini. "... sampai waktunya nanti," lanjutnya kemudian berbalik menjauhi tempat itu.

Gadis itu tetap bergeming hingga orang yang selalu membuatnya heran menghentikan langkah. "Logikanya seperti kau berhasil menangkap seekor burung kecil dan memasukkannya ke dalam sangkar. Jika aku memberimu lima ratus burung sebagai bayaran, maukah kau mengembalikan burung itu ke alam bebas?"

Dia terdiam cukup lama, kemudian mengembuskan napas panjang. "Aku tidak tahu apa pun soal burung. Tapi, kemungkinan besar aku akan melepaskannya."

"Tepat sekali."

------x---x------

Di depan jendela kamar yang terbuka lebar di lantai dua, Kaito duduk di sebuah kursi sembari melempar pandangan sejauh mungkin. Ditemani setoples kue kering yang baru dibeli sang Ibu. Hanya menatap daun maple berwarna kemerahan yang gugur dari pohon di depan tembok rumah, sebelum ia dan Mitsuki diperintahkan untuk menyapu semua sampah itu.

Hari ini, dia enggan melakukan kegiatan biasa -- membaca komik atau menonton anime -- dikarenakan bab yang dibaca kemarin berhasil membuatnya hampir tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan nasib sang karakter. Melihat pemandangan dari jendela kamar setidaknya bisa membuat pikirannya menjadi sedikit lebih tenang.

"Kaito!" Dia tersentak kaget mendengar suara panggilan ibunya. Dia memandangi toples camilan yang isinya tersisa separuh kemudian buru-buru menyembunyikannya di bawah selimut yang belum dilipat sejak pagi. Lelaki itu sangat takut kalau sampai sang ibu tahu jika dia telah menghabiskan tiga perempat dari kue kering itu.

"Kaito!" Fumiko memandangi putra bungsunya yang bertingkah aneh. Dahi wanita itu seketika terlipat melihat anaknya menyeringai lebar dengan dahi berkeringat dingin.

"Okaa-san, ada apa memanggilku?" tanyanya sambil tertawa hambar. Bahkan anak berumur lima tahun saja bisa tahu jika dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Untunglah ibunya sedang tidak ingin menginterogasi habis-habisan.

"Dimana Mitsuki?" Fumiko bertanya langsung pada intinya. "Benda ini terus berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Ada telepon dari direktur perusahaan tempat kerjanya," jelas wanita itu.

"Eh ... etto, dia bilang ingin pergi ke pemakaman dengan Erika nee-chan," jawab Kaito sedikit gugup sambil berusaha menghindari tatapan ibunya.

Fumiko menghela napas panjang. "Bisa tolong kau susul mereka? Mungkin ada hal penting." Dia menyerahkan ponsel lipat model lawas itu yang kemudian segera diterima Kaito dengan kening terlipat. Namun, ia hanya mengangguk patuh.

Wanita itu segera berlalu. Kaito mengembuskan napas lega sambil memandangi toples kue kering yang sedikit menyembul dari balik selimut yang tersingkap. "Kaito!" Panggilan dari ibunya yang kembali ke kamar itu membuatnya seketika membeku di tempat.

"B-baik! Siap, laksanakan!" seru Kaito sambil meletakkan tangan kanan yang rapat di samping dahi sementara tangan yang lain berada pada posisi tegap layaknya seorang prajurit militer yang baru saja mendengar perintah dari sang komandan. Bedanya, saking takutnya dia sudah melakukan itu bahkan sebelum diberi perintah apa-apa.

Fumiko memicingkan mata kemudian menunjuk ke arah tempat tidur dimana putranya menyembunyikan harta karun uang biasa menjadi rebutan ketiga kakak beradik itu. Kaito menggigit bibir, khawatir jika ternyata sang ibu berhasil mengetahui apa yang sedang ia sembunyikan.

"Rapikan tempat tidurmu," titah wanita itu kemudian melangkah pergi, tanpa berbalik lagi. Kaito kembali melakukan hormat seperti sebelumnya sambil menyerukan kalimat yang sama. Tidak sadar jika itu membuat dirinya dianggap mencurigakan oleh sang ibu.

Lelaki itu kini bisa benar-benar menghela napas lega. Ia segera melaksanakan perintah itu, tentu saja setelah memindahkan toples kue kering itu ke tempat yang lebih aman. Kemudian memandang heran ponsel lipat milik kakaknya yang hampir tidak pernah diganti sejak masa SMA.

Ternyata yang dia lupakan bukan hanya hari ulang tahun ya, batinnya.

------x---x------

Di tempat lain, tepatnya di sebuah lokasi yang sunyi dan tenang, seorang gadis termenung di depan salah satu nisan. Memanjatkan doa untuk anggota keluarga yang telah pergi terlebih dahulu.

"Okaa-san, Otou-san, terima kasih karena sudah mengasuhku. Aku harap kalian tenang di sana. Selain itu, aku ingin minta restu kalian. Aku akan menikah ... dengan Mitsuki," Erika berkata lirih di depan nisan bertuliskan nama keluarganya seraya diam-diam melirik Mitsuki yang tersenyum simpul dengan pipi bersemu.

"Aku mohon doa dari kalian. Semoga Onii-chan yang sekarang bahagia bersama keluarga barunya. Dan juga, doakan juga semoga nantinya Mitsuki bisa menjadi ... suami yang baik dan bertanggung jawab, seperti Otou-san," ucapnya lagi kemudian meletakkan karangan bunga bakung putih yang masih tampak segar di depan nisan itu.

"Maaf, ya Mitsuki-kun. Aku terlalu lama." Erika bangkit dari posisi awal kemudian berbalik menghadap teman kecilnya yang setia menunggu seraya tersenyum tipis. Wajahnya masih saja terlihat malu-malu saat bersitatap. Mitsuki hanya menggeleng samar kemudian berjalan keluar dari area pemakaman.

Sebelumnya, gadis itu menoleh ke arah makam kedua orang tuanya, dan juga keluarga yang lain dengan tatapan sendu serta perasaan rindu yang tak tertahankan. Mereka sudah pergi bertahun-tahun yang lalu. Memang tidak akan ada yang bisa menggantikan kehadiran orang tua. Akan tetapi, bagaimanapun ia harus menerima kenyataan pahit itu dan mulai menyadari keberadaan seseorang yang tetap setia seperti namanya, Mitsuki.

"Ah, ternyata kalian benar-benar di sini ya?" Suara serak bernada datar itu menyambut keduanya saat tiba di luar area pemakaman. Kening Mitsuki seketika terlipat saat melihat sosok makhluk penyendiri saat hari libur yang kini berada di hadapannya dengan kedua lengan terlipat.

"Ternyata yang kau lupakan bukan hanya hari ulang tahun ya. Bosmu menelepon. Cepatlah kalau tidak ingin dimarahi lagi," jelas Kaito singkat, padat, dan jelas seraya menyerahkan ponsel lipat yang sepanjang perjalanan terus bergetar di dalam saku celananya, dan kemudian diterima dengan raut wajah masam.

"Sudahlah, kau pergi saja. Siapa tahu setelah ini kau dapat promosi dan gajimu bisa digunakan untuk membeli ponsel baru," gurau Erika sambil tertawa kecil saat melihat benda lawas penuh nostalgia masa SMA itu. Mitsuki tidak punya pilihan lain selain menuruti saran kekasihnya.

"Baiklah, kalian pulang terlebih dahulu ya. Kaito, jaga Erika baik-baik. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, jangan harap kau bisa masuk rumah lagi," titahnya dengan muka garang. Kaito mencebik. Ancaman itu menurutnya terlalu mengada-ada, walaupun separuh hatinya takut jika itu benar-benar terjadi. Yang dikhawatirkan tentu saja tidak ada yang akan mengurusi koleksi action figure mahalnya.

"Ano, Erika nee-chan. Kau bisa temani aku ke toko hewan peliharaan?" tanya Kaito, sedikit melenceng dari topik pembahasan. Mitsuki yang baru saja selesai menelpon sang direktur menatap curiga pada adiknya.

"Iya, tapi ... untuk apa?" Erika yang tampak belum mengerti maksud pemuda itu bertanya bingung.

"Aku ingin membeli seekor anjing." Mitsuki terbelalak. Sekelebat bayangan tentang makhluk berbulu mengerikan itu membuat kepalanya pusing. "Jika aku benar-benar diusir dari rumah oleh Onii-chan, mungkin dia bisa diandalkan untuk mengurusi action figure di kamarku. Selain itu, mungkin aku akan memberikannya padamu nanti sebagai hadiah pernikahan," lanjutnya.

"Wah sungguh?! Terima kasih banyak, Kaito-kun. Aku sudah lama ingin punya peliharaan. Akira nii-chan yang tidak pernah mengizinkan," ungkapnya dengan mata berbinar.

"Tapi, aku belum pernah dengar ada anjing secerdas itu sampai bisa membersihkan benda seperti action figure. Kau harus melatihnya dalam waktu yang lama, baru bisa. Bukankah begitu, Mitsuki-kun?" Erika meminta pendapat. Namun, saat itulah ia baru sadar jika lelaki itu sudah melarikan diri tanpa suara sejak beberapa detik yang lalu.

"Are? Mitsuki-kun?" gumamnya sambil menoleh ke sembarang arah, mencari keberadaan teman kecilnya. "Oh ya, aku lupa kalau dia punya fobia anjing." Erika menepuk dahi pelan.

Sementara Kaito tersenyum miring seraya tertawa jahat dalam hati. Hmph, sudah kuduga, pikirnya dengan hati yang lebih puas.

"Jadi, bagaimana? Kau jadi beli? Aku bisa tunjukkan tempat yang bagus," ujar Erika, seolah-olah kehilangan ingatan tentang kejadian beberapa detik sebelumnya.

"Hee?!"

*

20 September 2020, 21:57 WITA.

Uhm, oke filler lagi 😅. Mungkin cerita ini bakalan jadi cerita terpanjang yang pernah Ichi tulis, bahkan mengalahkan Crimson Case dengan 42.000 kata (termasuk side story) dan persentase adegan filler 20% 😆.

Soalnya dari awal scene ini udah Ichi rencanain dan sayang banget kalo dibuang, dan arc-nya lumayan panjang. Jadi, kemungkinan tinggal satu chapter lagi baru kita kembali lagi ke kasus (cepetan oi!). 😅

Oke, jangan lupa vote dan comment.

And, see you soon 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top