Thirty Fifth Cage
Saat pulang sekolah telah tiba. Kaito dengan segera beranjak menuju dojo tanpa berbicara lebih banyak pada teman sekelas. Dia berasumsi jika investigasi yang mereka lakukan beberapa hari lalu sudah tidak memerlukan dirinya. Atau yang lebih tepat, kasus ini tidak memerlukan penyelidikan.
Ia tidak peduli sama sekali dengan Honoka yang enggan beranjak dan hanya menopang dagu seraya menatap lesu keluar jendela kelas. Niatnya untuk membuat penyelidikan sebagai modus pendekatan lenyap sudah. Jika Kaito mengatakan sesuatu dengan serius, jangan pernah berharap dia akan menarik kembali kata-katanya.
"Ayolah, Honoka. Kita pasti bisa menuntaskan kasus ini. Buktikan pada Kaito jika ketidakhadirannya di sini bukan menjadi penghalang bagi kita, jadi dia tidak akan seangkuh itu," bujuk Ichiro yang selama setengah jam gadis berambut bob itu mendiamkannya. Namun lagi-lagi gagal. Ucapannya hanya dibalas helaan napas berat.
Dia terdiam cukup lama. "Kita tidak akan bisa, Ichiro," lirih Honoka putus asa. Sejak awal, tujuannya adalah mendapat perhatian lebih dari Kaito. Sehingga, takkan ada gunanya apabila orang yang ingin dibuat takjub tidak ada dalam tim. Memang masih ada kemungkinan hal itu berhasil. Namun yang harus diingat, target mereka adalah Kaito yang lebih banyak tak acuh daripada pedulinya.
"Pertama, kita berdua hanya siswa biasa yang selalu menjadi langganan ceramah Mito-sensei, dan guru konseling lain. Kedua, dengan adanya Kaito, kita memiliki koneksi dengan kepolisian. Setiap ada informasi terbaru, Polisi bermuka shinigami itu pasti akan mengabari. Lagipula, dari segi kecerdasan, kita berada di bawah Kaito. Jauuuh ... di bawah," tegas Honoka.
Ichiro mengernyit. Tentu saja yang menjadi alasan nomor satu adalah karena gadis berambut bob yang memanjangkan kata 'jauh' sebagai pernyataan ketidakmampuannya tanpa kehadiran Kaito. Sedangkan yang kedua, ia begitu heran dengan logika Honoka yang tiba-tiba berfungsi saat melontarkan argumen.
Lelaki itu menghela napas panjang. "Aku tahu, Honoka. Kita memang tidak ada apa-apanya. Tapi ... aku hanya ingin memuaskan rasa ingin tahumu," balasnya. Gadis itu ingin bertanya mengapa sebelum akhirnya Ichiro kembali bicara. "Itu karena ...." Ia menunduk dalam-dalam sembari memegangi dada.
"... aku menyukaimu."
Pengakuan pemuda itu disusul hening. Angin dari celah jendela kelas berembus menggoyangkan helaian rambut perempuan itu, sekaligus menambah kesan dramatis. Honoka ternganga, tak bisa berkata sepatah kata pun. Tentu ia tidak tahu jika laki-laki di hadapannya tengah menunggu respons.
"Ichiro-kun," panggilnya samar. Yang mendengar namanya disebut dengan suara lembut perlahan mengangkat wajah. Honoka hanya menatap datar meja yang memisahkan mereka berdua tanpa ekspresi. Membuat Ichiro semakin tidak bisa menahan rasa penasaran.
Honoka tersenyum getir. "Itu lucu sekali." Ia bangkit membawa tas menuju pintu kelas. Ichiro tercengang. Namun sepatah kata pun tak dapat keluar dari bibirnya. "Terima kasih karena mencoba menghiburku sejenak," dia berucap sebelum keluar dari kelas tersebut. Meninggalkan Ichiro sendirian hati yang remuk serta perasaan bercampur aduk.
Laki-laki itu menghela napas kasar. Memijat pelipis dengan kedua telunjuk. Kepastian memang jauh lebih baik daripada menelan imajinasi belaka. Namun, jika itu terlalu menyakitkan, lebih baik ia tak pernah mendengar jawaban apa-apa. Andai waktu bisa terulang kembali, dia mungkin tidak akan pernah mengungkapkan perasaan pada Honoka.
Sementara Honoka yang tidak mengetahui apa pun berjalan di sepanjang koridor dengan tatapan kosong. Dia benar-benar tak habis pikir. Apa gerangan yang sebenarnya membuat pikiran Kaito berputar balik seratus delapan puluh derajat. Sungguh tidak bisa ditebak.
Dia kembali berpikir. Jika yang dikatakan Ichiro pagi tadi memang benar, artinya korban sudah mencapai empat ratus sembilan puluh sembilan orang. Dan seandainya dugaan lelaki itu mengenai ritual seperti dalam novel yang ia baca, maka hanya butuh satu korban lagi sebagai tumbal.
Gadis itu mengembuskan napas panjang. Memajukan bibir beberapa sentimeter. Jika keadaannya sudah seperti itu, bukankah mereka harus bergerak lebih cepat agar tidak ada korban yang lain lagi, bukannya menyerah dan membiarkan pelaku melakukan ritual sihir hitam itu?
"Ah, jangan-jangan ...." Dia tiba-tiba teringat akan gosip tentang menghilangnya ketua klub sastra. Pikiran liarnya mulai berpencar kemana-mana. "Pelaku hanya butuh satu korban lagi. Itu artinya ...." Honoka menggeleng kuat-kuat, menepis pikiran mengerikan itu agar pergi sejauh mungkin.
"Tidak, tidak, Haruki-senpai pasti baik-baik saja. Mungkin dia hanya pergi ke suatu tempat untuk melakukan hal penting, tetapi lupa memberitahu. Besok dia pasti sudah kembali ke rumah. Ini hanya kebetulan, tidak ada hubungannya dengan kasus." Gadis itu berusaha keras untuk mengajak otaknya untuk berpikir positif.
Gadis itu berusaha mengalihkan perhatian dari dengan membuka layar ponsel. Cuaca yang masih mendung membuat sinyal menjadi buruk. Akan tetapi, keberuntungan sedang berpihak kepadanya. Tidak terlalu lama, ia dapat mengakses internet dan membuka aplikasi media sosial di benda tersebut.
Satu persatu notifikasi mulai muncul hingga memenuhi layar. Sebagian besar merupakan komentar pada video yang dia unggah beberapa hari yang lalu. Ia menggulir layar perlahan sambil berjalan menuju ruang loker. Suasana begitu sepi, bahkan suara angin sepoi-sepoi dari luar bisa terdengar jelas.
Honoka bersandar pada loker miliknya. Membaca semua komentar positif dari audiens membuatnya menjadi sedikit tenang dan menghilangkan pikiran negatif itu. Setelah sepuluh menit berlalu, pemberitahuan tersebut belum juga habis dia baca. Malah terus bertambah setiap detik. Honoka menghela napas dalam-dalam. Mulai bosan sebelum akhirnya sebuah pesan masuk ke akun miliknya melalui direct message.
"Shiratori-senpai, aku ...."
Separuh isi pesan tak dapat dilihat melalui bar notifikasi. Tanpa pikir panjang ia berjalan mendekati jendela untuk mencari sinyal untuk membuka kolom direct message. Persis seperti yang dialami Kaito pagi tadi, dia terpaksa menahan emosi karena sinyal yang seolah menantang seluruh pengguna ponsel di seantero dunia bertengkar untuk dengannya.
"Shiratori-senpai, aku penggemar beratmu ^^. Aku selalu menonton semua video yang kau unggah. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk melihatmu secara langsung. Kau tinggal di Tokyo juga, kan. Bisakah kita bertemu sore ini di Akai Michi?
Salam,
Penggemar rahasiamu."
Hati gadis berambut bob itu bersorak girang. Meskipun harus menunggu selama lima belas menit untuk membaca keseluruhan pesan, dia merasa sangat bahagia. Tangannya bahkan sedikit bergetar saat hendak membalas pesan itu dengan kata "Baiklah." Jauh di lubuk hati, ia tak bisa menolak permintaan itu dengan alasan apa pun.
Namun, tanpa dia sadari, seseorang telah berdiri cukup lama di belakang dengan tatapan datar. Setelah berhasil menyembunyikan suara desah napasnya, orang itu membaca isi percakapan dalam hati. Hingga membuat Honoka tersentak kaget saat hendak kembali ke pintu loker. "K-Kaito?!"
Yang namanya diteriakkan menghela napas pelan. "Honoka ... kumohon," lirihnya kemudian menggenggam erat kedua pergelangan tangan gadis itu. Wajahnya tampak dipenuhi sirat kekhawatiran. "Jangan temui orang itu, apa pun alasannya!" seru laki-laki itu tanpa basa-basi.
Honoka merasa jantungnya kembali berdetak kencang ketika merasakan sensasi saat kulit mereka bersentuhan. Ia terkejut, sekaligus bingung. "Memangnya ada apa?" ia bertanya seolah tidak ada apa-apa.
"Aku bilang, jangan temui orang itu apa pun alasannya," ulang Kaito. Kali ini dengan nada yang lebih tegas. "Tidakkah kau curiga? Pengirim pesan tidak menggunakan nama atau foto asli di akunnya. Tidak juga menyebutkan nama atau alamat yang seharusnya dijelaskan saat memperkenalkan diri. Dan yang paling penting, orang itu mengajakmu bertemu nanti sore di Akai Michi."
Honoka membisu dengan pergumulan dalam batin. Tak bisa dipungkiri, ia merasa senang karena mengendus kepedulian dalam ucapan Kaito. Di sisi lain, dia masih belum bisa memaafkan ucapan lelaki itu sebelumnya. "Kenapa ...?" Dia tidak melanjutkan ucapannya dalam waktu yang tidak sebentar.
Kaito mengembuskan napas panjang, melepas pergelangan tangan Honoka yang masih dalam genggaman. Dalam hati, ia menyalahkan diri karena tak bisa mengontrol emosi hingga tak jarang membuat lawan bicara takut untuk mengobrol dengannya panjang lebar.
"Kenapa ... kau selalu ikut campur urusanku?!" teriaknya, membuat pemuda itu tersentak dan ingin segera menarik kata-katanya kembali. "Kenapa aku harus curiga? Kau sendiri kan yang berkata jika kasus ini tidak ada hubungannya dengan urban legend," sergah Honoka. Kaito mundur beberapa langkah, menatap tidak percaya.
"Kenapa aku harus menuruti perintahmu? Kau sendiri bahkan tidak pernah mempercayaiku. Kau mengira aku tidak berguna. Kau menganggapku hanya bercanda dan mengejek, padahal aku sudah berusaha mati-matian mengungkapkan isi hatiku. Kau benar-benar tidak peka, Baka-ito! Asal kau tahu saja. Aku tidak butuh kau lagi!"
Honoka semakin tak bisa menahan diri. Seluruh keluhan terpendam akhirnya meluncur keluar bersama derai air mata. Kaito terbungkam seketika. Mau tak mau, laki-laki itu menerima segala perasaan bersalah yang muncul akibat perbuatannya sendiri. Yang bisa dia lakukan hanya mengelus pundak gadis itu perlahan, berharap ia dapat kembali tenang.
Perempuan itu terisak, mengepal geram. Sekuat tenaga, ia menepis tangan teman sekelasnya yang berbaik hati mencoba menenangkan. "Tinggalkan aku!" serunya tanpa mengindahkan ucapan Kaito, kemudian berlari meninggalkan ketua klub karate itu sendirian di ruang loker.
*
4 Oktober 2020, 17:41 WITA
Habislah kau, Kaito ~(^v^~)
Makanya, jadi cowok tuh peka dikit dong.
Jangan lupa vote dan comment 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top