Thirty Eighth Cage
"K-kau ...." Honoka tergagap. Menatap orang itu tidak mengerti. Ia sungguh tak pernah menyangka jika wajah di balik topeng kitsune itu adalah orang yang dikenalnya. Terlebih ketika mengetahui sikap baik yang ditunjukkan selama ini hanyalah kamuflase untuk menjebak semua orang. "M ... Moriya-san?"
Wanita paruh baya itu tertawa dingin. "Jadi ... kau kaget? Kejutan yang bagus, bukan?" balasnya ringan sambil membiarkan topeng miliknya jatuh begitu saja di atas lantai yang sudah sempurna berubah warna oleh darah yang mengering, lalu mengambil kapak yang sebelumnya diletakkan di bawah saat ingin membuka penutup wajah.
"Yah, tapi setidaknya kau sudah tahu siapa yang menyebabkan rumor Akai Michi menyebar. Tapi, aku bisa jamin kau tidak akan sempat memberitahu siapa pun karena kau akan segera pergi. Tidak usah khawatir. Akan kusampaikan ucapan selamat tinggal pada Kaito dan yang lainnya," Emi melanjutkan sembari mendekati Honoka yang semakin ketakutan.
Sementara itu, Honoka sudah tidak peduli dengan pakaian yang basah serta berbau lumpur. Ingatannya malah melayang pada percakapan dengan Kaito di ruang loker, yang saat ini berpotensi besar menjadi percakapan terakhir bagi mereka. Gadis itu benar-benar menyesal karena tidak mau mendengarkan peringatan darinya.
Sebaliknya, dia justru melontarkan kata-kata pedas yang mungkin sudah menyakiti perasaan pemuda yang masih ia kagumi. Jika saja waktu dapat diulang, dia ingin menarik ucapan itu. Karena bagaimanapun, dirinya tak pantas mengatai Kaito macam-macam. Lelaki itu memang belum menerima perasaannya, tetapi dia sudah diperlakukan sangat baik. Bukankah itu sudah cukup sebagai bukti?
"Kaito, maafkan aku," lirihnya seraya mengepalkan kedua tangan yang masih terikat. Dia berdoa dalam hati, berharap siapa pun datang menolongnya sehingga ia masih memiliki kesempatan untuk berbicara secara langsung. Akan tetapi, semua itu sepertinya sia-sia saja. Hanya masalah waktu hingga Emi memulai ritualnya.
"Moriya-san," panggilnya samar, berkali-kali hingga wanita itu menoleh. "Kenapa kau sampai tega melakukan semua ini? Apakah tidak ada kesenangan lain yang bisa kau dapatkan?" Ide tersebut tiba-tiba terbersit dalam pikirannya. Jika ia mati malam ini, setidaknya dia tidak perlu menjadi arwah penasaran yang bergentayangan mencari tahu alasan ia dibunuh.
"Sayang sekali, aku bukan psikopat yang membunuh hanya untuk kesenangan." Yang ditanyai hanya mengeringai tipis. "Aku hanya ibu yang kesepian setelah kehilangan suami serta anak semata wayangnya dalam waktu berdekatan. Karena itulah, aku berkata jika dunia ini kejam," terangnya.
Honoka mengernyit bingung. "Apa hubungannya suami dan anakmu dengan orang-orang yang kau bunuh?" dia kembali bertanya seraya berpikir keras cara untuk meloloskan dari dari ikatan tali tersebut, meski peluang ia selamat hanya sepuluh persen. Dimana lima persen dari kemungkinan selamat tersebut didominasi oleh perasaan ragu dan putus asa.
"Aku ragu kau benar-benar tidak mengetahui hal ini. Empat ratus sembilan puluh sembilan orang telah kujadikan tumbal. Maka satu yang terakhir adalah media untuk membangkitkan kembali Kagome, putriku yang manis. Kau seharusnya tahu tentang ritual terkenal itu. Bahkan sampai ada penulis yang mengangkatnya sebagai tema novel," dia kembali menjelaskan.
Sebuah bayangan tiba-tiba muncul dari arah pintu yang terbuka perlahan. Honoka tersenyum lebar, seperti melihat cahaya harapan yang berpendar menerangi diri yang terjebak dalam keputusasaan. Namun, kesenangan itu tiba-tiba lenyap saat mendengar ucapan dari orang yang berada di ambang pintu.
"Sesuai rencanamu, mereka datang untuk menyelamatkan anak ini," ujar perempuan itu dengan nada yang terdengar sangat dingin. Honoka tertegun. Bukan hanya karena suara yang terdengar familier, tetapi lebih kepada fakta yang ia dengar. "Mereka datang"? Siapa yang dia maksud?
"Jadi?"
"Aku sudah mengikat dia, setelah mengalahkannya dengan payung yang kau letakkan di koridor," jelas perempuan itu lagi. Dia tetap bergeming di sana sampai Emi menyuruhnya pergi. Honoka tidak percaya mendengar pembicaraan itu. Mulutnya sedikit terbuka. Jika 'mereka' yang dimaksud adalah kedua temannya, siapa yang bisa diharapkan datang menyelamatkannya?
Emi yang sempat berjalan ke arah berlawanan untuk mengambil sesuatu kembali mendekati mangsanya yang tak dapat berkutik. "Jadi, kau sudah siap?"
------x---x------
Kaito berlari kencang menembus derasnya hujan. Lelaki itu bahkan rela membiarkan seluruh tubuhnya basah kuyup. Dia hanya sempat membungkus ponsel dengan plastik anti air, kemudian pergi dengan pakaian seadanya. Lagipula siapa yang sempat berpikir untuk mengambil payung untuk pergi keluar rumah dalam keadaan genting?
Untung saja dia sudah hafal lokasi rumah yang menjadi tujuannya saat ini meskipun hanya sekali mengunjungi, yaitu sepulang dari pemakaman bersama Erika. Kaito menggigit bibir, menajamkan penglihatan. Jantungnya berdebar kencang. Rasa lelah yang mencoba membuat ia berhenti berlari sama sekali tak terasa. Khawatir terlambat satu menit saja, gadis itu sudah tak dapat tertolong.
Sepuluh menit yang lalu, dia tanpa sengaja menemukan kunci dari kasus ini di lembar terakhir dokumen yang diberikan Kazuhiko. Di sana tertulis sebuah nama tepat di bawah Katsuo, serta di samping foto gadis kecil yang sempat dia lihat sebelumnya. Moriya Kagome.
Kemudian, dia buru-buru keluar rumah dengan hanya menggunakan kaos lengan pendek tipis serta celana seragam sekolah yang belum diganti. Meski Keiko berteriak-teriak memanggil serta bertanya ada masalah apa, laki-laki itu tak sedikit pun menoleh dan hanya menyuruh sang kakak untuk menelepon polisi.
Siapa yang peduli? begitulah pikirnya. Meskipun Keiko tidak melakukan apa yang dia minta — karena tidak sempat memberitahu lokasi pasti — asalkan dia bisa datang menyelamatkan Honoka tepat waktu sudah lebih dari cukup. Masalah melaporkan masalah ini, bisa diurus nantinya.
Kaito bernapas terengah ketika dirinya berhasil mencapai tempat tujuan. Dia mengedarkan pandangan ke berbagai sisi. Rumah itu terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Akan tetapi, salah satu jendela depannya terbuka lebar, seolah sang pemilik rumah sengaja membukakan jalan masuk bagi orang lain.
Seluruh pakaian yang basah membuat pemuda itu sedikit menggigil. Dia menyesal karena sudah bertindak bodoh, pergi menembus hujan tanpa rencana. Sekarang jika sudah berhasil masuk, apa yang harus dia lakukan. Sangat tidak lucu jika dirinya juga mati sia-sia setelah berusaha menjadi pahlawan kesiangan sok berani.
Dia mengembuskan napas yang terasa berat. Menyandarkan tubuh pada pintu dengan tangan yang bertumpu pada gagang. Tak disangka. Benda itu tiba-tiba bergerak karena dorongan dari berat badan. Kaito tersentak kaget, hampir saja ia tersungkur karena menyangka pintu tersebut terkunci.
Ia ragu-ragu melongok dari pintu yang terbuka lebar. Tidak ada siapa pun. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya deretan koleksi barang antik yang memenuhi sebagian besar permukaan dinding. Setelah memastikan semuanya aman, Kaito memberanikan diri untuk masuk.
Entah apa yang akan dilakukan setelah ini, mungkin dia akan menuruti kata hati saja. Asalkan dia masih bisa melihat Honoka dalam keadaan hidup kemudian membawanya keluar, tidak peduli segila apa pun cara yang digunakan. Waktu sudah sangat sempit, tidak akan cukup untuk menyusun rencana yang matang.
Pemuda itu mengendap-endap masuk. Kaki yang basah mencetak jejak yang sedikit tercampur lumpur. Jika saja ada yang mengawasi, pasti tamat sudah nasibnya. Akan tetapi, sekali lagi masih ada keberuntungan. Sejak tadi, tidak terdengar sedikit pun desah napas yang membuktikan keberadaan seseorang.
Otaknya berpikir keras. Dimana kira-kira si pemilik rumah menyembunyikan Honoka? Dia dengan awas mengamati setiap detail ruangan. Dia menghela napas berat saat tatapan matanya berhenti pada altar yang seharusnya bisa langsung membuatnya sadar akan kunci dari misteri ini.
Ketika Kaito sibuk memaki diri yang kurang peka dalam menemukan petunjuk, sebuah bayangan melintas dengan sangat cepat di antara jutaan sel otak. Déjà vu. Dia tersentak. Tubuhnya membeku tanpa alasan yang jelas. "Ruang koleksi?" gumamnya seolah mendapat bisikan dari sesuatu yang tak terlihat.
Tanpa pikir panjang, dia berlari kemana bisikan itu menyuruhnya. Seolah sudah hafal dengan setiap lorong dalam rumah itu, seakan sosok makhluk tak kasat mata telah mengambil alih tubuhnya, dalam waktu kurang dari satu menit, dia berhasil menemukan sebuah ruangan yang paling tersembunyi dengan pintu yang terlihat tua. Bercak kehitaman menutupi ukiran yang menambah kesan estetik.
Kaito merintih, memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing. Dia mengernyit, mengamati dua buah daun pintu yang sedikit terbuka. Mengintip ke dalam melalui celah yang menjadi jalan masuk cahaya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok Emi yang berbeda jauh dengan yang dia kenal selama ini bersiap mengayunkan belati ke arah Honoka yang hanya bisa menunduk pasrah.
"Honoka!"
*
14 Oktober 2020, 12:15 WITA.
🎉 Jeng jeng jeng! Apakah ada yang kaget?
Buat yang berhasil menebak, Ichi ucapkan selamat. 🎊🥳
Dan buat yang nggak peka sampai akhir, izinkan Ichi tersenyum penuh kemenangan. Makasih banyak atas bantuannya, Kak HollowWhite 😊. Petunjuk kecil yang kita rencanain sebelumnya berhasil mengecoh, hahaha .... 😂
Ayo kita tos via online 🖐.
.
.
.
.
"Kunci dari misteri ada di altar," petunjuk ini sebenernya berpengaruh banget kalo kalian tahu tentang budaya Jepang. Orang Jepang menaruh dupa di altar sesuai jumlah anggota keluarga yang meninggal. CMIIW.
Jadi,di bab-bab awal udah dijelasin kalo ada dua dupa yang ada di altar rumah Seira. Berarti dia cuma bisa berdoa buat papa dan mamanya yang jelas banget udah meninggal.
Terus, di bab akhir juga dijelasin kalo altar di rumah Emi itu sama persis dengan yang ada di rumah Seira. Berarti termasuk jumlah dupanya juga.
Nah, jadinya jelas kan kalo Emi bohong soal dia nggak punya anak.
Oke, ini terlalu susah ditebak bagi orang yang nggak tau banyak tentang budaya Jepang (termasuk aku sendiri sih 😆).
Tapi, kenapa kalian nggak curiga pas awal-awal munculnya si pelaku? Dia kan dari awal seolah paling tau tentang rumor Akai Michi. Padahal Mai yang tinggal di deket sana aja nggak tau apa-apa.
Terus, yah ... intinya banyak banget dan petunjuk kecil yang Ichi sebarin. Kalian cari aja sendiri. 🤣
Sekali lagi, selamat buat kalian yang berhasil menebak!
(Btw, payung yang yang dipake cewek itu bikin aku merinding gegara kebayang anime Another 😣).
//abaikan
Jangan lupa vote dan comment 😁.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top