Thirtieth Cage

Kaito menutup sampul komik yang dibacanya dengan kasar, lantas melempar benda itu bersama tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia menatap langit-langit dengan tatapan kosong, mengembuskan napas gusar. Seolah tidak cukup dengan ending yang tampak semakin suram, lelaki itu semakin dibuat kesal dengan kematian karakter favoritnya. Serial yang semula selalu ia nantikan kelanjutannya setiap bulan sekarang malah membuat dia ingin meninju dinding sampai hancur.

Pemuda itu berbaring dengan kedua lengan sebagai bantal. Matanya terpejam pelan. Adegan dimana sang karakter mengorbankan diri untuk melawan musuh yang jumlahnya tidak dapat dihitung kembali terproyeksi layaknya film. Dia dapat merasakan adegan tersebut begitu nyata, sampai-sampai ia berteriak seolah itu bisa menyelamatkan sang karakter dari kematian.

Suara dering ponsel menghentikan lamunannya. Seraya berdecak kesal, Kaito meraih benda yang sebenarnya berada tak jauh darinya. Memandang malas nama yang tercetak di layar, "Aho-noka". Dia pasti hanya ingin meminta sesuatu, pikirnya sambil menekan answer.

"Halo, Kaito-kun. Apa aku menganggumu?" Terdengar ucapan ragu-ragu dari gadis berambut bob itu. Ia sudah bisa menduga jika temannya yang satu ini akan menjawab panggilan telepon dengan setengah hati.

"Tentu saja sangat mengganggu. Apa kau tidak tahu jika aku sedang berdukacita atas kematian karakter favoritku?" Kaito menyahut sambil meletakkan kembali komik yang dibacanya di sebuah rak khusus yang juga berisi ratusan volume komik yang lain. Baik dari serial yang dibaca lelaki itu beberapa menit yang lalu, maupun yang berbeda.

"Ah, sudah kuduga. Kau pasti tidak akan terima dengan kematian perempuan berkacamata itu. Aku juga melihat banyak sekali fans yang kecewa dengan volume terbarunya, lalu mengomeli mangaka-nya di media sosial mereka," kata gadis itu sembari mengambil posisi ternyaman di tempat tidur, seolah lupa dengan tujuan aslinya dia menelpon.

"Hei, kau jangan memberi spoiler seperti itu. Memangnya kau tidak kasihan pada para pembaca yang bukan pembaca manga dan masih menunggu animenya rilis?!" seru Kaito yang sebenarnya ingin melihat orang lain juga terkejut dengan kematian salah satu tokoh penting dalam cerita itu.

"Sudahlah, tidak usah basa-basi. Cepat katakan apa yang kau inginkan," titahnya sambil melampiaskan kemarahan dengan cara menendang barang-barang yang tergeletak di lantai. "Aku tahu, aku ini bukan apa-apa bagimu kecuali teman sekelas. Dan kau hanya menelponku jika butuh bantuan saja, kan?" lanjutnya.

Honoka yang baru saja terkesima dan berpikir dalam hati, Sejak kapan Kaito menjadi peka? langsung menatap layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu sedatar-datarnya. Ia mengembungkan pipi sebal. Kaito memang tidak pernah sadar jika perempuan itu menganggapnya lebih spesial daripada teman.

"Aku ingin pinjam novel, atau manga. Terserah apa saja. Aku bosan hanya tidur-tiduran di kamar." Ia sekarang sadar betapa tidak bergunanya mengatakan sebuah kalimat yang kurang jelas kepada orang yang memiliki sensitivitas di bawah manusia normal seperti dia.

"Yah, bisa saja. Tapi aku tidak punya manga shoujo. Dan aku yakin, kau akan cepat bosan jika membaca cerita yang isinya sebagian besarnya pertarungan. Jangan harap kau bisa menemukan adegan romansa," balas Kaito panjang lebar. Jemarinya menelusuri rak buku, mencari judul yang bisa dinikmati gadis itu, tetapi tidak berhasil.

Honoka kembali menatap layar ponsel dengan raut wajah sebal. Lagi-lagi pemuda itu dengan sok tahu mengatakan hal yang bertolak belakang dengan realita. Padahal, Honoka lebih bersemangat membaca cerita semacam itu. Ia membuang napas berat. Katakan saja kau tidak mau meminjamkannya padaku, batinnya. Akan tetapi, jika Kaito sudah begitu, mau bagaimana lagi?

"Bukankah Keiko nee-chan juga suka mengoleksi novel? Etto ... bisa tolong katakan padanya jika aku ingin meminjam beberapa?" pinta Honoka sambil memasang ekspresi penuh harap yang tentu tidak akan bisa dilihat oleh lawan bicaranya.

Kaito menarik napas panjang. Berusaha mengendalikan emosi. Dia tidak bisa memilih antara harus dimarahi kakaknya karena membuat Honoka menangis, atau digoda habis-habisan oleh kakak perempuannya itu karena mengetahui si penelpon. "Iya, iya. Baik, akan kuberitahu dia," sahutnya malas sembari membuka pintu kamar Keiko yang sedikit terbuka.

Ia mengedarkan pandangan, tidak menemukan siapa pun di dalam sana. Keiko sangat jarang keluar rumah. Bahkan pada saat hari libur, dia tetap sibuk dengan tugas penelitian atau apalah. Itulah membuat dahi adiknya terlipat. "Onee-chan tidak ada di sini. Tidak mungkin aku akan tiba-tiba mengambil tanpa meminta izin." Penjelasan itu sukses membuat Honoka menyerah kemudian menutup sambungan telepon.

"Ke mana sebenarnya dia?" batin Kaito seraya keluar dari kamar itu.

------x---x------

Seorang gadis berkacamata half frame tengah meneguk jus yang dipesannya beberapa menit yang lalu sembari menatap keluar jendela kafe. Entah apa yang dia perhatikan di sana sampai-sampai lupa akan keberadaan lelaki di hadapannya yang memandang dengan sebuah senyuman manis.

Perempuan itu menoleh ke arahnya, yang kemudian hampir tersedak saat menyadari Kazuhiko tengah memerhatikannya sepenuh hati. Karena biasanya, lelaki itu akan menyibukkan diri dengan pekerjaannya meski sedang berbicara dengan adik dari teman sekelasnya saat SMA. Itulah mengapa Keiko menjadi gemas dan ingin memberikan sedikit pukulan sayang.

"Tumben sekali kau mengajakku berkencan. Biasanya, kau selalu sibuk dengan kasus inilah, penyelidikan itulah," ungkap Keiko setelah menyisakan sepertiga dari isi gelasnya. "Bahkan aku sampai berpikir kau mulai ikut-ikutan seperti Onii-chan," lanjutnya seraya melemparkan pandangan keluar jendela.

Kazuhiko mengernyit bingung. "Memangnya ada apa dengan Mitsuki?" Ia benar-benar khawatir jika dia kembali menjadi seperti Mitsuki yang waktu itu. Jika itu benar-benar terjadi, mungkin dia harus menarik kerah bajunya seperti yang dia lakukan dulu.

"Dia selalu saja sok sibuk dengan pekerjaan kantor. Bahkan saat hari libur pun tetap sama. Kantor macam apa yang mengharuskan karyawannya bekerja siang malam dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu, dan tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun?" Keiko melampiaskan kemarahan dengan mengoyak pancake pesanannya.

Kazuhiko hanya mengangguk-angguk. Lega karena kekhawatirannya tidak terbukti benar. "Oh ya, tadi kau bilang ... ada sesuatu yang ingin kau katakan. Apa itu?" Keiko menunggu dengan antusias.

"Ah iya. Sebenarnya, kami mulai mendapat titik terang tentang kasus waktu itu. Aku memberitahumu karena kau mungkin tahu sesuatu," katanya sambil meneguk secangkir kopi yang masih belum tersentuh sama sekali sejak dihidangkan oleh pelayan. "Aku menduga ini ada hubungannya dengan kasus kematian seorang anak empat belas tahun lalu."

Karena Keiko tampaknya belum ingin berkomentar, ia pun melanjutkan penjelasan. "Dia dibunuh di Akai Michi, persis seperti kasus waktu itu. Sayang sekali. Dia tewas pada usia sebelas tahun. Seandainya dia masih hidup, anak itu pasti seumuran denganmu," jelasnya lagi.

Keiko belum mau berkomentar. Dia masih menunggu kelanjutan ceritanya, tetapi kalimat terakhir membuatnya semakin tertarik dan memutuskan untuk bertanya. "Etto ... bisa kan beritahu nama anak itu?"

"Ah, baru saja aku ingin memberitahumu. Anak itu bernama Kagome. Aku menduga ini ada hubungannya dengan rumor tentang Akai Michi yang beredar," terang Kazuhiko. Namun, dia masih belum sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya.

Keiko merasa dirinya seperti tersambar petir. Hatinya terus berusaha keras menyanggah semua prasangka. Namun otak yang tidak bisa diajak bekerja sama terus memutar kembali ingatan tentang seseorang yang sudah menghilang empat belas tahun, membuat semuanya menjadi masuk akal. Ingatan seolah sedang mengiris batin dengan sembilu. "Tidak mungkin ...," lirih Keiko sambil menahan air mata yang hampir menitik.

Kazuhiko yang masih belum juga sadar kembali meneruskan penjelasannya. "Memang sedikit membingungkan. Tapi, sepertinya kedua kasus itu berhubungan erat. Entah pelakunya adalah orang yang sama, atau orang yang ingin menuntut balas."

"Kazuhiko! Jangan bilang anak yang kau maksud itu dibunuh tidak lama setelah ayahnya meninggal," desak Keiko dengan mata yang sedikit memerah.

Lelaki itu terkejut. Dia tidak pernah menyangka ceritanya itu akan menimbulkan luapan emosi. "B-bagaimana kau bisa tahu tentang itu?" tanyanya sedikit gugup melihat ekspresi Keiko yang juga membuat sebagian pengunjung kafe heran.

Keiko tertegun melihat reaksi itu. Ia mengerti sekarang mengapa sahabat kecilnya itu tiba-tiba menghilang secara misterius. Namun pemahaman itu justru membuatnya semakin tidak bisa menahan deraian air mata. "Kagome ..., dia itu teman kecilku," gumamannya samar karena terhalang isakan.

Kazuhiko terbungkam. Ia mengerti. Memang fakta itu pasti akan terdengar sangat menyakitkan. Namun, tidak ada gunanya menolak kenyataan yang sudah tertulis dalam takdir. "Maafkan aku, Keiko. Aku berjanji, akan menuntaskan kasus ini secepatnya ... demi teman kecilmu itu," ungkap laki-laki itu. Namun kalimat itu saja tidak akan cukup menghentikan kesedihan yang mendera.

"Akan segera kuselesaikan. Tapi ... aku boleh bertanya satu hal, kan?" Kazuhiko berkata ragu-ragu. Gadis itu melepas kacamatanya kemudian mengusap tetesan bening yang terus mengalir sambil mengangguk samar. "Apa kau kenal seseorang yang bernama Fujita Mai?"

Keiko merasa tersambar petir, untuk yang kedua kalinya. Seketika, milyaran sel dalam otaknya menyusun sebuah kronologi tentang kejadian empat belas tahun lalu, kemudian tanpa pikir panjang meyakininya sebagai jawaban atas pertanyaan yang menghantui selama ini.

"Jangan pernah sebut nama pembunuh seperti dia di depanku. Jika kau ingin menghukum pengkhianat itu, lakukan saja. Aku tidak akan peduli apa pun yang terjadi padanya, selama Kagome bisa mendapatkan keadilan!" Keiko sudah tidak bisa mengendalikan diri. Ia berteriak-teriak hingga mengejutkan seisi kafe kemudian berlari keluar begitu saja.

Laki-laki itu menepuk dahi. Dia memang selamat dari pukulan maut dari gadis itu. Akan tetapi, ancaman sesungguhnya tentu berasal dari Mitsuki yang sejak awal sudah memperingatkan Kazuhiko untuk menjaga perasaan adiknya. "Kazuhiko payah, apa yang sudah kau lakukan?!" Ia terus memaki diri sendiri.

*

17 September 2020, 08:50 WITA.

Ichi nggak akan ngasi tau siapa karakter "perempuan berkacamata" dan dari anime apa. Takutnya malah beneran jadi spoiler buat kalian 🤭.


Mulai chapter selanjutnya Ichi usahakan nggak ada filler lagi. Kasian naskah di draft yang tidak kunjung dipublish 😁.

Oke, jangan lupa tinggalkan jejak seperti biasa.

See you soon 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top