Thirteenth Cage

Cukup lama Keiko termenung memandangi pohon maple itu meski orang aneh yang tampak bersembunyi sebelumnya tak lagi menampakkan batang hidungnya. Ia masih sangat penasaran, mengapa wajah orang yang ia lihat sekilas itu sangat mirip dengan sahabat lamanya yang kini hilang bagai ditelan bumi.

Sementara itu, Kazuhiko sedikit terburu-buru menyelesaikan tugasnya. Dia khawatir akan keadaan sang kekasih yang terus memaksa ikut ke tempat itu meskipun takut pada cairan merah kental yang sudah biasa jika ditemukan di TKP. Walaupun demikian, ia tetap berusaha untuk tidak mengabaikan bukti sekecil apa pun.

Tak jauh dari tempat itu, seorang pria paruh baya bersandar pada salah satu batang pohon dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Ingatannya melayang pada kejadian empat belas tahun lalu yang menjadi awal tersebarnya rumor di tempat ini. hatinya sedikit terasa perih membayangkan peristiwa itu lagi. Kagome ... anak yang malang, batinnya.

"Komandan." Pria itu tertegun mendengar paggilan dari Asami. Ia berdeham seraya merapikan lengan pakaiannya. "Kami menemukan ini di genggaman korban. Kemungkinan besar, ini adalah bagian dari pakaian pelaku," ujar Asami sembari menunjukkan sehelai kain hitam ternodai lumpur serta darah yang terbungkus dalam sebuah plastik bening.

Kepala Polisi itu berjongkok agar bisa lebih leluasa mengamati barang bukti yang baru saja ditemukan. Tanpa pikir panjang, Asami segera menyerahkan benda itu kepada pimpinannya. Helaian kain itu terlalu kecil untuk membawa mereka kepada identitas di pelaku. Namun, bukan tidak mungkin untuk mendapat petunjuk dari sana.

"Kami akan segera mencari sidik jari yang mungkin tertinggal, Komandan," ucap polisi wanita itu mantap.

"Tidak perlu," sahut pria tua itu singkat. Membuat Asami, serta petugas yang lain tersentak kaget. Termasuk Keiko yang tanpa sengaja mendengar kata itu dari kejauhan. "Kemungkinan besar tidak akan ada petunjuk berarti yang bisa kalian dapatkan. Ini pasti hanya sobekan dari ujung pakaian pelaku. Lagi pula, tadi malam hujan turun deras sekali. Tidak mungkin ada sidik jari yang tersisa," terangnya.

Kazuhiko mengernyit. Baru pertama kali ia mendengar sang atasan berkata demikian. Biasanya, pria tua itu selalu berusaha menemukan keajaiban di balik sesuatu yang tampak mustahil. Akan tetapi, kali ini berbeda sekali. Kepala Polisi itu justru tampak pesimis dan tidak berniat menuntaskan kasus ini.

Polisi muda itu berpikir keras. Air memang bisa saja menghapus sidik jari. Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk menemukan petunjuk pada barang bukti yang tersiram hujan deras semalaman. Selain itu, bukankah jika benda itu berada dalam genggaman, berarti masih ada kemungkinan untuk terlindung dari air. Ditambah lagi, posisi mayat yang telungkup. Pasti masih ada kemungkinan untuk menemukan sidik jari.

"Tapi, Komandan ...." Kazuhiko hendak protes, tetapi urung karena mengingat apa konsekuensi jika dia berani menolak ucapan pimpinannya itu. Asami memandang rekannya lamat-lamat. Ia tahu jika juniornya tersebut memiliki semangat yang tak dimiliki petugas lain. Namun, wanita itu juga tak tahu harus berkata apa. Keputusan pimpinannya tak pernah bisa diganggu.

Kazuhiko menghela napas panjang. Mungkin benar jika pria itu memiliki pertimbangan lain. Dia juga masih ingat akan kasus penemuan mayat di tempat itu pada saat dirinya masih SMP. Itu adalah satu-satunya kasus yang ditangani pimpinannya, dan ditutup sebelum pelakunya ditemukan.

"Kalian berdua, tetap berjaga di sini. Asami, bawa barang bukti ke markas kemudian tunggu hasil pemeriksaan forensik," titah Kepala Polisi itu. Mereka yang ditunjuk hanya mengangguk patuh. Berbeda dengan Kazuhiko yang hanya bisa mengernyit dikarenakan dirinya tidak mendapat perintah apa pun.

"A-ano ..., Komandan. Bagaimana dengan saya?" tanya Kazuhiko ragu-ragu seraya menunjuk dirinya sendiri.

Pimpinan Polisi itu hanya tertawa kecil. Menepuk bahu bawahannya sambil melirik ke arah Keiko yang hanya bisa duduk memandang TKP dari kejauhan. "Kamu ... lanjutkan saja kencan kalian. Kasihan dia," ucap pria itu sembari menunjuk ke arah gadis bermata empat itu. Kazuhiko menghela napas panjang lalu berjalan menjauh.

Pemuda itu kembali memandang pimpinannya dari kejauhan. Seolah-olah Keiko sudah tidak ada lagi di depan. Ia sedikit merasa bersalah. Dia memang anggota kepolisian termuda di markas. Akan tetapi, tidak mungkin hanya karena itu dirinya dianggap tidak terlalu berharga. Jika seperti ini, sama saja ia tidak bisa menggapai cita-citanya.

------x---x------

Kaito hanya diam sembari memutar-mutar pulpen. Seolah tidak menyadari jika kelas mulai sepi setelah mendengar bel pulang sekolah. Ia masih memikirkan soal berita di koran yang dibawa Ichiro. Termasuk tentang berbagai kemungkinan tentang hubungan kasus itu dengan Akai Michi yang diutarakan teman sekelasnya.

Honoka mendengus sebal. Ia sudah cukup muak dengan reaksi laki-laki itu ketika dirinya menyatakan perasaan dengan kata-kata. "Tidak peka," kata itu rasanya masih kurang cocok untuk diberikan pada Kaito. Masalahnya, ia masih menganggap pernyataan gadis berambut bob itu sebagai sebuah lelucon.

Benar-benar aneh. Jika dia sering diejek karena belum pernah menjalani hubungan spesial dengan perempuan, mengapa dia malah menuduh-nuduh Honoka, bukan menerima? Selain itu, jika memang tidak suka, yang harus dia lakukan hanya berkata 'tidak'. Benar-benar sederhana dibandingkan harus berkata panjang lebar hanya untuk sebuah penolakan.

Aku tidak peduli dengan dia lagi, batin gadis itu sembari memalingkan wajah dari Kaito yang semakin lama tampak semakin aneh. Ia kembali mendengkus sebal, bangkit dari bangku yang letaknya tepat di depan orang itu, tetapi baru beberapa langkah dia tiba-tiba berhenti. Seolah-olah ada yang menahan.

Otaknya boleh jadi berkata tidak. Namun, hati kecilnya tak rela menjauh. Gadis itu menggenggam erat-erat tali tas. Perlahan menoleh kepada Kaito. Baiklah, Honoka. Untuk kali ini saja, ia berkata pada diri sendiri kemudian mendekat perlahan. Namun tiba-tiba saja, lelaki itu menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam.

"Kenapa kau belum pulang?" tanya pemuda itu tanpa intonasi seraya memasukkan pulpen ke dalam tas lalu kembali menatap tajam musuh bebuyutannya. Honoka meneguk ludah, tidak bisa menjawab. Seketika itu, suasana di sekitar mereka berubah menjadi canggung. Pada saat yang sama, gadis berambut bob itu berpikir untuk segera lari.

Akan tetapi, keduanya terkejut mendengar seseorang yang ternyata belum pulang tiba-tiba berdeham memecah keheningan. Diam-diam, Honoka mengucap rasa syukur karena secara tidak langsung diselamatkan dari situasi canggung yang membuatnya tersiksa dengan perasaan aneh dalam dada.

"Maaf, aku tidak sengaja menguping," ujar Ichiro santai sambil tertawa kecil melihat Kaito yang menatapnya tajam. Lelaki itu segera merangkul bahu ketua klub karate yang seolah tidak ada niat untuk pulang. "Aku tahu kau tidak ada kegiatan klub sekarang," katanya lagi. Pemuda bermanik cokelat kemerahan itu hanya mengangkat alis.

"Memangnya kau punya sesuatu yang menarik untuk dilakukan?" tanyanya kemudian berjalan menuju pintu kelas tanpa menoleh.

Ichiro menyeringai tipis. Begitu yakin jika rencananya akan berhasil. "Kau pasti tidak akan keberatan kan kalau aku mengajakmu untuk ... sedikit penyelidikan?"

*

Nggak tau kenapa, Ichi selalu kebayang sama Miwako Sato di Detective Conan sama karakter Asami ini.

Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top