Tenth Cage

Honoka mengeringkan rambut pendeknya yang basah kuyup. Hari mulai tampak gelap. Bangunan SMA Shirotsuki tampak sepi. Gadis itu menghela napas panjang. Kini ia menyadari satu hal. Sekesal apa pun dirinya pada sikap kekanakan Kaito, dia akan merasa kesepian ketika harus pulang tanpanya.

Usai mengganti pakaian renang, Honoka berjalan gontai menuju loker sepatu miliknya. Pikirannya kosong. Seperti ada sesuatu yang telah dibawa pergi. Lenyap bagitu saja, seperti bayangan lelaki itu. Ia begitu menyesal karena menganggap serius gurauan konyol pemuda itu tadi pagi. Tapi sendainya ia tidak marah, apa semuanya akan menjadi lebih baik?

Langkah gadis berambut bob itu seketika terhenti ketika menyadari keberadaan orang lain yang tetap bergeming tak jauh darinya. Persis seperti mobil yang kehabisan bahan bakar. Kedua pupil matanya melebar. Ia berusaha untuk tetap berdiri dengan kaki yang benar-benar lemas. Dengan cepat ia bergerak menuju tempat yang agak tersembunyi.

Lelaki itu membolak-balik amplop biru muda yang diletakkan begitu saja di atas sepatunya seraya mengernyit. Sejak aksinya di kolam renang beberapa bulan lalu, ia memang tak jarang menemukan surat dari pengirim yang tak dikenali. Namun kali ini, dia merasa sangat familier dengan gaya tulisan dalam surat itu. Tampak seperti ... seseorang yang tak mungkin memberikan itu padanya.

Honoka terus mengawasi laki-laki itu dari kejauhan. Matanya hampir tidak berkedip selama orang yang diawasi diam di tempat itu sembari mengamati surat yang diam-diam dia letakkan di dalam loker sepatu. Anehnya, selama dua setengah menit mematung, ia sama sekali tidak menemukan reaksi berarti dari dari orang yang dia amati.

Gadis itu menghela napas berat. Memalingkan pandangan dari Kaito yang seolah tak memiliki rasa lelah berdiri membeku di depan loker sepatunya. Mungkin akan jauh lebih baik seandainya dia pulang lebih awal, tanpa lelaki itu. Jika pada akhirnya akan ditolak, lebih baik ia tak pernah mendapat jawaban.

"Hei, kau belum pulang?" Honoka kembali terperanjat mendengar suara berat yang tiba-tiba menyapa. Spontan ia menoleh hingga menemukan mata dengan warna yang sama seperti yang membuatnya menjerit tadi pagi. Namun, kini ia tidak melakukannya lagi. Hanya terdiam hampir selama setengah menit.

"Kaito-kun," lirih gadis itu. Hawa dingin yang semula melingkupi seluruh tubuhnya yang baru saja keluar dari kolam bersuhu rendah berubah menjadi lebih hangat. Seolah-olah seluruh cahaya senja kini mengarah pada dirinya. Honoka mendesah. Ia benar-benar tak mengerti mengapa pelupuk matanya mulai dipenuhi oleh butir-butir air.

"Kau ini kenapa?" Bukannya menjawab, Honoka malah berbalik membelakangi Kaito kemudian menggeleng samar. Lelaki itu menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena terlalu berlebihan. Seharusnya dia bisa sedikit berbaik sangka pada gadis itu. Harusnya ... ia mengerti jika gadis itu tetaplah seseorang yang masih mengerti soal nilai kebaikan.

"Oh ya, apa ini milikmu?" Kaito mengeluarkan amplop biru muda yang dia dapatkan dari loker dari saku celana. Honoka terpegun. Debar jantungnya semakin terasa. Akankah ia mendengar semua kenyataan di sini ... hari ini juga? Padahal, segel di penutup surat itu bahkan belum rusak sama sekali.

Honoka ragu-ragu berbalik hingga bisa menatap mata Kaito yang tampak seperti seekor elang secara langsung. Ia sudah tak kuat. Yang bisa dilakukannya hanya menunduk sembari meremas ujung lengan seragam demi meredakan rasa gugup. Gadis itu sudah hampir benar-benar kehilangan kemampuan bicara ketika Kaito kembali menanyakan hal sama. "Ya, itu memang suratku," lirihnya.

"Jadi ... bagaimana?" gumam Honoka. Helaan napas kembali keluar dari mulut ketua klub karate itu. Kaito menyodorkan kembali amplop biru muda di tangan kanannya. Gadis berambut bob itu terpegun dengan aksi lelaki di hadapannya yang begitu aneh. Terlebih ketika ia sadar jika benda itu masih utuh, persis seperti ketika ia meletakkannya di dalam loker sepatu.

"Aku tahu surat ini darimu. Tapi, itu bukan untukku, kan?" Kaito menyingkirkan ujung rambut yang mengganggu penglihatan. Honoka memandang teman sekelasnya penuh tanda tanya. Meminta penjelasan, bukan dengan kata-kata.

Jika diletakkan di dalam loker sepatu, bukankah itu berarti memang untuknya? Begitulah yang dipikirkan gadis berambut bob itu.

"Kau pasti sudah tahu jika sekarang bukan tanggal satu April. Jadi, aku simpulkan kau hanya salah menaruh suratmu. Masalahnya ...." Kaito mengembuskan napas panjang untuk yang ke sekian kalinya, "bagi Shiratori Honoka, mencintai Kaito yang menyebalkan ... itu tidak mungkin kan?" tanyanya lagi.

Honoka mendekap erat-erat amplop yang kini secara penuh berada dalam genggamannya. Ia kembali mendesah. Untuk kali ini, ia tak bisa menahan laju air yang sudah lama tertampung di pelupuk mata. Rasa geram tiba-tiba muncul dalam hatinya. Tanpa ampun, gadis itu meremas surat yang dengan susah payah ditulis di tengah isak tangisnya.

Gadis itu sadar, dirinya saja yang mungkin terlalu melankolis dalam menghadapi hal ini. "Mencintai Kaito yang menyebalkan ... itu tidak mungkin," kalimat itu benar-benar terasa seperti kenyataan. Memberi pembenaran pada secuil kebencian yang masih tersimpan di lubuk hati.

Honoka semakin terisak. Perasaannya terlalu rumit untuk dikatakan sebagai kebetulan. Ia sudah tak bisa menafikannya lagi, sejuta kalipun ia berusaha. Semua hanya menuju ke arah satu jawaban, "Dia menyukainya laki-laki itu." Namun, jawaban dari Kaito telah membuat gerbang perpisahan yang berubah menjadi sangat mengerikan terbuka lebar.

Kaito mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan sejak keluar dari dojo karate. Pemandangan di hadapannya sudah membuktikan jika prinsip yang digenggamnya benar. "Perempuan sulit dimengerti. Jika tak mau membuat mereka salah paham, lebih baik jangan pernah dekati mereka."

"Maafkan aku, Honoka-chan," ungkapnya seraya mengusap rambut Honoka yang sedikit lembab hingga ujungnya. Ia merasa tak punya pilihan selain mengucapkan kalimat terlarang bagi Kaito Ishida. Bagaimanapun, dia harus membuang ego agar bisa terlepas dari situasi pelik ini.

Gadis berambut bob itu menyeka air mata dengan lengan baju seragamnya. Lalu menatap dingin laki-laki yang disukainya. "Sudahlah, ayo pulang," sahutnya datar. Kaito hanya menurut. Ia tetap membisu hingga sampai di rumah. Lagi pula, bagaimana ia bisa berbicara sementara Honoka yang biasanya banyak bicara memilih untuk membisu sepanjang perjalanan?

------x---x------

Sementara itu, pada saat yang sama di depan gerbang sebuah rumah yang bertuliskan nama 'Fujita', seorang laki-laki tampak sibuk memindahkan barang-barang lama dari dalam gudang. Membantu sang nenek bekerja, tidak ada bedanya dengan kegiatan klub di sekolah bagi anak itu.

Anak laki-laki bernama Ichiro itu menyeka keringat yang mengalir deras di wajah. Ia baru saja selesai memindahkan tumpukan koran terakhir ketika hari sudah semakin gelap. Pemuda itu tersenyum lebar sembari meregangkan otot-otot lengannya yang terasa pegal.

Beberapa detik kemudian, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di bawah. Ia merunduk memungut benda yang tak lain adalah selembar koran lama yang terpisah dari yang lainnya. Tak ada yang spesial dari beritanya. Hanya tentang mayat seorang anak yang ditemukan di jalan yang dikenal sebagai Akai Michi empat belas tahun yang lalu.

Ichiro mengernyit ketika menemukan beberapa kesamaan dengan wajah orang yang dikenalinya. Karena tak bisa menahan rasa ingin tahu, ia pun mencoba membaca berita itu dengan saksama hingga akhir. Alih-alih menemukan jawaban, rasa herannya justru bertambah. Ia bertanya pada diri sendiri. "Kagome?"

*

7 Juli 2020

Udah ah, males ngetik note. Kaito jauh lebih nggak peka daripada sepupunya 😂.

Jangan lupa tinggalkan vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top